Opini

Geopolitik Iman: Saat Dunia Merindukan Langit

Selasa, 14 Oktober 2025 | 15:42 WIB

Geopolitik Iman: Saat Dunia Merindukan Langit

Ilustrasi geopolitik global (Foto: Freepik)

“God is dead,” tulis Friedrich Nietzsche hampir satu setengah abad lalu, mengguncang fondasi moral dan intelektual Eropa modern. Ia tidak sedang merayakan kematian Tuhan, melainkan memperingatkan krisis makna yang akan menelan peradaban ketika manusia menyingkirkan Yang Ilahi dari ruang hidupnya. Kini nubuat itu terasa nyata. Setelah berabad-abad menjadikan sekularisme sebagai puncak rasionalitas, Barat tampak menoleh kembali ke langit. 


Peter Savodnik dalam The Atlantic mencatat fenomena “the new theists” — para intelektual sekuler seperti Ayaan Hirsi Ali, Peter Thiel, dan Jordan Peterson yang mulai berbicara tentang Tuhan dengan bahasa eksistensial baru. Mereka bukan rohaniwan, melainkan anak kandung rasionalisme yang justru menemukan keterbatasan akal budi di tengah kelimpahan modernitas.


Fenomena ini menandai kebangkitan spiritual yang tak hanya bersifat personal di Barat, melainkan juga meluas ke berbagai belahan dunia. Iman kembali hadir bukan semata sebagai keyakinan, tetapi sebagai sumber legitimasi moral dan arah peradaban. Barat, yang dulu membangun dirinya di atas rasionalitas dan kemajuan teknologi, kini menghadapi paradoks: di puncak kejayaan material, ia kehilangan orientasi makna. Dari ruang akademik hingga ruang publik, muncul kesadaran baru bahwa kemajuan tanpa nilai hanya melahirkan kehampaan, dan kekuasaan tanpa moralitas menciptakan keletihan eksistensial.


Untuk memahami “kembalinya Tuhan” dalam geopolitik dunia, kita perlu menengok ke tahun 1648 — saat Perjanjian Westphalia melahirkan sistem negara modern. Perjanjian itu memisahkan otoritas spiritual Gereja dari otoritas politik negara, menggantikan wahyu dengan rasionalitas, dan menjadikan kedaulatan negara sebagai sumber tertinggi legitimasi. 


Dunia modern dibangun di atas kedaulatan dan sekularisasi: agama ditarik ke ranah privat, sementara politik internasional diatur melalui logika kekuasaan dan kepentingan nasional. Raison d’état menggantikan wahyu; diplomasi menggantikan doa. Dengan demikian, stabilitas politik dan hukum internasional modern lahir dari upaya menghapus Tuhan dari arena kekuasaan. Namun tiga abad kemudian, tatanan Westphalia itu mulai retak.


Retaknya Westphalia bukan semata kegagalan institusional, melainkan krisis eksistensial: manusia modern kehilangan jiwa di dunia yang ia ciptakan sendiri. Globalisasi menggerus kedaulatan politik, sementara teknologi menembus batas otoritas moral. Kedaulatan yang dulu lahir dari perang kini diguncang oleh algoritma dan pasar. Karena itu, kebangkitan iman hari ini bisa dibaca sebagai post-Westphalian turn — bukan penolakan terhadap sekularisme, melainkan pencarian dimensi spiritual dalam sistem internasional yang kehilangan arah moral.


Dunia kini bergerak menuju era pasca-sekuler — sebuah ruang baru di mana agama dan akal mulai belajar berdamai. Agama tak lagi sekadar urusan domestik, tetapi sumber legitimasi dan pengaruh global. Amerika Serikat menyaksikan kembalinya simbol Kristen dalam politik; Rusia menautkan Gereja Ortodoks dengan identitas nasional; bahkan Tiongkok mulai menghidupkan etika Konfusian sebagai sumber harmoni sosial. Dunia mencari makna baru — bukan ideologi baru.


Dalam peta spiritual global ini, Islam tampil sebagai aktor penting. Dari Turki hingga Indonesia, spiritualitas Islam hadir bukan hanya sebagai identitas teologis, tetapi sebagai tawaran etika global. Ia menawarkan keseimbangan antara rasio dan wahyu, antara kemajuan dan keadilan. Di tengah kegamangan Barat yang merindukan langit, dunia Islam — yang dulu dianggap beban sejarah — kini memancarkan horizon makna baru.


Islam membawa memori panjang tentang sintesis iman dan akal, sebagaimana pernah lahir di Baghdad dan Andalusia. Rasionalitas tidak dihapuskan, melainkan diarahkan untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan. Tradisi ilmiah dan filosofis tumbuh di bawah kesadaran bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar akumulasi fakta, melainkan jalan menuju kebijaksanaan. Nilai-nilai ini kini terasa relevan di tengah kapitalisme yang kehilangan nurani dan teknologi yang berlari tanpa arah etis.


Dalam konteks geopolitik, Islam menawarkan paradigma alternatif terhadap sekularisme dan hegemoni materialisme modern. Konsep rahmatan lil alamin — kasih sayang bagi semesta — bukan sekadar ajaran spiritual, melainkan prinsip etika hubungan antarbangsa yang menolak logika dominasi. Melalui diplomasi nilai, dunia Islam dapat menampilkan dirinya sebagai kekuatan moral yang menyeimbangkan kepentingan dan kemanusiaan.


Di Indonesia, Nahdlatul Ulama menjadi contoh konkret bagaimana spiritualitas Islam dapat bertransformasi menjadi etika global. Melalui forum lintas agama seperti R20 dan gagasan Fiqh Peradaban, NU menunjukkan bahwa agama dapat hadir bukan sebagai pembelah, tetapi sebagai perekat peradaban. Pendekatan ini menegaskan bahwa Islam mampu menafsirkan kembali ajarannya dalam bahasa kemanusiaan universal — membumikan nilai ilahi ke dalam ruang publik yang plural. Pandangan ini sejalan dengan seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, yang menegaskan bahwa krisis ekologis sejatinya adalah krisis spiritual manusia modern. Dari Roma hingga pesantren Nusantara, tumbuh kesadaran bahwa penyembuhan bumi mensyaratkan pemulihan nurani.


Dalam arti tertentu, inilah geopolitik iman: pertarungan global kini bukan lagi soal ekonomi atau senjata, tetapi tentang siapa yang mampu memberi arah moral bagi dunia yang kehilangan rumah spiritualnya.


Namun kebangkitan iman di Barat tak serta-merta romantis. Agama kembali dipeluk bukan karena tradisi, melainkan karena krisis. Para intelektual seperti Peterson dan Hirsi Ali menemukan Tuhan bukan di altar gereja, tetapi di tengah ketakutan akan nihilisme modern. Fenomena ini bukan sekadar perubahan keyakinan, melainkan bentuk resistensi terhadap kekosongan makna sekaligus pencarian stabilitas moral di tengah derasnya informasi dan teknologi.


Jika abad ke-20 diwarnai pertarungan ideologi besar — liberalisme, komunisme, kapitalisme — maka abad ke-21 memperlihatkan pertarungan spiritual yang lebih subtil: antara sekularisme yang kehilangan daya dan spiritualitas yang mencari bentuk baru. Iman tak lagi sepenuhnya privat, tetapi menjadi modal simbolik yang menentukan legitimasi global. Ia memengaruhi diplomasi, kebijakan luar negeri, hingga citra peradaban. Ketika Paus Fransiskus berbicara tentang perubahan iklim, ketika ulama menyerukan etika teknologi, atau ketika pemimpin Asia menautkan pembangunan dengan nilai spiritual — semua itu menandai kembalinya moralitas dalam geopolitik.


Sebagaimana diingatkan Jürgen Habermas, bahkan masyarakat paling rasional pun tak bisa hidup tanpa fondasi moral yang bersumber dari tradisi keagamaan. Dunia yang letih oleh konflik dan ketimpangan kini mencari keseimbangan antara rasio dan rasa, antara bumi dan langit.


Maka, ketika dunia mulai merindukan langit, itu bukan tanda kemunduran, melainkan peluang peradaban untuk menemukan dirinya kembali — bukan dalam dogma, melainkan dalam kesadaran bahwa kemajuan tanpa makna hanyalah kehampaan yang canggih. Dalam dunia yang kian terpecah oleh algoritma dan ambisi, mungkin hanya dengan menengadah — bukan untuk tunduk, tetapi untuk mengingat kembali makna — manusia dapat menemukan arah.


Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember dan pengurus Badan Pengembangan Jaringan Internasional-PBNU