Pemberian amalan dan ijazah yang kerap diberikan, sudah pernah diamalkan sebelumnya. (Foto: NU Online)
Oleh Sufyan Syafii
Setelah sekian tahun berjuang melawan penyakit yang dideritanya, KH Nur Muhammad Iskandar harus mangkat dalam usia 65 tahun. Kiai Nur (panggilan singkat masyarakat) tidak saja meninggalkan keluarga, ratusan santri aktif, atau beratus-ratus ribu alumni, tetapi juga meninggalkan keteladanan dan pelbagai macam pengamalan tirakat.
"KH Nur Muhammad Iskandar, bukan saja telah menjadi tokoh besar, tetapi juga meninggalkan warisan yang besar," kata Syamsul Anas Tahir, tokoh masyarakat Jawa Timur, yang turut hadir dalam malam tahlilan ketujuh tatkala menyampaikan kenangan bersama almarhum di depan umum.
Hal itu menurut Anas, karena Kiai Nur bukan saja meninggalkan cabang-cabang Pesantren Asshiddiqiyah yang tersebar di berbagai daerah. Tapi, juga meninggalkan banyak kebiasaan-kebiasaan baik yang istiqamah dilakukannya.
Apa yang disampaikan Gus Anas di atas, tentu sejalan dan diakui banyak tokoh lainnya. Kiai Nur, adalah sosok yang gemar mendawamkan banyak tirakat dalam kehidupannya. Beberapa tirakat yang sering dilakukannya adalah shalat malam, zikir shalawat, puasa Daud, ratiban, shalat berjamaah, berzikir dengan surat Yassin, sedikit makan, tidur setelah semua pengurus pondok tidur, dan bangun ketika semuanya masih tertidur, dan lain sebagainya. Pun dalam fase usia senja, dan dalam keadaan sakit, Kiai Nur rupanya masih menjalankan puasa Daud.
Bahkan ada amalan yang saya dengar dari salah satu alumni tatkala menyampaikan maksud diri hendak mendirikan pesantren. Mendengar informasi itu, Kiai Nur mendoakan dan memintanya untuk shalat 100 rakaat setelah Maghrib sampai Isya. Cerita lainnya juga didapat dari alumni dengan niat yang sama, hendak mendirikan pesantren. Hanya saja, amalan ijazah yang diterimanya ditambah untuk tidak pernah putus membaca Surat Yasiin dalam keadaan senggang maupun sedang bekerja.
Faktanya, pemberian amalan dan ijazah yang kerap beliau berikan, sudah pernah diamalkan sebelumnya. Terbukti, pesantren-tersebut alumni tersebut kini memiliki banyak santri. Artinya, tirakat dan amalan yang biasa terlihat dalam ruang interaksi antara santri dengan Kiai Nur, adalah sepersekian amalan yang mungkin masih banyak amalan-amalan lainnya yang dilakukannya.
Kiai Nur juga selalu bersemangat ketika hendak melakukan shalat berjamaah. Jika tidak sedang di luar kota, ia biasanya sudah hadir di masjid pondok 30 menit sebelum waktu shalat tiba. Bahkan dalam keadaan berpergian, Kiai Nur akan selalu mengajak orang lain ketika hendak pergi. Ketika ditanya terkait kebiasaan membawa satu orang tersebut, Kiai Nur menjawab, “Agar di mana pun saya berada, saya bisa tetap melakukan shalat berjamaah."
Kiai Nur juga mewajibkan para santri tingkat akhir, seperti kelas 3 dan 6 untuk mulai mendawamkan puasa Senin-Kamis, puasa Daud, dan istighotsah secara rutin. Penulis-pun merasakan, ketika menjelang ujian akhir, biasanya ada kewajiban membaca Ratib al-Haddad dan Ratib al-Atthos sebelum tidur usai belajar malam. Bahkan beberapa bulan menjelang ujian akhir, biasanya para santri tingkat akhir akan diajak berziarah ke makam-makam wali untuk berdoa dan beristighotsah bersama.
Jika dicermati, itu semua diperintahkan Kiai Nur, semata untuk mengajarkan para santri bahwa selalu ada 'campur tangan langit' dalam setiap ikhtiar yang dilakukan. Segala ilmu hanya menjadi sebuah pengetahuan tanpa makna jika tidak disandarkan kepada Sang Pemilik Ilmu itu sendiri, Allah SWT. Sebagaimana Kiai Nur juga bercerita dalam autobiografinya, bahwa proses pendirian pesantren, sampai proses perjalanannya pun adalah murni kehendak 'isyarat langit' yang dilakukan minimal dua belas rakaat dan melalui zikir malam yang panjang.
Sangat mungkin, wasilah keistiqamahan tirakat inilah yang kerap menguatkan Kiai Nur dalam setiap aktivitasnya. Kiprah sejak muda sebagai seorang dai yang mengisi dari satu masjid ke masjid lainnya, entrepreuner pesantren dari satu percobaan model pengembangan ekonomi pesantren ke model pengembangan lainnya, sampai menjadi politikus dengan berbagai macam kelumitnya, tentulah bukan sebuah aktivitas yang mudah. Dalam keadaan seperti itu, mengandalkan kekuatan fisik saja tentu tidak akan cukup.
Keseimbangan antara usaha lahiriah dan tirakat sebagai usaha batin ini bisa jadi adalah salah satu penguat dalam membentuk sosok Kiai Nur yang tetap eksis, walaupun peluru pernah hampir bersarang di tubuhnya lantaran mengecam salah satu kebijakan Orde Baru. Serta, mampu meluaskan peran dakwahnya ke pelosok negeri melalui dibukanya cabang-cabang pesantren di berbagai wilayah. Walaupun beberapa kali negeri ini dilanda krisis ekonomi.
Tirakat dan amalan yang kerap diberikan kepada para santri, adalah suatu 'nasihat' panjang guna membentuk karakter seorang santri yang ajeg. Membentuk karakter yang tidak hanya pintar berbasis Intelligence Quotient (Kecerdasan Intelektual), tapi juga memiliki kekuatan ruhani yang mantap. Agar kelak para santri lebih siap menghadapi kehidupan dunia yang terus bergulir secara cepat. Dengan tetap memiliki tingkat kemantapan iman yang juga terus bertambah. Sebab, laku tirakatan adalah sebuah tradisi dan teknik pembelajaran yang tidak ada di sistem pendidikan modern manapun kecuali di pesantren.
Sufyan Syafii, Alumni Ponpes Asshiddiqiyah.