Pagi itu penyair dari Madura yang biasa disebut Sang Celurit Emas, Kiai Zawawi Imron bercerita sarapan paginya. Dia sedang berjalan ke Desa Nyabakan, Sumenep, sekitar 4 kilometer ke arah timur dari desanya. Di sana Kiai Zawawi mampir ke sebuah warung kecil untuk membeli sarapan.
Tak disangka, sarapan cukup dengan uang seribu rupiah, sudah dapat nasi dibungkus daun jati dan lauk ala kadarnya. Ada urap-urapan juga, kadang dari daun singkong, kadang juga kecambah. Cukup kenyang untuk orang seusia Kiai Zawawi.
Orang-orang kota mungkin tidak pernah bisa membayangkan ada warung nasi yang menyediakan nasi seharga seribu rupiah. Ya, seribu rupiah! Bisa untuk apa uang seribu rupiah. Untuk ke toilet saja kurang. Uang seribu dikasihkan ke tukang parkir bisa langsung dibuang sambal mengumpat: “….dasar pelit”! Tapi di Desa Nyabakan masih bisa untuk sarapan. Tidak percaya? Cobalah suatu saat minta diantar Kiai Zawawi ke desa tersebut.
Kiai Zawawi cerita, di kampung Nyabakan itu orang bisa hidup sederhana dengan biaya hidup 6 ribu rupiah sehari, setara tiga kali ke toilet di Jakarta. “Saya pun termenung memikirkan ini, tapi diam-diam menangis,” lanjut Kiai Zawawi menyaksikan kesederhanaan hidup masyarakat di perkampungan itu.
Pedagang itu tiap pagi menghabiskan sekitar 10 kilogram beras. Selepas subuh semua masakan sudah tersedia dan jam 8 sudah habis. Hal itu dilakukan bertahun-tahun. Warung itu tetap bertahan hingga sekarang. Penjualnya juga tampak bahagia.
Cerita Kiai Zawawi tersebut memancing diskusi di WhatsApp Group yang diikuti banyak tokoh. Lies Marcoes-Natsir, seorang antropolog yang mempunyai perhatian besar pada isu-isu perempuan langsung menyahut, “…seribu rupiah bisa untuk makan kenyang dan sehat?
Alangkah besar amal para pedagang kecil itu ya. Saya tak paham bagaimana bisa bertahan. Pasti mereka tak hitung tenaga yang harus dinilai uang, juga makan kayu bakar dari alam, atau subsidi mereka sebagai petani beras dan daun pisang tak dihitung. Di sisi itu saya ingin percaya pada Hari Pembalasan dan Timbangan baik buruk…”.
Lies Marcoes mencoba menghitung modal dan keuntungan pedagang tersebut. “Jika 10 kilogram, per kilogram mungkin bisa menjadi 15 bungkus. Berarti kira-kira pedagang tersebut mendapatkan 150 ribu rupiah. Jika modalnya 100 ribu, dia hanya dapat untung rata-rata 50 ribu rupiah...”.
Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama, yang menjadi inisiator WAG tersebut berkomentar, “banyak kalangan bawah yang berdagang/berjualan karena motif/niat untuk membantu orang lain, bukan untuk mencari untung. Boleh jadi, itulah awal keberkahan yang segera didapat…”.
Ya, ternyata berkah itulah kata kuncinya. Merasa cukup dengan apa yang didapatkan, tidak serakah, apalagi menguasai secara berlebihan. Ekonomi berkah ini yang tampaknya semakin terkikis dalam kehidupan masyarakat kita. Dimensi spiritual dari aktivitas ekonomi adalah keberkahan. Kebahagiaan seseorang bisa tumbuh karena percaya pada berkah yang didapatkan dari apa yang dilakukan.
Saya jadi ingat sebuah warung makan di Jogja, meski kecil tapi ramai dikunjungi pembeli. Yang menarik, di warung tersebut ditulis “Tidak Membuka Cabang”. Artinya, itulah satu-satunya tempat meski warung makan tersebut sudah punya branding dan sangat mampu membuka cabang di tempat lain.
Ada juga kisah seorang penjuang cendol di pasar dengan pelanggan yang relatif mapan. Tiba-tiba datang seseorang yang hendak memborong semua cendol tersebut. Yang menarik, pedagang tersebut tidak mempersilakan dagangannya diborong semua. Dia menolak, bukan apa-apa, tapi memikirkan pelanggannya yang pasti akan kecewa.
Itulah ekonomi berkecukupan, ekonomi yang tidak serakah, ekonomi kekeluargaan. Dasar-dasar ekonomi yang diletakkan para pendiri bangsa yang dibangun atas asas kekeluargaan tersebut semakin hari semakin terasing. Kisah Kiai Zawawi mengingatkan kita pentingnya ekonomi yang tidak serakah.
Penulis adalah Ketua Lakpesdam PBNU