Umumnya, orang membaca isti’adzah atau ta’awwudz, bacaan a’udzu billahi minas syaithanir rajim, di permulaan kegiatan. Dalam hal kegiatan membaca al-Quran, misalnya, isti’adzah dilantunkan sebelum seseorang membaca basmalah (bacaan bismillahir rahmanir rahim) dan berikutnya ayat-ayat yang hendak dibaca.
Pertanyaannya, kenapa isti’adzah mesti dibaca di awal? Bolehkah membacanya di belakang saja?
Tradisi kita membaca isti’adzah di awal setiap kegiatan sebetulnya adalah tradisi yang dipengaruhi oleh pendapat kebanyakan ulama. Itu artinya terdapat beberapa ulama yang lain yang memiliki pendapat berbeda. Di antara yang berbeda tersebut adalah Imam Dawud Al-Asfihani.
Menurut Al-Asfihani, setelah membaca amin dalam akhir Surat Al-Fatihah, umpamanya, seseorang mestinya menyempurnakan dengan membaca isti’adzah. Praktiknya kurang lebih sebagai berikut:
… ghairil maghdlubi ‘alaihim wa lad dhaallin. Amin. A’udzu billahi minas syaithair rajim.
Mengapa demikian? Sebab setiap orang dimungkinkan diserang penyakit ‘ujub, yakni perasaan bangga kepada diri sendiri. Penyakit ini lazimnya muncul setelah seseorang melakukan suatu amaliah atau tiap perbuatan baik.
Pernahkah setelah membaca Al-Quran dengan baik dan benar, tiba-tiba dada Anda dipenuhi perasaan bangga, “Wah, bacaanku bagus sekali”, atau “Hebat sekali aku ini, tak ada kesalahan sedikit pun”, atau bentuk-bentuk monolog nafsu yang lain.
Inilah barangkali yang ditakutkan oleh Al-Asfihani. Ia berpendapat bahwa isti’adzah mestinya diletakkan di akhir karena pada momen itulah kerap tumbuh penyakit-penyakit hati di dalam diri manusia. Penyakit yang diembuskan oleh setan yang dapat memusnahkan pahala dari amal perbuatan, yang diduga dapat ditepis berkat a’udzu billahi minas syaithanir rajim.
Selain itu, dalil tentang pensyariatan isti’adzah adalah ayat wa idza qara’tal qurana fasta’idz billahi minas syaithanir rajim.
Lihatlah, kalimat fasta’idz billah minas syaithanir rajim (mohonlah pertolongan kepada Allah dari setan yang terkutuk) berada di posisi lebih belakang daripada wa idzaa qara’tal quran (saat kau membaca Al-Quran). Ditinjau dari sisi gramatika, kalimat fasta’idz billah minas syaithanir rajim disebut dengan jumlah jaza’ alias jumlah jawab syarat. Tak dimungkiri, sesuai kaidah yang berlaku, jumlah jaza’ ini tidak pernah mendahului jumlah syarat-nya. Atau pendek kata, dalam hal amal membaca al-Quran, praktek isti’adzah diletakkan setelah proses membacanya.
Berbeda dari Al-Asfihani, jumhur fuqaha (mayoritas ahli fiqh) memaknai ayat wa idza qara’tal qurana fasta’idz billahi minas syaithanir rajim dengan idza aradta. Maksudnya kira-kira begini, “Apabila kau hendak membaca Al-Quran, maka mintalah pertolongan kepada Allah dari (gangguan) setan yang terkutuk.” Isti’adzah diletakkan di permulaan dengan harapan setan tidak mencampuri amaliah. Proses campur tangan setan tersebut biasa dikenal dengan istilah waswasah (bisikan-bisikan kotor di dalam hati yang membelokkan fokus ibadah).
Model pemaknaan jumhur ini sesuai dengan pola yang berlaku pada beberapa ayat lain, misalnya ayat idza qumtum ilas shalati faghsilu wujuhakum. Ayat tersebut dimaknai, “Saat hendak (bukan setelah) mendirikan shalat, basuhlah wajahmu.”
Baca Juga
Soal Kentut dan Kencing Setan
Barangkali jumhur memilih pendapat ini bukan saja karena pola pemaknaan ayat yang dianggap lebih pas, tetapi juga sebab praktik yang pernah ditunjukkan oleh Nabi. Konon, beberapa banyak hadits telah menjelaskan hal itu.
Menurut Al-Razi, dari sini diketahui bahwa terdapat dua opini mengenai kapan waktu terbaik memohon pertolongan dari godaan setan. Pertama, sebelum melakukan amal, yang umumnya didasarkan pada khabar atau hadits dan pemahaman ayat berdasarkan takwil (menambahkan unsur aradta). Kedua, sesudah melakukan amal, yang dibangun di atas fondasi argumen tekstual (jawab atau jaza mestilah lebih belakangan daripada syarat-nya). Al-Razi menyebutnya sebagai berdasarkan dalil Al-Quran.
Karenanya, Al-Razi kemudian memunculkan pendapat ketiga, yakni kompromi di antara kedua pemaknaan; dalil hadits maupun Al-Quran. Itu berarti seseorang hendaknya ber-isti’adzah pada permulaan amaliah, tetapi juga membacanya lagi setelah perbuatan tersebut selesai.
Tanpa bermaksud mempertanyakan keabsahan pendapat Al-Razi dari sisi fiqh mazhab, pendapat itu sepertinya cukup menarik diikuti. Kenapa? Sebab kita toh tak pernah betul-betul tahu kapan setan mengembuskan senjata waswas-nya. Apakah di permulaan amal? Di tengah-tengah? Atau justru setelah usai?
Tindakan yang bijak adalah berasumsi bahwa setan, sebagai musuh tak kasat dan paling berat, bisa meracuni kita kapan saja. Itu berarti, dalam perspektif hakikat, adalah tidak keliru untuk senantiasa memohon pertolongan kepada Allah di bagian mana saja pada sewaktu beramal, terutama pada saat-saat ketika umpamanya tiba-tiba muncul perasaan ingin dipuji, bangga diri, sombong, dan sebagainya, di dalam hati kita. Di saat yang sama, secara zhahir, Anda boleh untuk hanya mengikuti pendapat jumhur saja; menyenandungkan isti’adzah hanya di permulaan belaka.
Ihwal pentingnya ber-isti'adzah, melawan setan dengan memohon perlindungan kepada Allah, ada sedikit ilustrasi. Khayalkan Anda hendak berkunjung ke rumah sahabat yang kaya. Rumahnya dijaga beberapa ekor anjing galak. Tiap kali hendak melangkahkan kaki masuk, anjing-anjing itu menyalak, siap menerkam Anda. Lalu bagaimana Anda bisa menginjakkan kaki ke dalam, lha wong ke teras saja tak sempat?
Anda boleh dan bisa saja memaksakan diri masuk dan karena itu harus berhadap-hadapan secara langsung dengan gerombolan anjing. Untuk itu, Anda juga boleh mengeluarkan segala macam kesaktian yang pernah dipelajari. Tetapi tentu saja Anda kemungkinan besar akan kalah atau kalaupun menang, Anda pasti babak belur. Jalan paling mudah melewati portal berupa hewan galak itu adalah menelepon tuannya, minta dia keluar untuk menenangkan peliharaannya.
Begitu juga setan. Untuk melawannya, kita tak perlu betul-betul melawan. Anda cukup "menelepon" Dzat yang punya kuasa dan lalu memohon pertolongan kepada-Nya. Ya, ber-isti'adzah. Wallahu a’lam bis shawab.
Lukman Hakim Husnan, khadim al-Thullab Pondok Pesantren Al-Lathifiyyah Palembang, Wakil Ketua PCNU Palembang