Dalam rentang sejarah, sosialisme adalah salah satu ideologi yang sering terkait atau dikait-kaitkan dengan Islam.
Pada 1989, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berpidato di Islamic Center Surabaya pada perayaan hari besar Islam dan menyampaikan di antaranya ide seputar “keadilan sosial”. Beliau mengutip ayat Al-Hasyr (59): 7: “Apa saja harta rampasan fa'i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah”.
Penggal kalimat: “agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” menjadi bagian penting agar diperhatikan dalam pembangunan ekonomi. Janganlah negara membiarkan penimbunan kekayaan oleh segelintir orang dan melupakan nasib orang banyak. Teori trickle down effect yang mengharapkan adanya tetesan dari kaum konglomerat ke masyarakat kelas bawah perlu mendapat tinjauan serius. Widjoyo Nitisastro, arsitek ekonomi Orde Baru dan kolega Mafia Berkeley yang dari konsep mereka muncul taipan-taipan dengan kekayaan sundul langit mendapat teguran.
Pandangan Gus Dur ini sejalan dengan pandangan sosialisme vis a vis kapitalisme yang mendukung tumbuhnya pengusaha-pengusaha kelas kakap. Sosialisme tidak ingin membiarkan status quo yang menimbulkan ketimpangan sosial yang ditopang kapitalisme merajalela.
Munculnya kelas sosial berbasis ekonomi, the have and the have not, yang oleh pemikir kapitalis dianggap biasa karena dalam kehidupan selalu ada yang kaya dan miskin, dilawan oleh kaum sosialis yang menganggapnya sebagai kezaliman terstruktur. Seandainya negara tidak mendukung munculnya hartawan super duper, tentu ia tidak muncul. Seandainya pemerintah tidak membiarkan kemiskinan merajalela tentu ia juga tidak muncul. Masalahnya adalah masalah keberpihakan. Membela kepentingan orang banyak atau segelintir orang kaya yang diharapkan akan meneteskan kelebihan hartanya ke bawah.
Kaum sosialis tidak membiarkan sektor swasta tanpa kendali. Sektor publik harus hidup seperti halnya sektor swasta. Mereka membangun ekonomi secara terpusat untuk menjamin kesejahteraan bersama dan bukan memasrahkannya pada pasar.
Gamal Abdel Nasser Pemimpin Revolusi Arab
Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir kedua, dalam pidatonya di hari buruh 1966 menyampaikan pandangan sosialisme. Dua prinsip yang dia sampaikan yaitu egalitarianisme (al-musawat bayn al-nas) dan keadilan sosial (social justice/al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Gamal tidak mendukung keberadaan kelompok sosial kaya (tabaqat al-sadah) dan miskin (tabaqat al-‘abid). Negara harus menghapusnya dan tidak membiarkannya eksis. Kekayaan yang dihasilkan oleh negara dibagikan ke semua rakyat dan tidak membiarkan segelintir orang atau keluarga menguasai. Membiarkan tatanan yang tidak adil dan menolak perubahan adalah “kafir reaksioner” (kufr al-raj’iyyah). Seperti penolakan kaum feodal dan orang kaya terhadap sosialisme karena selama ini tatanan yang ada menguntungkan mereka.
Lebih lanjut Gamal mengatakan bahwa kalau ingin menerapkan syariat Islam, maka berikan penghasilan negara kepada yang berhak, yaitu rakyat, jangan membiarkannnya untuk keluarga raja. Gamal mengkritik ada keluarga (kerajaan) yang memiliki uang 160 juta riyal dan menyimpannya di bank luar negeri. Dia juga mempertanyakan pekerjaan apa yang bisa membuatnya memiliki kekayaan sebesar itu kalau bukan eksploitasi atau mencuri lewat komisi proyek negara. Ada yang memungut 5%, 10% padahal itu uang rakyat. Kaum feodal dan kapitalis melakukan itu dengan aman tanpa dianggap melanggar hukum. Sementara korupsi menjadikan pelaku dari kalangan rakyat biasa masuk penjara karena dianggap penyimpangan. Sosialisme yang bisa mengubah itu yang mewujudkan keadilan dan menghapus kelas sosial yang selama ini menghisap keringat rakyat.
Sosialisme Islam
Berbeda dengan sosialisme Barat, sosialisme Arab mengadopsi Islam sebagai nilai dasar. Selain ayat yang tersebut di awal yang disebut oleh Gus Dur, ayat zakat at-Taubah (9): 60 juga terkait: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk (yang berjihad) di jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”. Dari sini ajakan memberikan jaminan sosial bagi mereka yang lemah baik secara ekonomi maupun sosial ada dalam ajaran Islam.
Dalam Surat Adz-Dzariyat (51):19, disebutkan sifat orang yang bertakwa: “Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta”; juga at-Taubah 9:103: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka dengannya”. Ayat-ayat tersebut secara umum mendukung keberpihakan kepada kaum lemah sesuatu yang menjadi tujuan utama sosialisme.
Praktik di Masa Khulafaurasyidin
Khalifah Abu Bakar memerangi penolak zakat yang menunjukkan selain karena kewajiban agama, ia juga untuk memberikan hak orang miskin. Bernard Lewis sejarawan Inggris mengatakan bahwa di antara perubahan besar yang diciptakan oleh Islam terhadap tatanan sosial Arab pada saat itu adalah penghapusan aristokrasi atau kelas sosial yang lebih tinggi dari yang lain. Semua manusia dipandang sederajat tanpa melihat keturunan. Arab dan non-Arab tidak dibedakan kecuali kualitas individu yang menentukan (meritokrasi). Bilal bin Rabah karena suaranya yang bagus diangkat sebagai muazin meski dia semula budak kulit hitam. Usamah bin Zaid pada usia muda, 18 tahun, ditunjuk sebagai panglima perang melawan Bizantium di akhir hayat Rasulullah. Para sahabat protes agar menunjuk yang lebih senior. Rasulullah bertahan dengan keputusannya karena tahu memang Usamah layak meski usianya muda dan hal itu terbukti dengan kemenangan perang yang dipimpin Usamah.
Struktur piramida masyarakat di mana posisi tinggi hanya bisa dimiliki oleh kelompok kecil seperti keluarga raja dan sekitarnya diubah. Rasulullah membuka peluang itu untuk semua.
Pada masa khulafaurrasyidin, khalifah Abu Bakar telah mempraktikkan sosialisme dengan memberikan jaminan sosial kepada yang tidak mampu 10-20 dirham per tahun. Abu Bakar juga menetapkan standar minimum penghasilan warganya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan utama. Suatu hal yang menjadi ciri khas welfare state.
Hamid Shadi dalam “An Islamic Alternative? Equality Redistributive Justice, and the Welfare State in the Chaliphate of Umar” menulis praktik sosialisme Khalifah Umar bin Khattab yang memprioritaskan kesejahteraan masyarakat. Dia menghindari penggunaan uang negara untuk fasilitas mewah. Dia mengatakan: “Uang negara lebih baik digunakan untuk jaminan sosial daripada untuk batu bata yang tidak bernyawa”. Umar mengajak rakyat untuk hidup sederhana dan tidak tampak beda dari umumnya orang (pemandangan umum di negara sosialis). Umar memperkenalkan jaring pengaman sosial bagi mereka yang kehilangan perkerjaan, korban laka yang tidak lagi bisa bekerja, pensiunan kerja dan karang wirda. Bayi yang ditelantarkan orang tuanya diasuh negara dengan dana 100 dirham per tahun. Umar juga memperkenalkan konsep kepemilikan umum dengan membeli tanah Bani Harithah untuk lahan produktif sosial. Apa yang dihasilkan darinya disalurkan untuk kebutuhan kaum miskin, budak, musafir, janda, difabel, dan kelompok rentan. Umar juga membagikan kupon yang bisa ditukar gandum saat terjadi paceklik.
Sosialisme Islam Arab dan Non-Arab
Nilai ideal sosialisme menjadikan gerakan kemerdekaan di negara-negara Arab didominasi paham tersebut. Sistem aristokrat yang berkolaborasi dengan imperialisme Inggris mendorong penumbangannya oleh Gamal Abdel Nasser dan rekan-rekan perwira. Bagi Gamal tidak mungkin negara dan kekayaannya dikuasai oleh keluarga raja dan rakyat hanya tunduk saja. Gamal pun mendukung penggulingan sistem kerajaan di negara-negara Arab seperti di Yaman, Iraq, dan Libya, dan mengubahnya menjadi republik sosialis.
Demikian juga dengan protektorat Prancis. Selain di dunia Arab, sosialisme juga tumbuh di dunia muslim yang lain. Di Turki, pasca kalah perang dunia 1, muncul elemen perlawanan untuk mempertahankan wilayah Anatolia agar tidak jatuh ke tangan sekutu pemenang Perang Dunia I. Ia adalah Kuva-yi Seyyare sayap militer organisasi Sosialis Islam Kirkasia-Abkhazia. Bahkan dalam revolusi Bolsevik pada 1917 yang menumbangkan kekaisaran Rusia, Tsar, terdapat elemen sosialis Islam di sana, yaitu Komite Sosialis Muslim Kazan. Penolakan mereka terhadap kaum feodal tuan tanah dan keluarga kerajaan membuat mereka bersatu dengan elemen lainnya mendirikan menumbangkan sistem kerajaan dan mendirikan negara Union of Soviet Socialist Republic (USSR) atau Uni Sovyet. Demikianlah sosialisme banyak dianut oleh mayoritas republik muslim di dunia karena idealismenya yang sejalan dengan nilai keadilan dan kesetaraan Islam.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya