Opini

Masyarakat Muslim, Normalisasi Israel, dan Penjajahan Palestina

Ahad, 6 Oktober 2024 | 08:00 WIB

Masyarakat Muslim, Normalisasi Israel, dan Penjajahan Palestina

Ilustrasi Palestina-Israel (Foto: Freepik)

Ada dua tren bertentangan yang sedang berkembang di dunia Islam saat ini terkait sikap terhadap konflik Israel-Palestina. Tren ini bahkan meluas ke dunia lain di luar dunia Islam, khususnya di dunia Barat, setelah berkobarnya perang Gaza sejak 08 Oktober 2023 yang mengakibatkan jatuhnya puluhan ribu korban dan kehancuran yang menyayat rasa kemanusiaan. 


Tren pertama, di masyarakat Muslim dukungan terhadap Palestina makin meluas dan populer seiring peningkatan akses dan intensitas pemberitaan peristiwa-peristiwa terkait isu tersebut. Bentuk dukungan terhadap perjuangan Palestina sangat beragam mulai dari komentar riuh di media sosial, doa di masjid-masjid atau acara-acara, penyelenggaraan event-event khusus, pengibaran bendera Palestina, penggalangan dana, demonstrasi hingga boikot terhadap produk-produk yang dianggap memiliki afiliasi dengan Israel. Itu di ranah masyarakat secara umum.


Tren kedua yang merupakan kebalikannya terjadi di ranah negara, yaitu normalisasi hubungan negara-negara Muslim dengan Israel tanpa ada penyelesaian final dan menyeluruh terhadap masalah Palestina terlebih dahulu. Padahal solidaritas terhadap Palestina adalah alasan utama isolasi terhadap Israel di dunia Muslim selama ini. Isu normalisasi dengan Israel sepertinya akan jadi isu paling kuat dalam beberapa tahun ke depan, tidak hanya di kawasan dunia Arab tetapi juga di dunia Muslim secara lebih luas. 


Sejumlah negara Muslim sudah menandatangani normalisasi dengan Israel sejak September 2020 dan sejumlah negara yang lain dikabarkan sedang “bersiap” untuk masuk ke dalam proses ini. Sebagian besar negara Arab yang disebut pihak Barat sebagai negara moderat secara umum berada dalam orbit ini. Indonesia sebagai negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dalam waktu lama juga sempat dan sedang menghadapi tekanan dari Amerika Serikat dalam hubungan bilateral dan tekanan dari sejumlah negara lain melalui organisasi multilateral untuk - jika tidak membuka hubungan resmi dan formal -setidaknya melunakkan sikapnya terhadap Israel.


Perbedaan Makin Lebar
Dampak langsung dari kuatnya arus normalisasi ini adalah berkurangnya dukungan yang sungguh-sungguh dari negara-negara Arab dan Muslim terhadap perjuangan Palestina merdeka. Isu Palestina tidak lagi jadi top prioritas rezim-rezim di negara-negara Arab dan Muslim dalam beberapa tahun belakangan. Dukungan yang diberikan pada umumnya bersifat lamis alias basa-basi dan tidak solutif. Para rezim yang sebagian besar memang bukan demokratis tentu juga kurang mempertimbangkan tren di masyarakatnya yang makin kuat mendukung perjuangan Palestina untuk memperoleh hak-haknya.


Akibatnya, jarak perbedaan antara kebijakan resmi para rezim di sebagian negeri-negeri Muslim dan aspirasi sebagian besar rakyatnya dalam masalah ini makin lebar. Aspirasi masyarakatnya bergerak makin ke utara sementara negara-negara, baca para rezimnya, justru bergerak ke arah sebaliknya. Jurang perbedaan yang terlalu jauh ini sebenarnya potensial jadi ancaman tersendiri terhadap rezim-rezim ini. Faktanya, para rezim itu mengambil opsi pragmatis daripada mengikuti aspirasi masyarakat sekaligus berupaya mengkreasikan solusi yang decisive dan bermartabat untuk Israel-Palestina. 


Di negeri-negeri Muslim lain yang lebih demokratis seperti di Indonesia, pemerintahnya berteriak lantang dan berulang-ulang mengecam salah satu pihak dalam isu ini dan itu sudah cukup untuk menghindari tekanan politik domestik dari rakyatnya. Namun, dukungan itu cenderung formalitas dan kurang diikuti langkah nyata, bertenaga, konkret, dan ditindaklanjuti dengan korps diplomatik yang serius dan anggaran yang cukup. 


Solusi
Di sisi lain, di lapangan tren normalisasi negara-negara Arab dan Muslim dengan Israel makin kuat. Hal ini bukan hanya karena makin rendahnya level solidaritas para rezim itu terhadap Palestina, tetapi juga dikarenakan tekanan-tekanan dari Amerika Serikat dan sekutunya untuk mendorong kawasan ke arah tersebut. 


Karena itu, jika kita mencermati riset-riset mengenai respon grassroot masyarakat Muslim terhadap perjanjian normalisasi dengan Israel di negara-negara yang sudah menormalisasi maka hasilnya pun juga mudah ditebak. Masyarakat Uni Emirat Arab, Bahrain, Kerajaan Maroko, dan Sudan memiliki tingkat penolakan yang sangat tinggi terhadap normalisasi itu. Kepentingan pragmatis dan jangka pendek dari para rezim di negara tersebut plus kuatnya tekanan negara besar yang ingin mewujudkan tatanan baru di kawasan itu membuat perjanjian itu terwujud meskipun masyarakatnya secara luas menolak. Arah itu bahkan kemudian jadi semacam tren di kawasan dunia Arab, dan sebentar lagi bisa saja di dunia Muslim.


Normalisasi negara-negara Muslim termasuk Indonesia dengan Israel adalah hal yang sangat baik dan penting diwujudkan sebab normalisasi pada kenyataannya adalah perjanjian damai yang mendorong kepada hubungan dan kerja sama yang wajar dan produktif antarbangsa berdasarkan kepentingan bersama dan nilai-nilai yang dianut. Hal ini jelas diperlukan untuk masa depan dunia yang lebih baik. Konstitusi negara Indonesia bahkan mengamanatkan kepada bangsa ini untuk turut aktif memperjuangkan terwujudnya perdamaian itu.


Namun, normalisasi dengan Israel tanpa mengaitkannya dengan perjuangan Palestina adalah langkah egois yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap persoalan yang bisa jadi sumber persoalan-persoalan berikutnya. Konstitusi kita dan bahkan comman sense saja mudah untuk menuntun kita bahwa penegakan perdamaian mestinya dibarengi dengan penegakan keadilan. Keadilan dan perdamaian adalah dua kunci utama dalam penyelesaian konflik “abadi” Israel-Palestina. 


Palestina menginginkan tegaknya keadilan, yakni hak-hak mereka sebagai sebuah komunitas yang menyebut dirinya sebagai bangsa bisa terpenuhi sebagaimana layaknya bangsa-bangsa lain. Praksis penjajahan militer, politik, ekonomi, dan cengkeraman birokrasi Israel secara langsung dan kasat mata di wilayah pendudukan Palestina yang mirip praksis penjajahan Eropa di dunia ketiga beberapa abad lalu itu harus disudahi dan diganti tegaknya negara Palestina yang berdaulat kendati itu pun tidak menjamin segalanya akan jadi lebih baik dalam waktu cepat.


Pihak Israel sebagai bangsa yang merasa paling terzalimi dalam sejarah umat manusia juga sangat merindukan perdamaian, khususnya dengan para tetangga di sekitarnya yang mereka persepsikan terus membenci dan memusuhinya. Israel berjuang keras agar perdamaian itu bisa terwujud. Namun, langkah mereka tidak sepenuhnya tepat. Pilihan masyarakat Israel dan pemerintahnya yang mengandalkan pada pembangunan militer dalam menghadapi Palestina jelas tidak bisa disalahkan sebab mereka menghadapi ancaman eksistensial dalam beberapa dekade melalui perang besar ataupun perang-perang terbatas.

 

Akan tetapi, opsi militer sebagai solusi tunggal adalah kesalahan yang nyata. Kendati negara Israel berhasil mewujudkan supremasi militer sebagaimana tercermin pada Perang melawan Hamas di Gaza dan melawan Hizbullah Lebanon Selatan yang saat ini berkobar, mereka tidak akan memperoleh ketenangan dan perdamaian sebab kemudian harus menghadapi lingkaran kekerasan yang hampir tidak ada ujungnya. 


Satu-satunya jalan yang bisa mewujudkan kedua hal itu sekaligus, yakni perdamaian untuk Israel dan keadilan untuk Palestina, adalah negosiasi di meja perundingan. Karena itu, masyarakat dan pemerintah Indonesia hendaknya mendorong kepada penyelesaian melalui jalan ini, bukan malah memprovokasi untuk mengambil jalan kekerasan. Jalan negosiasi adalah satu-satunya jalan bermoral dan beradab untuk menyelesaikan persoalan ini. Perkara dalam negosiasi kadang perlu ada ekspos militer untuk memperoleh hasil lebih itu perkara lain. Namun, secara prinsip jalan itulah yang bisa diterima akal waras untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina yang sudah banyak sekali memakan korban kemanusiaan, kehancuran, dan memompa tensi emosi, kebencian, dan dendam di seluruh dunia. Wallahu al’lam.


Ibnu Burdah, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta