Kiai Chalid Mawardi: Kejelian Berorganisasi dan Bahaya Snobisme Intelektual Kader PMII
Senin, 5 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mungkin tertarik untuk menyimak pertemuan beberapa mahasiswa Nahdlatul Ulama di Surabaya pada 14-16 April 1960. Mereka juga mungkin penasaran: Kenapa pertemuan tersebut perlu menambah waktu satu hari di tanggal 17 April? Dan mengapa tidak ada satu pun dokumentasi foto acara yang mengesahkan kelahiran PMII itu?
Kepenasaranan tersebut pernah saya tanyakan kepada Kiai Munsyif Nahrawi, deklarator pendirian PMII dari Yogyakarta, tatkala ia menelepon untuk menanyakan tentang Kiai Mustahal Ahmad—yang tiada lain adalah paman dari Kiai Chalid Mawardi.
“Pak Kiai, sebenarnya ada banyak pertanyaan mengenai rapat di Surabaya pada 14-17 April 1960. Harusnya, kan, secara perkembangan, kamera sudah masif dimiliki oleh masyarakat. Betapa akan menarik, misalkan, generasi kami tahu bagaimana proses sidang, perumusan yang terjadi, hingga persiapan konsumsi dalam acara tersebut lewat foto-foto. Tapi, kok, tidak ada foto-fotonya?” Saya mengajukan pertanyaan tersebut dengan sedikit tawa.
“Kamera zaman itu masih menjadi barang mahal, Mas. Belum banyak yang memiliki,” jawab Kiai Munsyif.
Jawaban itu memberi bayangan saya terhadap situasi pada awal 1960-an yang kelihatannya masih serba sederhana. Salah satu hal yang kemudian terlintas dalam pikiran saya adalah sejarah penggunaan kamera di lingkungan Nahdlatul Ulama. Katakanlah ketimbang Muhammadiyah, NU memang agak terlambat memanfaatkan kamera untuk memotret peristiwa-peristiwa penting.
Mari kita tengok mahakarya sejarawan Prancis Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu: Bagian I: Batas-Batas Pembaratan (1996). Dalam buku itu, Lombard memberi catatan menarik akan posisi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menyikapi fotografi yang mulai populer di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Lombard menjelaskan Muhammadiyah memutuskan untuk menenggang penggunaan kamera, namun dengan syarat-syarat tertentu, dan melarang para anggotanya memajang potret pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan. Sementara itu, Nahdlatul Ulama memutuskan bahwa “memotret, mencetak dan mencuci negatif merupakan kegiatan yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain sehingga harus secara tegas dianggap haram.”
Terlepas dari angan-angan untuk terus mengerti potret demi potret, satu hal yang kita pahami dan bersepakat adalah Kiai Chalid Mawardi merupakan salah satu peserta dalam pertemuan tersebut. Ia mewakili mahasiswa NU Jakarta dan kemudian tercatat sebagai deklarator pendirian PMII.
Bocah Keprabon yang “Mletik”
Jakarta adalah masa tua yang dinikmati Kiai Chalid sejak kepindahannya dari Kota Solo tatkala ibunya, Nyai Mahmudah Mawardi, didapuk menjadi ketua Muslimat. Nyai Mahmudah juga pernah menjadi anggota DPR RI. Masa kecil dan remajanya berada di ayunan ritmis kehidupan di bilangan Keprabon, tempat yang disebut beberapa kali oleh Takashi Shiraishi dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Ayah Kiai Chalid adalah Kiai Mawardi yang merupakan anggota Sarekat Islam.
Nama sejak lahir tersemat ‘Ahmad’. Nama ‘Chalid’ diberikan sebab ayahnya pengagum Khalid bin Walid. Di buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984) susunan Majalah Tempo menempatkannya di halaman 488-490. Teranglah kita membaca: “Anak itu ditinggal wafat ayahnya pada usia enam tahun. Kendali kehidupan keluarga beralih ke tangan ibunya, Ny. Hajjah Machmudah, seorang tokoh pergerakan tangguh. Pernah mengetuai Muslimat NU di Solo, selama 20 tahun (1932-1952), kemudian pindah ke Jakarta dan bekerja di Departemen Pendidikan Agama.”
Di profil sepanjang tiga halaman tersebut, kita diajak mengenang kegemaran Kiai Chalid. Ia, misalnya, pernah meraih empat piala lomba catur. Keterangan lain: “Selain membaca dan menulis, ia gemar lari-lari pagi seusai sembahyang subuh. Main tenis dilakukannya tiap seminggu dua kali.” Yang cukup mengagetkan adalah pengakuannya ketika ia diangkat menjadi sekretaris ibunya. Ia berbagi pengalaman dalam keterangan: “Saya sering disuruh Ibu membuat teks pidato pemandangan umum, atau pidato untuk kongres Muslimat.”
Babak permulaan Kiai Chalid adalah Solo. Mengapa Solo? Di lembaran sejarah, Solo juga memberi peran pada dinamika perkembangan PMII. Saat masa remaja, Kiai Chalid bersama dengan pamannya, Kiai Mustahal, adalah dua bocah Keprabon yang visioner dan “mletik” dalam pengorganisasian anak muda. Pada 27 Desember 1953, mereka berdua bersama beberapa pelajar SMA negeri di Solo menggerakkan organisasi yang bersifat lokal dengan nama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Surakarta (IPNUS).
Pada Konferensi I Lembaga Pendidikan Ma’arif di tanggal 24 Februari 1954, keduanya, bersama Kiai A. Ghoni Farida dan Kiai Sofyan Cholil, mengusulkan IPNUS menjadi organisasi level nasional agar lebih berkembang. Usulan mereka diterima.
Organisasi tersebut kemudian dikenal dengan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Kiai Tolhah Mansur dipilih sebagai ketua umumnya. Meski terbilang lebih muda ketimbang lainnya, Kiai Chalid Mawardi lah yang menyampaikan ide tersebut dalam forum. Ia lahir pada 11 September 1936. Artinya, pada konferensi tersebut, ia baru mau menginjak usia 18 tahun.
Dalam Fragmen Seperempat Abad PMII (1985) garapan Dinamika Studi Club (DSC) yang diketuai Nukhbakh El Manhub (Ketua PMII Solo 1982-1983), kita mendapat banyak keterangan tentang peran Kiai Chalid. “Dalam pembicaraannya beliau menguraikan betapa pentingnya ada suatu wadah di kalangan-kalangan pelajar NU yang memiliki tujuan-tujuan antara lain: (1) Untuk melanjutkan azas NU yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (2) Sebagai konsekwensi terhadap Partai NU yang secara terang dan tegas menyatakan keluar dari Partai Masyumi dan menjadi partai yang berdiri sendiri, dan (3) Adanya kenyataan bahwa PII (Pelajar Islam Indonesia) belum dapat menampung pelajar-pelajar umum dan pelajar-pelajar pesantren.”
Gerakan pelajar yang bersifat lokal itu kemudian menjadi landasan penting berdirinya IPNU (1954), IPPNU (1955), dan tentu saja adalah serangkaian pertemuan kalangan mahasiswa untuk merumuskan organisasi mahasiswa NU yang kelak dikenal dengan PMII. Banyak sumber mengatakan, termasuk pengakuan Kiai Munsyif Nahrawi tatkala saya berjumpa dengannya pada 2020, bahwa Kiai Chalid Mawardi adalah salah satu orang yang diusulkan menjadi ketua umum pertama PMII selain Bung Mahbub Djunaidi.
Menghindari Snobisme Intelektual
Kiai Chalid dan Bung Mahbub adalah kawan karib semenjak berproses menjadi reporter di Duta Masyarakat pada 1958. Ia kemudian menjadi wakil pemimpin redaksi, menemani Bung Mahbub sebagai pemimpin redaksinya. Meski akhirnya yang terpilih sebagai Ketua Umum PMII adalah Bung Mahbub, Kiai Chalid menempati Wakil Ketua I PMII kepengurusan Bung Mahbub selama tiga periode (1960-1967). Peranan Kiai Chalid dapat kita tilik dalam salah satu dokumen sejarah PMII, Sewindu PMII (1968), yang diterbitkan PMII Ciputat. Di sana, terdapat salah satu tulisan Kiai Chalid berhubungan dengan kaderisasi dan pengembangan organisasi.
Jejak itu tentu boleh menjadikan kita menegaskan bahwa Kiai Chalid adalah sosok yang memiliki kejelian membaca situasi dengan dibekali ketekunan dan komitmen dalam berorganisasi. Proses panjangnya di Nahdlatul Ulama bukan hanya di tataran pelajar dan mahasiswa. Ia juga mengabdi di GP Ansor dan pernah berada di struktur PBNU. Yang menarik adalah saat momentum peringatan harlah ke-30 PMII pada 1990. Tepat pada 14 Mei 1990, tulisannya berjudul “PMII dan Cita-Cita NU” dimuat di Harian Kompas.
Tulisan tersebut kemudian termaktub dalam bunga rampai Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (1991). Lewat artikel itu, kita mengerti betapa kompleks relasi yang berhubungan dengan NU dan PMII. Ada satu uraian menarik yang diungkapkannya, yakni didasarkan pada istilah “snobisme intelektual”—penyakit yang dialami oleh kelompok intelektual ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Mereka ingin masyarakat bergerak cepat. Namun dengan kelambanan yang terjadi, mereka justru mengasingkan diri. Ada kekhawatiran yang terbayang saat kalangan anak muda NU mulai banyak yang merambah ke pendidikan tinggi.
Baca Juga
KH Chalid Mawardi Ulama Diplomat
“Sebab, apabila sikap mengasingkan diri dari lingkungan keluarga besar NU dilakukan generasi muda Nahdliyyin yang berpendidikan tinggi, maka harapan-harapan besar bagi peranan mereka untuk memodernisir NU, sebagaimana dinyatakan pada waktu PMII dilahirkan, akan tersia-siakan. Dan NU akan kehilangan grip terhadap potensi pembaharuannya sendiri. Dan, akibatnya, NU akan terus tercekam oleh tradisionalismenya.”
Pada Jumat, 26 Juli 2024, Kiai Chalid Mawardi meninggalkan kita untuk selamanya. Ia tak sempat mendapat kabar secara langsung soal Kongres XXI PMII yang akan diselenggarakan pada 10-15 Agustus 2024 di Palembang. Tapi kalimat-kalimatnya dalam artikel Kompas 34 tahun lalu itu patut menjadi bahan permenungan bagi siapa saja yang hendak berangkat ke Kongres:
“Kemampuan kaum intelektual NU akan sangat diperlukan untuk meniupkan perubahan elan sejarah ke dalam masyarakat Nahdliyyin, dengan pedoman yang dipakai oleh NU sendiri: memelihara yang lama, yang masih relevan, masih produktif, dan masih diperlukan. Dan, bersamaan dengan itu, mengubah, memperbaiki, dan mengganti yang lama dan usang, tidak efektif, serta antiprogres.”
Joko Priyono, fisikawan partikelir, Anggota Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Riset PB PMII 2021-2024, penulis buku Transformasi Keempat PMII (2021)
Editor: Ivan Aulia Ahsan