Memaknai Nasionalisme dan Urgensi Memperluas Ilmu Pengetahuan
Selasa, 17 Agustus 2021 | 16:00 WIB
Di antara nikmat besar yang Allah berikan kepada bangsa Indonesia adalah nikmat kemerdekaan. Nikmat besar yang wajib disyukuri oleh penduduk Indonesia. Dengan kemerdekaan, orang mudah beribadah, memperluas ilmu pengetahuan, dan aktifitas positif lainnya tanpa tekanan dan halangan. Dengan adanya kemerdekaan pula, Indonesia dan penduduknya terlepas dari belenggu penjajahan . Segala tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan terhapus dengan adanya kemerdekaan.
Sekarang Indonesia telah kemerdekaan. Rakyat tidak perlu berjuang untuk meraihnya kembali dengan berperang melawan penjajah. Warga Indonesia sudah memiliki negara yang cukup kondusif. Namun nasib Indonesia ke depan tergantung bagaimana diberlakukan oleh bangsanya sendiri. Jika diberlakukan dengan baik, maka harkat dan martabat sekaligus marwah Indonesia akan semakin baik. Namun jika bangsanya memberlakukannya dengan tidak baik, maka akan terjadi berbagai kemunduran.
Kini Indonesia mencapai usai 76 tahun. Tepat pada Selasa 17 Agustus 2021 M yang bertepatan dengan 8 Muharram 1442 H. Ucapan kemerdekaan membanjiri lini masa, berbagai platfrom media sosial, mencerminkan rasa cinta tanah air (nasionalime) yang terwujud dalam jiwa anak bangsa. Dengan kata lain, selain Indonesia telah merdeka, ia memiliki anak bangsa yang sangat cinta dengan negara, bangsa, dan tanah airnya.
Cara Berbakti pada Tanah Air
Sayyid Afandi Muhammad dalam salah satu karyanya, at-Tahliyyah, menjelaskan secara panjang lebar tentang negara, cinta tanah air, dan hal-hal yang bisa menjadikan manusia berbakti pada negara dan bangsanya. Dalam kitabnya dijelaskan, bahwa cinta tanah air adalah sikap tunduk patuh pada setiap apa yang diperintahkan oleh orang-orang yang mengurus negara (pemerintah).
حُبُّكَ لِوَطَنِكَ عِبَارَةٌ عَنْ أَنْ تَمْتَثِلَ لِمَا يَأْمُرُكَ بِهِ مَنْ تَوَلَّى أَمْرَكَ
Artinya, “Cintamu pada tanah airmu adalah ungkapan dari mengikuti apa yang diperintah kepadamu oleh orang yang mengurusi urusanmu (pemerintah).” (Afandi Muhammad, at-Tahliyatu wat Targhîb fit Tarbiyati wat Tahdzîb, [Surabaya, al-Hidayah], halaman 30).
Menurut Sayyid Afandi, nasionalisme bukan hanya tentang ungkapan cinta pada negara tanpa upaya untuk mengikuti perintah dari orang-orang yang mengurusinya, apalagi sekadar posting foto di Facebook, Instagram, Twitter dan media lainnya, dengan caption “NKRI Harga Mati”. Nasionalisme adalah tunduk patuh pada pemerintah dalam hal-hal yang mengandung kemaslahatan, seperti mencari ilmu, menjaga etika, dan lainnya. Kata patuh pada tulisan ini tentu juga memiliki pengecualian, yaitu tidak dibolehkan patuh pada siapa pun jika memerintah kemaksiatan.
Mencintai tanah air atau nasionalisme seharusnya diwujudkan dengan cara berbakti dan berjuang demi bangsa dan negara. Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang harus memiliki nilai manfaat pada negara, mengharumkan nama negara, dan ia pun rela mengorbankan waktu untuk negara. Begitulah substansi yang benar di balik kata nasionalisme yang sering kita dengar.
Sikap Nasionalisme yang Sebenarnya
Syekh Ibnu 'Allan (wafat 1057 H) memberikan cara untuk berbakti pada negara, yaitu dengan melakukan berbagai tindakan yang baik dan positif, sebagaimana dikatakan:
يَنْبَغِي لِكَامِلِ الْإِيْمَانِ أَنْ يُعَمَّرَ وَطَنَهُ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالْإِحْسَانِ
Artinya, “Sudah semestinya bagi orang yang sempurna imannya memakmurkan negaranya dengan aktifitas-aktifitas yang baik dan benar.” (Muhammad Ali bin Muhammad Allan bin Ibrahim al-Bakri , Dalîlul Fâlihîn li Thuruqi Riyâdlis Shâlihîn, [Beirut, Dârul Fikr: 2005], juz I, halaman 22).
Penjelasan Syekh Ibnu Allan mengisyaratkan bahwa nasionalisme sudah seharusnya diwujudkan dengan melakukan berbagai aktifitas yang baik dan benar, mengharumkan nama negara, menjunjung harkat dan martabat negara. Bukan justru menggerogoti ideologi bangsanya dan memecah belah warganya.
Sementara itu Sayyid Afandi memberikan tips terbaik guna menumbuhkan jiwa nasionalis yang benar, yaitu dengan cara belajar dan memperluas ilmu pengetahuan. Sebab dengan terus belajar setiap warga negara akan mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Tentunya, jika sudah bisa membedakan keduanya dan jiwa nasionalis akan tumbuh, sehingga orang tidak menginginkan keburukan terjadi pada negaranya. Sayyid Afandi mengatakan:
هُوَ أَنْ تَجْتَهِدَ فِي تَحْصِيْلِ الْعُلُوْمِ وَالمَعَارِفِ الَّتِي بِهَا تَتَمَكَّنُ مِنْ خِدْمَةِ الوَطَنِ العَزِيْزِ عَلَى وَجْهِ الْإِكْمَالِ. فَاِنَّ الْجَاهِلَ تَصَرُّفَاتُهُ كُلُّهَا دَرِيْعَةٌ لَا يَعْرِفُ مَا فِيْهَا المَنْفَعَة
Artinya, “(Mewujudkan nasionalisme itu) dengan berupaya mendapatkan ilmu dan pengetahuan, yang dengannya orang dapat berbakti pada negara yang mulia dengan cara yang sempurna. Sebab, semua tindakan orang bodoh adalah tindakan yang tidak diketahui manfaatnya.” (Sayyid Afandi, at-Tahliyatu wat Targhib, halaman 31).
Menurut Sayyid Afandi, sikap membela negara yang benar adalah dengan cara belajar ilmu dan berupaya memperluas pengetahuan. Sebab, dengan ilmu pengetahuan orang bisa berbakti pada negara dengan cara yang benar dan sempurna. Tanpa ilmu peran yang dilakukan oleh seseorang bisa jadi tidak bernilai, karena ia tidak mengetahui manfaat dari peran yang dilakukan.
Karena itu, menurut penulis, sebagai upaya berbakti pada negara sekaligus rasa syukur atas perjuangan para pendahulu, memperluas ilmu pengetahuan merupakan pilihan yang kongkret dan sangat nyata manfaatnya untuk kemajuan bangsa.
Mari kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai usia 76 tahun kita dijadikan momentum untuk semakin memperluas ilmu pengetahuan. Karena dengannya, berbakti pada negara akan semakin sempurna. Wallâhu a’lam bisshawâb.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.