Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah menjadi konsensus kebangsaan para pendiri bangsa (founding fathers) dengan mendasarkan diri pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Kesepakatan ini bukan bim salabim, melainkan berangkat dari perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam upayanya melepaskan diri dari belenggu penjajahan (kolonialisme).
Seluruh komponen bangsa bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Sebab itu, jika ujug-ujug (tiba-tiba) ada sekelompok orang dengan identitas tertentu ingin mengubah dasar negara, bisa dikatakan orang-orang tersebut tidak memahami betul proses perjuangan rakyat Indonesia. Logika sederhananya, jika dahulu para nenek moyang mengorbankan jiwa raga untuk masa depan generasi berikutnya, maka generasi penerusnya dipastikan akan menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan Indonesia di tengah kemajemukannya.
Tantangan suatu bangsa ialah konflik, baik karena kepentingan kultural maupun kepentingan politik. Apalagi jika melihat melimpahnya kemajemukan Indonesia yang menempati posisi teratas dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Sekali terjadi konflik, seketika itu akan dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang ingin mendelegitimasi eksistensi negara.
Apalagi ditambah liarnya informasi di media sosial. Jika tidak bisa memverifikasi informasi dengan baik, maka seseorang termakan kabar-kabar yang belum tentu kebenarannya. Sebab itu, setiap konflik yang ada hendaknya dihadapi dengan prinsip kebangsaan (wathaniyyah) dengan rasionalitas yang memadai, bukan dengan menggadaikan emosionalitas.
Beberapa minggu terkahir bangsa Indonesia kembali diuji dengan kasus kekerasan yang menimpa beberapa mahasiswa Papua di Surabaya. Kasus ini bak bola salju yang menimbulkan aksi rusuh di Manokwari dan terakhir ricuh di Kota Jayapura. Bahkan, sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat Papua dengan tak malunya mengibarkan bendera bintang kejora yang selama ini dipakai sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) di depan Istana Negara Jakarta. Aksi tersebut sebagai bukti bahwa setiap konflik yang terjadi akan dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Setiap terjadi konflik yang menyangkut Papua, ada yang harus diperhatikan, baik oleh rakyat Papuanya sendiri maupun rakyat Indonesia secara umum. Persoalan kemakmuran dan kesejahteraan memang harus terus didorong untuk masyarakat Papua, namun Papua juga harus memahami bahwa dahulu para pejuang telah bekerja keras untuk membebaskan Irian Barat (Papua) dari belenggu kolonialisme Belanda.
Adapun untuk rakyat Indonesia secara umum, sampai kapan pun Papua menjadi saudara sebangsa dan setanah air. Soal aksi pengibaran bendera bintang kejora memang harus diusut setuntas-tuntas oleh aparat yang berwenang.
“Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora,” ujar Wiranto melapor.
Mendengar laporan tersebut, kemudian Gus Dur bertanya, “Apa masih ada bendera Merah Putihnya?” tanya Gus Dur.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur kemudian menjawab, “Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul,” ujar Gus Dur santai.
“Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya,” sergah Wiranto.
Gus Dur pun menjawab, “Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul! Sepak bola saja banyak benderanya!” ucap Gus Dur.
Gus Dur (2007) yang sudah tidak lagi jadi Presiden, kembali menyebut alasannya memperbolehkan bendera Bintang Kejora berkibar. Gus Dur menganggap bendera Bintang Kejora hanya bendera kultural warga Papua. “Bintang kejora bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri,” kata Gus Dur kepada wartawan.
Gus Dur, yang saat menjabat presiden mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya (waktu itu) untuk menggunakan sebutan Papua, justru menuding polisi dan TNI tidak berpikir mendalam ketika melarang pengibaran bendera Bintang Kejora. “Ketika polisi melarang, tidak dipikir mendalam, (tim) sepak bola saja punya bendera sendiri. Kita tak perlu ngotot sesuatu yang tak benar,” katanya.
Menurut Franz Magnis Suseno, sahabat Gus Dur di Forum Demokrasi, pemberian nama Papua pada Irian Jaya dan pemberian izin pengibaran bendera Bintang Kejora bukan tanda Gus Dur meremehkan terhadap Indonesia. Hal itu justru sebaliknya, Gus Dur mau membantu orang-orang Papua untuk bisa menghayati Ke-Indonesiaan dari dalam.
“Gus Dur percaya pada Orang Papua. bahwa itulah cara untuk merebut hati suatu masyarakat yang puluhan tahun merasa tersinggung, tidak dihormati, dan bahkan dihina. Karena itu orang-orang Papua mencintai Gus Dur,” ujar Franz Magnis dalam kata pengantar buku karangan Muhammad AS Hikam, berjudul Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013).
Ahmad Suaedy yang menulis buku Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa dalam menyelesaikan konflik Papua? Gus Dur mencoba ‘menenangkan’ hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Perhatian Gus Dur terhadap konflik vertikal dan kedekatannya dengan para eksponen, yang oleh pemerintah pusat disebut separatis, sebenarnya bukan hanya di Indonesia, melainkan juga kepada negara-negara tetangga, seperti di Pattani, Thailand Selatan dan di Mindanao, Filipina Selatan.
Gus Dur tidak hanya memfasilitasi dialog dan mencari jalan damai, tetapi juga mendampingi mereka sebagai sahabat dan saudara, tanpa memprovokasi dan melanggar etika hubungan antar-negara. Karena Gus Dur juga terlibatk aktif mewujudkan perdamaian bangsa-bangsa di dunia yang terlibat konflik.
Gus Dur menempatkan dua konflik vertikal di Papua sebagai isu kewarganegaraan. Prinsip utama kewarganegaraan adalah kesetaraan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur adalah dialog langsung. Melakukan penguatan masyarakat sipil. Melakukan berbagai pertemuan. Membangun kesepakatan, sampai pada titik nol derajat, yang berarti tidak ada tuntutan.
Dengan pendekatan personal yang begitu kuat, Gus Dur mengakomodasi penyebutan nama Papua. Sebelumnya, siapa saja yang menyebut Papua akan dianggap separatis. Pemerintah memberi nama Irian Jaya, sementara masyarakat inginnya Papua, karena Papua itulah nama yang sudah lama ada. Pengembalian nama Papua oleh Gus Dur berjalan tanpa syarat, tanpa konsensus apapun, langsung saja dibolehkan untuk menyebut nama Papua.
Penulis adalah Redaktur NU Online