Opini

Khittah Ekonomi Pangan NU

Kamis, 11 Agustus 2011 | 11:19 WIB

Oleh Mochammad Maksum Machfoedz

Pada awal peradaban Islam, bagaimana seharusnya empati dan proteksi seorang Pemimpin terhadap ummatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar, terutama bagi mereka yang dalam bahasa sekarang disebut the most disadvantaged people, yaitu fakir-miskin yang tersisih dari pembangunan, telah diajarkan dengan tegas secara struktural oleh Nabi Besar Muhammad SAW. Disebut struktural karena dalam hal ini baginda Rasul bersikap dalam posisi sebagai Pemimpin Ummat dan peradaban.
<>
Spekulan Pangan: Dosa Besar
Ketika itu, Madinah sedang menghadapi kisruh pangan yang ditandai melangitnya harga pangan pokok, seperti yang kini sering dihadapi Muslimin Indonesia setiap Ramadlan. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin yang paling bertanggungjawab sungguh sangat prihatin, terutama setelah mensinyalir adanya tindak spekulatif dalam pasar pangan melalui ihtikar, yaitu ulah serakah penimbunan pangan untuk keperluan mencari untung dengan memanfaatkan kelangkaan pangan yang dilakukan para muhtakir, spekulan penimbunan.

Proteksi dan empati terhadap wong cilik itu telah melahirkan kehadiran struktural Muhammad, bukan sebagai sosok pribadi tetapi sebagai seorang Pemimpin Besar. Hukum perekonomian pangan nasional Madinah pun otomatis dilahirkan melalui sabda Rasul super populer yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “Barangsiapa menimbun bahan makanan sampai empat puluh malam maka sungguh Allah tidak lagi urusan kepadanya”.

Lebih tegas lagi adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim: "Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa". Pilihan Nabi dengan menyebut muhtakir atau penimbun sebagai khathiun, orang berbuat dosa, jelas bukan main-main. Kata ini dipakai Allah SWT dalam Al-Qur’an (Surat al-Qashah: 8) untuk menyebut kebiadaban dan kelaliman Fir’aun yang tiada tandingan. Pilihan ini tentu berbasis pemikiran bahwa dampak sosial penimbunan sebagai spekulasi ekonomis memiliki implikasi sosial yang mengerikan seperti terjadi mutakhir ini. Dalam riwayat Razin, Nabi bahkan menyebut muhtakir sebagai sejelek-jeleknya manusia dan niscaya dilaknat oleh Allah, mal’un.

Sikap ekonomi pangan Nabi dalam hal ini tentu hanya salah satu dari beragam sikap kehidupan kemasyarakatan Beliau, dan khususnya dalam perilaku ekonomis. Fakta dimaksud tentu menjadi sumber hukum utama kaum muslimin, mendampingi Al-Qur’an.

Anasir Perekonomian Madani
Sikap pro rakyat kecil, ditambah sejumlah sikap dan teorisasi sosial-ekonomis kenabian Muhammad SAW tersebut telah melandasi pemikiran tentang tata pangan dan sosial-ekonomis yang oleh para pemikir Islam terdahulu dirumuskan sebagai sikap mabda’, mengkokohkan prinsip keummatan menuju eksistensi muslimin sebagai khaira ummah, ummat terbaik. Secara mendasar prinsip-prinsip itu diadopsi oleh para pendiri Nahdlatul Ulama dan dirumuskan dalam bingkai Mabadi’ Khaira Ummah, salah satu pilar eksistensi NU. Secara rinci Mabadi’ meliputi intisari sikap: (i) ash-shidq, kejujuran; (ii) al-amanah, bisa dipercaya; (iii) al-adalah, berkeadilan; (iv) at-ta’awun, saling tolong menolong; dan (v) al-istiqamah, istiqamah-pantang serakah dan tidak greedy.

Berdasarkan uraian di atas, setidaknya terdapat tiga unsur peradaban ekonomi Madani yang bisa diambil sebagai pelajaran utama dalam mencermati kinerja perekonomian dan pangan nasional dewasa ini: (i) larangan tindak ekonomi dan ekonomi pangan khususnya, yang penuh dengan keserakahan yang dimisalkan melalui perilaku serakah muhtakir; (ii) nilai-nilai dasar sebagai norma perekonomian dan tata sosial-ekonomi yang dibingkai dalam mabadi’ khaira ummah; dan (iii) keharusan Negara dan Pemimpin yang harus secara struktural bertanggungjawab dan secara substantif senantiasa hadlarat, hadir mengawal kepentingan sosial serta menyelesaikan persoalan publik yang meresahkan.

Ramadlan 1432 adalah waktu terbaik mendasarkan diri pada tiga anasir Madani sebagai instrument untuk melakukan tafakkur dan perenungan dengan jernih, melakukan muhasabah seksama mencermati ektremitas eskalasi harga pangan setiap Ramadlan yang dalam beberapa tahun terakhir senantiasa mengganggu kekhusukan puasa Nahdliyyin.

Keharusan Kehadiran Negara
Kaitannya dengan karakter tiga unsur penunjang perekonomian Madani, pasti tidak terlalu mudah untuk melakukan koreksi tindak ekonomi individualistik yang sementara ini telah terbuai habis oleh pragmatisme kapitalistik-neoliberalistik bertujuan profit maximizing semata. Dengan menyesaknya dunia akibat aneka ragam syahwat duniawi berjangka pendek, sudah barang tentu tidak mudah mengharap perubahan tatanilai ekonomi pada tingkat individu dan masyarakat untuk secara massif dan sukarela menghindarkan keserakahan dan sekaligus mengedepankan kemashlahatan rakyat.

Harapan terakhirnya hanya berada pada kehadiran Negara dengan amanat kewenangan membangun tata-cara berkehidupan untuk secara efektif membangun kemaslahatan umat, terutama menjadi payung pelindung wong cilik yang sering terdlalimi, al-madluum.

Melalui mekanisme bernegara, PBNU harus mendesak Negara untuk mengadopsi nilai kemadanian NU yang pro kemshalatan umum, berdasarkan Mabadi’ Khaira Ummah, terutama kaitannya dengan urusan bernegara dan hajat hidup orang banyak. Sudah seharusnya adopsi dilakukan secara cermat dalam formulasi kebijakan perekonomian. Melalui prinsip hadlarat atau hadir substantif sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad, niscaya perekonomian akan menjadi spiritualistik dan berkeadilan. Melencengnya kinerja Sosial-ekonomi dalam  bernegara NKRI jelas terukur dari melencengnya mutu kehidupan yang serakah dan menyesatkan, yang semakin menjauhi prinsip Mabadi’ Khaira Ummah.

Bukan saatnya lagi perekonomian nasional semakin tidak adil bagi Nahdlyyin, sebagai mayoritas warga bangsa sekaligus mayoritas mereka yang berpuasa tetapi terpaksa tidak khusuk puasanya karena terganggu membubungnya harga sampai tingkat tidak terjangkau. Kebanyakan dari mereka sudah berada dalam kondisi tidak mudah untuk menjawab apa gerangan menu buka puasa keluarganya untuk hari ini dan esok. Na'udzubillah.

*Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Terkait