Opini

Islam (di) Indonesia, Sampai Mana Gus?

Rabu, 30 Desember 2015 | 00:00 WIB

Oleh Muhammad Zidni Nafi’*
Dinamika pergulatan Islam di Indonesia dari semenjak era masuk sampai era keluar-masuknya Islam saat ini terus mengalami perkembangan yang tak kunjung ada ‘kode’ untuk berhenti. Bagi para intelektual, tak ada modus untuk ‘mengistirahatkan’ wacana keislaman dan keindonesiaan yang semakin lama semakin ‘seksi’ untuk diperbincangkan, tapi akan ruwet menghadapi problem yang terus menelurkan kompleksitasnya.<>

Tidak heran bila sekarang semakin bertebaran skandal agama ‘diselingkuhkan’ dengan politik, politikus ‘pisah ranjang’ dengan agama, agama ‘dibarter’ kepada pemilik sembako, entertainment ‘mengomersialkan’ agama, orang beragama ‘amnesia’ dengan agamanya, tokoh beragama ‘menodai’ gelarnya, sampai-sampai agama ‘membunuh’ agama lainnya. Lho, ini fenomena apa-apaan, sungguh terlalu ‘kan?

Masyarakat Indonesia, Muslim khususnya, ada yang masih bingung dengan keislamannya. Tidak ‘pede’ ketika ditanyai agamanya apa, terus tidak cukup hanya dengan menjawab “Islam”, biasanya dikasih embel-embel missal “Islam Xxx” di belakangnya. Juga tidak ‘puas’ tatkala Islam hanya sebagai ritus-ritus yang bersifat privasi, tetapi ada yang berusaha sekuat tenaga (baca: memaksakan) bagaimana Islam dijadikan simbol-simbol resmi (formal) pada setiap bidang kehidupan.

Islam tidak hanya ‘nongkrong’ 

Islam di Indonesia semacam bubuk ‘agar-agar’ yang direbus kemudian didinginkan pada suatu wadah, maka bentuk agar-agarnya akan selalu menyesuaikan wadahnya. Mana mungkin jika cairan agar-agar dituangkan pada wadah persegi, ketika sudah dingin lalu menjadi berbentuk bulat?

Sudah diketahui bersama, ajaran Islam tidak masuk dalam wadah kosong, Islam pun tidak hanya ‘nongkrong’ di warung yang bernama Indonesia, tetapi Islam juga berdialektika dengan pemilik dan penghuni warung, bercengkrama saling berbagi pengetahuan, sesekali mentraktir satu sama lain, mencicipi menu makanan yang disediakan –tidak mungkin cuma ngopi dan ngerokok— bahkan lantaran masakannya teramat enak dan cocok di lidah, Islam lalu bersedia ‘menikah’ dengan pemilik warung baru saja merdeka pada tahun 1945 itu.

Dari era Walisongo hingga era ‘kepulangan’ Abdurrahman Wahid (Gus Dur) –kabarnya sebagai calon ‘Wali sepuluh’— Islam terus berganti kulit, terkadang cuma bajunya saja dengan wajah yang beraneka ragam, tetapi jasadnya masih menyimpan ‘ruh’ yang menjadi karakteristik Islam ala Indonesia yang berbeda dengan Islam yang ‘di sana-sana’.

Kenapa sampean terus Gus?

Wacana keislaman dan keindonesiaan abadi ke-21 ini masih didominasi oleh berbagai wacana yang diperkenalkan oleh Gus Dur pada akhir abad ke-20. Kenapa “harus” Gus Dur terus? Ini yang menarik, lantaran Gus Dur pada masa kecilnya, sebagaimana diceritakan oleh Greg Barton (2003), terdidik di pesantren yang dahulu identik dengan kultur tradisional, lalu ‘diramu’ dengan pemikiran-pemikiran ala Timur Tengah dan ala Barat ketika masa kuliahnya. Sehingga bisa dilihat sendiri, buah karya Gus Dur menjadi ‘barang antik’ di rak-rak perpustakaan, hingga keilmuannya yang bijaksana dan nyleneh itu selalu dikutip oleh berbagai kalangan lintas identitas.

Iniah yang menjadikan pikiran-pikiran Gus Dur masih menarik dan relevan untuk ditelusuri khazanahnya. Apalagi dalam konteks keindonesiaan, sepak terjangnya di Nahdlatul Ulama (NU) hingga pengalaman sejenaknya  “menduduki” kursi nomor satu di Indonesia. Jika diamati secara mendalam, Gus Dur seolah-olah menerjemahkan dirinya sesosok Walisongo generasi baru di zaman globalisasi.

Uniknya pemikiran Gus Dur bukan tanpa metodologi. Agus Maftuh Abegebriel berkesimpulan bahwa Gus Dur lebih mementingkan pemahaman “Ma haula alannass” (around the text), bukannya berhenti dalam “Ma fi alannass” (in the text). Hal ini tercermin dari pengalaman keagamaan Gus Dur yang senantiasa memahami teks keagamaan lengkap dengan setting sosial dan politik yang melingkupinya.

Universalisme Islam

Dalam buku Islam Kosmopolitan (2007) Gus Dur mengatakan bahwa Islam bukanlah sesuatu yang statis, dan ajaran Islam bukan sesuatu yang sekali jadi sehingga tidak membutuhkan reformulasi maupun reaplikasi. Dengan kata lain, pengembangan hukum Islam dasarnya harus selalu diterjemahkan secara kontekstual.

Prinsip-prinsip universalisme Islam yang berpijak pada asas kerukunan, kebersamaan, memperjuangkan keadilan dan menolak berbagai atribut tindakan diskriminatif dan kekerasan menjadi pertimbangan dasar dalam pengambilan keputusan hukum.

Pada saat yang sama Gus Dur juga tampak tidak mau terlibat dalam proses kesinambungan dengan teks-teks yang dinamis. Style pemahaman ini mengharuskan Gus Dur untuk menarik garis demarkasi antara mana “Pure Islam” dan mana yang “bias kultur Arab”. Di samping itu. Gus Dur tanpa disadari dipengaruhi oleh statement ulama digdaya Al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali yang sejak dini dengan beraninya membedakan antara “Muhammad yang Nabi” dan “Muhammad yang Arab”.

Wacana kosmoplitanisme Islam untuk Indonesia

Maqasidus Syari’ah –yang menekankan 5 jaminan dasar dalam Islam— dalam pandangan Gus Dur merupakan kekayaan mendasar dalam rangka membangun kosmopolitanisme peradaban Islam. Konsep kosmopolitanisme Gus Dur secara praktis dapat menghilangkan batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, heterogenitas politik.

Dalam perspektif budaya untuk memperkaya proses dialog antar peradaban, saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam. Dalam perspektif keilmuan dapat memfasilitasi pergumulan dan pergulatan keilmuan Islam sehingga menemukan progresifitasnya. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik (bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber) selama berabad-abad (Abdurahman Wahid, 2007: 9).

Gus Dur dalam Pribumisasi Islam (1989) yang ia populerkan juga menekankan nilai dasar ajaran Islam (Weltanschauung Islam) dalam tiga bagian; persamaan, keadilan dan demokrasi. Ketiga ini diejawantahkan dalam sikap keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Itulah kenapa ada agenda prioritas dimana Gus Dur mengajak untuk menciptakan kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan umat Islam dalam bangsa Indonesia majemuk ini. Dengan kata lain, nasionalisme umat Islam di Indonesia harus beriringan dengan pluralitas bangsa sendiri. 

Dalam pandangan Gus Dur, nampaknya demokrasi memang menjadi ‘mahar’ bagi keislaman dan keindonesiaan untuk diejawantahkan dalam berbagai sektor dalam berbangsa dan bernegara, sebab dalam buku Tabayun Gus Dur (1998: 192) bagi kiai kelahiran Jombang itu inti dari demokrasi ‘kan sebenarnya adalah kontrol sosial, kritik terhadap pihak yang memegang kekuasaan, oleh orang yang berada di luarnya. Dengan begitu Islam dan demokrasi –meskipun memang Islam pada dasarnya mengandung ajaran demokrasi— akan menjadi poros utama dalam agenda perubahan sosial yang berorientasi pada kemajuan masyarakat. 

Proses melestarikan dan membuang

As’ad Said Ali mengatakan Gus Dur sendiri menyadari akan kecintaannya terhadap NU sebagai pengusung Islam Tradisional, namun kecintaannya ini juga seimbang dengan kecintaan atas tegaknya Republik Indonesia. Oleh karena itu, Gus Dur memaknai tradisionalisme yang diinginkan Islam Indonesia adalah tradisionalisme yang memiliki arti bagi perubahan sosial. Dalam proses perubahan sosial tersebut menjadikan proses melestarikan dan membuang/mengubah.

Namun, dalam proses tersebut Gus Dur (2005: xxi) memberikan prasyarat  yang harus dipenuhi, yaitu antara lain; 1) semangat kebangsaan dan kemanusiaan, 2) keharusan menerapkan konstitusi ataupun peraturan secara benar, 3) kejelian dan kejujuran bersikap, 4) keberanian moral, keadilan dan kemakmuran, 5) musyawarah dan mengakui hak yang sama, 6) serta menghargai orang lain dan mencari nilai-nilai universal.

Bagaimana agenda Islam Indonesia?

Berakar dari spirit Islam Indonesia yakni memanifestasikan kehidupan beragama (Islam) melalui perspektif dan nilai-nilai keindonesiaan sebagaimana diajarkan Gus Dur, terdapat “agenda” untuk ‘perjalanan’  Indonesia ke depan. 

Dalam konteks ini, agenda Islam di Indonesia dapat mengetengahkan pada beberapa isu, (1) status negara hingga kini masih sering dipertanyakan oleh sebagian kalangan Muslim sendiri, apalagi arus radikalisme agama semakin deras. Pancasila, memang sangat tepat sebagai ‘agama’ Indonesia, tapi Pancasila sendiri dianggap tidak akan abadi, sehingga akan tiba masa ‘kadaluarsanya’.

Akibatnya, muncul gerakan dari pihak-pihak yang hendak men-syahadat-kan ‘Sang Burung Garuda’ yang sudah lanjut usia ini. Mereka menghendaki simbol-simbol Islam sebagai ‘identitas negara’. Poin ini tidak lepas dari (2) kondisi perpolitikan negara yang kian hari kian berkoalisi dengan partai-partai ‘setan’, penyalahgunaan jabatan, demokrasi setengah hati, jual-beli ‘kursi’, hukum semaunya ditafsiri, sampai budaya korupsi yang telah menjalar ke urat nadi. Banyak pemegang kursi yang ‘pisah ranjang’ yang ending-nya ‘menalak tiga’ ajaran agama, bahkan ‘ruh’ Pancasila-nya pun sebenarnya entah ditaruh dimana. Ada istilah, seolah-olah Pancasila serta perangkatnya –yang ‘katanya’ islami— tidak berfungsi secara massif sebagaimana mestinya.

Hal itu berujung pada (3) sebagian masyarakat –baik itu Muslim atau non-Muslim— mulai tak percaya lagi kepada negara dan penguasanya. Tidak sedikit yang menjadi apolitis, cuek, egois, dan sikap nasionalismenya kini entah bagaimana nasibnya. Yang tidak kalah adalah (4) Islam yang seharusnya menjamin, menjaga serta mengembangkan pluralitas bangsa Indonesia, sayangnya hanya segelintir orang/kelompok yang berani menyuarakan. Jangankan mengembangkan pluralitas, wong sesama Islam saja masih sibuk ‘musyawarah’ memperdebatkan mana yang bid’ah, mana sesat, mana yang kafir, mana yang masuk surga, mana yang masuk neraka.

Di samping itu, ternyata (5) spirit beragama Muslim Indonesia belum secara massif berhembus untuk mewujudkan Islam sebagai agama pemberdayaan masyarakat. Sehingga, perangkat-perangkat seperti pendidikan, perekonomian dan pengelolaan sumber daya alam belum maksimal dan menyeluruh untuk menjunjung ‘kualitas hidup’ masyarakat.

Yang tak kalah menarik adalah (6) paradigma Islam yang berpusat di Timur-Tengah yang kini situasinya tak jelas bagi masa depan Islam, lalu sekarang bergeser ke Indonesia. Islam dipandang mempunyai ‘masa depan’ di Indonesia sebab secara umum dianggap mempunyai karakter terbuka, damai, dan toleran. Ini tantangan bagi Islam Indonesia, atau bisa jadi ini malah rintangan yang menjadi beban bagi Muslim Indonesia.

Berangkat dari situ, bisa diamati bersama mengenai bagaimana, di mana, dan sejauh mana posisi Islam (di) Indonesia bagi kelangsungan hidup pada hari ini dan hari-hari mendatang. Atau, apakah hal ini perlu tanyakan langsung kepada Gus Dur, “Sebenarnya menurut sampean, sampai mana Islam (di) Indonesia Gus?” Alfatihah

*Aktivis Jaringan Mahasiswa Lintas Agama (Jarilima), CSSMoRA dan PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Terkait