Sudah sekitar dua tahun sejak pandemi melanda di negeri ini, banyak orang yang tidak bisa mudik Lebaran. Namun pada tahun ini, perasaan rindu bertemu sanak saudara dan berkumpul di kampung halaman nampaknya akan diluapkan.
Semua orang tentu berharap Idul Fitri tahun ini bisa bersamaan sehingga nilai kebersamaan masyarakat Indonesia akan lebih terasa. Sudah semestinya, selain mempertimbangkan secara syar’i dan ‘ilmi, aspek sosiologis juga patut menjadi pertimbangan pemerintah dalam penetapan Idul Fitri 1443 H agar bisa meminimalisasi terjadinya perbedaan yang ada.
Penyatuan Bulan Islam
Masyarakat Indonesia tentu sudah cukup dewasa menghadapi perbedaan penetapan bulan-bulan Islam terutama Ramadhan dan Idul Fitri. Akan tetapi, masalahnya tidak hanya di situ. Dengan kultur budaya masyarakat Indonesia yang suka berkumpul, maka ketika terjadi perbedaan pelaksanaan, baik puasa maupun syawalan pasti ada sesuatu yang dirasa kurang.
Oleh karena itu, sisi ini penting untuk dilihat sebagai sebuah nilai kearifan yang patut dijaga dan dilestarikan, baik dalam konteks beragama maupun bernegara agar tercipta suasana yang lebih harmonis. Dengan demikian, upaya penyatuan tersebut perlu terus dilakukan.
Baca Juga
Makna dan Hikmah Idul Fitri
Upaya untuk terus menemukan titik temu penentuan awal bulan Islam di Indonesia sebenarnya sudah terus diupayakan, baik dari pihak ormas Islam sendiri maupun pemerintah.
Mengutip beberapa pendapat dari Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin di mana pada 2004 dalam salah satu fatwa MUI mengeluarkan rekomendasikan adanya kriteria tunggal dalam menentukan awal bulan Islam.
Menanggapi hal tersebut, maka selanjutnya pada 2017 diusulkanlah kriteria baru MABIMS (Forum Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), atau bisa dikenal juga dengan kriteria rekomendasi Jakarta 2017, yaitu tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 (biasanya disebut kriteria 3-6,4).
Upaya juga dilakukan dari kalangan yang menggunakan metode hisab (Muhammadiyah) yang telah mewacanakan untuk beralih menuju ke kriteria Kalender Islam Global (KIG) Turki, yaitu tinggi bulan minimal 5 derajat dan elongasi minimal 8 derajat atau 5-8.
Masih menurut Djamaluddin, jika dilakukan perbandingan dari keduanya, kriteria MABIMS di Asia Tenggara yakni (3-6,4) sebenarnya setara dengan kriteria KIG di Turki yaitu (5-8). Dari dua kriteria tersebut (MABIMS dan KIG) pada dasarnya memiliki titik temu kesamaan dalam menentukan kriteria hilal.
Diharapkan upaya-upaya ini yang terus dilakukan oleh pemerintah dan ormas Islam merupakan langkah baik dalam mencari titik temu mewujudkan kesatuan kriteria penentuan bulan Islam di masa mendatang.
Jalan tengah
Pada 2022, tepatnya 1443 H, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menerapkan kriteria baru MABIMS. Meskipun dengan menggunakan kriteria baru ini, pelaksanaan awal puasa tahun ini di Indonesia tidak bersamaan. Tentu sebagian masyarakat kita ada yang merasa kurang nyaman.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah Idul Fitri pada tahun ini juga terjadi perbedaan? Jika kita merujuk pendapat dari kedua pakar Falak Indonesia, yaitu Prof Thomas Djamaluddin dan Prof Susiknan Azhari kemungkinan besar Idul Fitri akan dilaksanakan secara bersamaan pada Senin 2 Mei 2022, meskipun peluang terjadinya perbedaan itu mungkin saja bisa.
Dalam masyarakat Indonesia sebagaimana telah disebutkan diawal. yang lekat dengan budaya berkumpul, maka sudah semestinya pendekatan sosiologis bisa dijadikan sebagai salah satu pertimbangan pemerintah melalui Kemenag dalam menentukan awal bulan Syawal 1443 H.
Dengan mempertimbangkan aspek ini diharapkan dapat terwujud kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat dalam konteks beragama maupun dalam bernegara. Dengan demikian, maka pemerintah mampu menjadi pengayom terciptanya suasana yang saling menyejukkan.
HM Arif Royyani,
Dosen Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang, Anggota Lajnah Falakiyah PWNU Jateng