Islam bukan sekadar agama yang mengandung seperangkat doktrin ritual, tetapi ia merupakan suatu pandangan dunia holistik yang menyeluruh dan sistematis. Dalam hal ini, termasuk relasi Islam dan politik adalah perihal yang tidak dapat dipisahkan, sebab berdasarkan fakta sejarah sejak semula Islam telah mempertautkan antara agama dan negara dengan erat (W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, 1961: 93-101).
Realitas yang tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu karakteristik agama Islam pada masa-masa awal perkembangannya adalah kejayaan di bidang politik. Secara historis, kisah kejayaan tersebut terungkap sejak Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah. Ada dua aktivitas penting yang dilakukan Rasulullah saw dalam perjalanan hijrahnya, yaitu mendirikan masjid di Quba dan city-state di Madinah. Dua peristiwa ini membuktikan adanya relasi yang erat antara agama dan negara (Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, 1992: 24).
Jika pada periode Makkah (611-622 M) pengikut Rasulullah saw hanya terdiri dari sejumlah kecil penduduk Makkah kalangan lemah yang tidak memiliki wilayah dan kedaulatan, maka pada periode Madinah (622-632 M) posisi umat Islam berubah total dari kelompok yang tertindas menjadi kelompok yang memimpin (Musdah Mulia, Negara Islam, 2010: 16). Setelah kedudukan umat Islam di Madinah menjadi kuat, status Rasulullah saw pun semakin kuat, sebab tidak hanya berfungsi sebagai utusan Allah, melainkan juga sebagai pembuat undang-undang. Dengan demikian, eksistensi Rasulullah saw sebagai Nabi kharismatik dan pemimpin tidak dapat dilepaskan dengan eksisnya kekuasaan saat itu, yakni penguasaan posisi-posisi strategis di dalam politik.
Konsensus Politik
Dalam catatan sejarah, masyarakat Madinah adalah heterogen baik dari segi ras maupun agama, antara lain: terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana (Aus dan Khazraj), serta kaum muslimin emigran dari Makkah (Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, 1993: 19). Untuk menyatukan karakteristik masyarakat Madinah yang heterogen, Rasulullah saw membuat sebuah konstitusi berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Rasulullah saw itulah yang dikenal dengan “Piagam Madinah (Mitsaq Madinah)”, yaitu undang-undang dasar (UUD) yang mengikat anggota Masyarakat Madinah dengan perjanjian. Dengan Piagam Madinah yang berisi 47 butir kesepakatan, Rasulullah saw memberikan jaminan ketenangan jiwa bagi seluruh penduduk: muslim, Yahudi, dan penganut paganisme. Mereka diberi kebebasan yang sama dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, serta kebebasan dalam mendakwahkan agama masing-masing (Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, 1993: 186).
Langkah yang dilakukan oleh Rasulullah saw pada dasarnya adalah konsolidasi kehidupan masyarakat Madinah yang heterogen, yakni melakukan penataan dan pengendalian sosial masyarakat secara bijaksana untuk mengatur hubungan antar golongan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan sosial, agama, ekonomi, dan politik. Dengan adanya Piagam Madinah, Rasulullah saw secara bertahap dapat mengorganisasikan penduduk Madinah yang heterogen itu menjadi masyarakat yang tertib dan teratur untuk hidup bersama serta berdampingan dalam satu wilayah.
Pembentukan masyarakat politik di Madinah lebih menggambarkan nilai-nilai demokratis. Hal ini ditandai dengan tidak terpusatnya wewenang atau kekuasaan pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi. Dari sini tampak bahwa di dalam Piagam Madinah termuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kenegaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia (Nurcholis Madjid, Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni, 1994: 590). Pembentukan masyarakat politik di bawah Piagam Madinah adalah ide cemerlang Rasulullah saw dalam mengimplimentasikan tatanan sosial-politik yang tidak diperintah oleh kemauan pribadi sesuai kehendak pemimpin, tetapi diperintah oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen konsensus dasar semua anggota masyarakat.
Secara eksplisit, Piagam Madinah yang dikeluarkan pada awal dekade ketiga abad ke-7 M memiliki tujuan strategis untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai. Pembentukan masyarakat politik yang konstitusional di bawah Piagam Madinah adalah gerakan revolusioner terhadap kondisi sosial saat itu, karena semua penduduk Madinah bersama para emigran Makkah dikategorikan sebagai satu umat berhadapan dengan umat lain.
Heterogenitas masyarakat Madinah (ras, suku, agama) dipersatukan di bawah kepemimpinan Rasulullah saw dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan kultur seluas-luasnya. Dalam hal ini, semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi serta kebiasaan mereka masing-masing. Dari sinilah Piagam Madinah telah memberikan dua landasan. Pertama, menjamin otonomi bagi kelompok yang beragam, kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan adat istiadat, tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada pemaksaan kehendak.
Masyarakat konstitusional
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Di sanalah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang merdeka di bawah kepemimpinan Rasulullah saw yang terdiri dari kaum muhajirin (pendatang dari Makkah) dan kaum Anshar (penduduk Madinah yang telah memeluk agama Islam). Di Madinah terdapat pula komunitas-komunitas lain, yaitu kaum Yahudi dan sisa suku-suku Arab yang belum mau menerima Islam serta masih tetap memuja berhala (Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, 1990: 10). Karena itu, umat Islam di Madinah merupakan bagian dari masyarakat majemuk. Dalam menjalani kehidupan sosial yang majemuk, umat Islam terikat dengan perjanjian yang tertuang di dalam Piagam Madinah. Mereka taat dan komitmen terhadap konstitusi yang telah disepakati agar hidup berdampingan, damai serta toleran.
Rasulullah saw mendirikan suatu negara atas prinsip-prinsip kesamaan, kebebasan, dan persaudaraan. Kondisi masyarakat Madinah yang heterogen khususnya di bidang agama, menjadi pertimbangan Rasulullah saw menjadikan kebebasan memeluk agama sebagai prinsip sentral. Sikap toleran ditanamkan kepada umat Islam agar mampu hidup berdampingan dengan sesamanya yang memeluk agama lain. Kebebasan beragama ini ditegaskan secara eksplisit dalam QS al-Baqarah/2:256, Pasal 16 Piagam Madinah, dan hadis: “Siapa saja yang mengganggu seorang dzimmi (orang non-muslim dan bernaung di bawah pemerintahan Islam),berarti akulah lawannya, niscaya ia akan dikalahkan kelak di hari kiyamat (Riwayat Abu Daud dan al-Baihaqi)”.
Piagam Madinah telah memberikan landasan yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, serta persamaan hak bagi semua orang. Seluruh masyarakat Madinah memiliki status hukum yang sama, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Kebebasan beragama tertuang dalam pasal 25 Piagam Madinah yang menegaskan: “Bagi orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka pula”. Rumusan ini merupakan pengakuan keberadaan agama lain, yakni bebas menganut agama serta kepercayaannya masing-masing. Sejalan dengan pernyataan QS al-Baqarah/2:256: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sungguh telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat… .”
Keberadaan kaum Yahudi sebagai kelompok minoritas di Madinah tidak hanya diakui, tetapi juga memiliki kedudukan hukum yang sama seperti kelompok lainnya yang beragama Islam. Rasulullah saw sebagai kepala negara tidak melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti Yahudi. Dalam Piagam Madinah ditegaskan bahwa kelompok minoritas Yahudi adalah bagian dari negara Madinah. Karenanya, mereka merupakan penduduk sipil yang wajib dilindungi oleh negara. Keberadaan kaum Yahudi jelas telah diatur dalam Piagam Madinah secara adil tanpa diskriminasi, sehingga mereka memperoleh jaminan persamaan hak, baik perlindungan maupun keamanan (Pasal 16 Piagam Madinah). Sebagai konsekuensi logisnya, kelompok minoritas seperti Yahudi dikenai kewajiban untuk berpartisipasi dalam mempertahankan Madinah apabila diserang musuh, atau ikut memikirkan pembiayaan di kala berperang (Pasal 24 Piagam Madinah).
Baca Juga
Pengertian Hijrah dalam Kajian Tasawuf
Berdasarkan fakta sejarah, pihak Yahudi tidak setia berpegang kepada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam Piagam Madinah. Mereka terbukti memihak kepada elit Quraish yang sampai saat penaklukan Makkah tahun 630 M tetap memusuhi Rasulullah saw dan umat Islam. Dari sini tergambar bahwa yang telah merusak prinsip kesatuan umat adalah kaum Yahudi, sehingga batallah substansi dari konstitusi kesukuan. Konflik umat Islam dengan pihak Yahudi di Madinah tidak dapat dihindari, karena banyak kasus-kasus pengkhianatan serta perbuatan asusila yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengusiran kelompok Yahudi dari Madinah adalah sebab akibat dari inkonsistensi sikap mereka yang tidak taat konstitusi.
Intinya, masyarakat Madinah yang plural dan heterogen mampu hidup berdampingan di bawah kepemimpinan Rasulullah saw berlandaskan konstitusi. Walaupun penanaman sikap toleransi akhirnya gagal diterapkan setelah mendapat respons negatif dari kaum Yahudi, namun muatan emosional pada reaksi-reaksi itu dapat dipahami sebagai sebuah kewajaran dalam visi politik. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam dengan kaum Yahudi awalnya hidup berdampingan secara damai. Karena permasalahan politiklah mereka konflik, dan ini tidak berarti menghapus upaya Rasulullah saw dalam menanamkan sikap toleransi beragama.
Dengan demikian, pernyataan keras di dalam al-Qur’an mengenai perdebatan sikap Islam terhadap Yahudi (QS al-Baqarah/2:120), sesungguhnya lebih berarti sebagai seruan untuk berhati-hati (waspada). Perang dan konflik antara umat Islam di zaman Rasulullah saw di Madinah dengan kaum Yahudi bukanlah suatu pengkhianatan atas prinsip toleransi beragama, melainkan reaksi pembelaan diri dari sikap kelompok Yahudi yang menghalangi aktivitas dakwah Islam, dan hal ini dibolehkan al-Qur’an serta dijustifikasi sebagai kebenaran (QS al-Hajj/22:39-40).
Rubiyanah, Wakil Dekan II Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta