Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjadi Presiden RI beberapa kali membuat IMF gerah. Karena kebijakan ekonomi Gus Dur sepenuhnya berpihak kepada rakyat dalam rangka membangun kedaulatan dan kemandirian ekonomi, bukan bergantung pada kehendak ekonomi IMF yang cenderung menjerat.
Gus Dur saat itu juga menolak desakan IMF untuk mendapatkan kebebasan membuka supermarket tanpa batas. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yang digagas NU, Gus Dur menolak desakan IMF dengan tujuan untuk melindungi usaha kecil dan menengah. Perkembangan ini yang oleh para ekonom diistilahkan sebagai sebuah economic miracle (keajaiban ekonomi). (baca Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU, 2017)
Selain menciptakan keajaiban, Gus Dur juga mengangkat pertumbuhan ekonomi nasional secara istimewa. Hal ini dicatat oleh Peneliti Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra (2017) bahwa Gus Dur dua kali lompatan growth tersebut dilakukan tim ekonomi Gus Dur dengan sambil mengurangi beban utang. Sebuah kondisi yang pasti sangat sulit dilakukan oleh tim ekonomi kabinet-kabinet setelah atau sebelum Gus Dur. Selama era Gus Dur, tim ekonomi sukses mengurangi beban utang negara sebesar USD 4,15 miliar.
Selain itu yang juga istimewa, ternyata growth yang terjadi di era Gus Dur sangat berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dibagi dengan adil bagi seluruh masyarakat. Kualitas yang berbeda dari era pasca-Gus Dur yang pertumbuhan ekonominya diikuti dengan memburuknya distribusi pendapatan.
Berikut langkah-langkah dan kebijakan ekonomi Gus Dur sehingga berhasil menciptakan kedaulatan dan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat tanpa utang seperti diungkapkan oleh Gede Sandra:
Pertama, tim ekonomi Gus Dur menolak resep IMF dan Bank Dunia (World Bank) yang menganjurkan dilakukannya austerity policy (pengetatan anggaran). Sebaliknya, yang ditawarkan oleh tim ekonomi Gus Dur adalah growth story (strategi pertumbuhan).
Indonesia pada tahun 2000 mendapatkan kenaikan peringkat investasi dari lembaga-lembaga rating seperti Moody dan S&P setelah tim ekonomi Indonesia berangkat ke kantor pusat lembaga-lembaga tersebut di AS mempresentasikan growth story Indonesia -bukan dengan proposal austerity policy. Pada era Gus Dur, pertumbuhan konsumsi pemerintah bertumbuh dari 0,69 persen di tahun 1999, menjadi 6,49 persen di tahun 2000 dan 8,98 persen di tahun 2001.
Akibat strategi growth story di era Gus Dur ekspor Indonesia meningkat sebesar 60 persen, dari Rp390 triliun di tahun 1999 ke Rp624 triliun di tahun 2001. Meningkatkan porsi ekspor terhadap PDB dari 35 persen (1999) ke 43 persen (2001). Neraca perdagangan selalu surplus selama era ini: Rp 76 triliun (1999), Rp 119 triliun (2000), dan Rp120 triliun (2001), di tengah impor yang juga mengalami peningkatan hampir 60 persen pada periode yang sama.
Pada era Gus Dur, sektor properti dibangkitkan dari kehancurannya pasca krisis 1998. Sektor properti, yang disebut sebagai kepala naga karena merupakan indikator utama kebangkitan perekonomian di banyak negara, mendapatkan program restruktrurisasi utang sehingga mampu kembali bangkit dan mengajak bangkit pula lebih dari 200 jenis industri bersamanya.
Kedua, tim ekonomi Gus Dur piawai dalam melakukan optimum debt management. Contohnya seperti teknik debt to nature swap, yang menukar utang kita dengan kewajiban pelestarian hutan, dilakukan pada masa ini. Karena piawai bernegosiasi untuk utangnya, negara seperti Kuwait sampai membangunkan proyek jembatan layang Pasopati di Bandung secara cuma-cuma bagi Indonesia.
Pada era Gus Dur ini juga Indonesia berhasil mendapatkan berbagai dana hibah yang besar nilainya. Sehingga pada akhir masa pemerintahannya utang Indonesia bukannya bertambah, namun malah berkurang.
Ketiga, tim ekonomi Gus Dur sukses menjaga harga beras stabil di level rendah sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat bawah perkotaan terus terjaga. Kesejahteraan petani di pedesaan juga terjaga karena Bulog melakukan pembelian gabah, bukan membeli beras. Inilah alasan mengapa ketimpangan pendapatan paling rendah di era Gus Dur.
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online