Semua aspek kehidupan manusia berubah secara drastis. Dari ekonomi, politik, agama, bahkan ilmu pengetahuan.
Oleh Mohammad Fathi Royyani & Ren Muhammad
Anak kami yang berusia dua setengah tahun kini sudah mulai pandai bermain gawai. Entah sekadar memutar saluran Youtube lagu-lagu untuk bayi, melihat koleksi foto maupun video, atau lainnya. Saya yakin, banyak anak seusia dia yang juga sudah mulai akrab dengan perangkat serupa.
Bayangkan, anak seusia segitu sudah bisa bermain gawai, bagaimana dengan yang seusia kakaknya, tentu sudah lebih mahir lagi. Bahkan beberapa sudah bisa bermain game daring.
Awalnya, saya dan mungkin banyak orang tua, mencoba menjauhkan anak-anak dan gawai. Tapi, selama berada di rumah dalam rentang waktu yang lama, mau tidak mau, suka tidak suka, sekeras apa pun usaha kita, pada akhirnya anak akan berkenalan dengan gawai.
Banyak alasan. Seperti supaya anteng tidak "mengganggu" ketika kita kerja di rumah, mengerjakan tugas sekolah untuk kakak-kakaknya, orang tua bisa merapikan rumah, dan sederet alasan lain. Situasi sudah memaksa kita mengenalkan anak pada gawai. Sialnya, candu atau sihir gawai demikian dahsyat. Sekali pegang, anak kita akan merekam dengan baik dan selalu berusaha untuk memainkannya.
Situasi ini tidak terbayangkan sebelumnya dan kita tidak bisa menolak. Usaha terbaik adalah kita beradaptasi dengan situasi baru ini. Ya, situasi yang selama wabah ini berlangsung, orang "dipaksa" hidup secara berbeda tiap harinya, dengan sebelum adanya wabah. Dan, kehidupan baru ini terjadi secara cepat atau revolusioner.
Semua aspek kehidupan manusia berubah secara drastis. Dari ekonomi, politik, agama, bahkan ilmu pengetahuan. Semuanya menyesuaikan dengan situasi baru yang dihadapi—untuk jangka waktu yang belum pasti. Dalam skala kecil misalnya, kini tukang sayur yang biasa keliling rumah untuk menjajakan dagangannya, sudah menggunakan teknologi. Ibu-ibu tinggal kirim daftar belanjaan, nanti tukang sayur akan mengantar atau meletakkan belanjaan di depan pintu.
Rapat, baik yang sifatnya resmi maupun informal, sudah menggunakan aplikasi yang disediakan dalam gawai. Jadwal ditentukan, kemudian pada saatnya semua bisa ketemu di langit maya. Bahkan, doa bersama pun kini sudah dilakukan dengan menggunakan aplikasi dan jaringan internet, tanpa perlu berkumpul seperti lazimnya.
Fenomena ini mengingatkan kami pada Thomas Kuhn melalui karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1962), yang menyebutkan suatu temuan baru ilmu pengetahuan akan menggeser paradigma, bukan secara gradual melainkan dalam bentuk percepatan. Temuan terkini ilmu pengetahuan akan mengguncang pemikiran untuk sesaat, lalu data, fakta-fakta lama pun ditafsir ulang supaya sesuai dengan paradigma terbarukan, selain tentunya ada fakta-fakta kiwari yang ditemukan.
Demikian juga dengan adanya wabah virus kali ini. Sejatinya, serangan pada pernapasan seperti Corona sudah ada lebih dulu. Tetapi kemunculan Covid-19 mencuatkan sederet fenomena dengan deretan fakta-fakta dan teori saintifik baru.
Nah, paradigma baru ditambah fenomena baru, menghasilkan banyak pertanyaan yang bersumber dari data lama, untuk menyelesaikan sejumlah teka-teki dari paradigma sebelumnya—yang mengubah "peta" dan aturan main. Semua serbabaru.
Perubahan yang terjadi secara drastis tersebut pun, memantik banyak pertanyaan, tidak saja terkait Covid-19, melainkan kehidupan sosial manusia yang berusaha beradaptasi dan menghadapinya. Apakah sains akan berhasil mengatasi hal ini? Lalu, bagaimana kehidupan sosial berikutnya setelah orang terbiasa hidup di rumah?
Jika ditelusuri "asbabul wurud"-nya, memang bermula dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Virus Corona sudah lama ada dan banyak jenisnya, tetapi untuk sekarang, secara saintifik ditemukan fakta-fakta baru. Banyak orang, di hampir semua negara yang terkena berusaha menyesuaikan dengan temuan ilmu pengetahuan terkait Covid-19.
Walaupun bermula dari persoalan ilmu pengetahuan, tetapi kini yang kita hadapi sudah sedemikian kompleks dan mengubah semua aspek kehidupan manusia. Mungkin Kuhn pun tidak membayangkan akan ada kejadian yang sedemikian cepat, mengakar, dan meliputi semua penyokong kehidupan kita. Yang pasti, manusia dipaksa hidup secara berbeda sama sekali. Kita sedang berada di ujung suatu era, dan sedang memulai secara pelahan sebuah era baru yang belum ada presedennya.
Pengorbanan
Beberapa bulan belakangan kita lazim mendengar-melihat sebuah keadaan miris tentang para pejuang kesehatan yang berguguran satu demi satu. Dengan segala jerih payah, akhirnya merelakan diri sendiri menjadi martir demi menyelamatkan sesama saudara yang diserang keganasan Covid-19. Entah mereka juga terpapar atau memang karena kelelahan, sudah tak lagi penting kita bincangkan. Intinya, nama mereka telah harum sebagai pahlawan kemanusiaan. Fenomena tersebut menarik untuk kita amati.
Sejauh ini, sains tidak dapat menjelaskan secara gamblang apa itu pengorbanan, dan mengapa ada banyak makhluk hidup di dunia ini yang rela berkorban. Sedari hewan-hewan kecil, hingga makhluk pelik seperti manusia, pengorbanan akan selalu ada dan terjadi. Beberapa spesies—misalikan salmon—kebanyakanakan mati setelah mereka bertelur. Perjuangan mereka dalam mencari tempat yang aman untuk anak-anaknya, harus dibayar mahal, yakni kematian induk salmon.
Apakah hewan memiliki empati dan perasaan mengasihi yang begitu dalam? Apakah itu merupakan bawaan genetika semata? Namun jika itu empati, bagaimana cara seekor hewan merasakan empati yang luar biasa sehingga ia harus berkorban demi anak-anaknya?
Sejauh ini sains hanya menjelaskan bahwa itu semua adalah naluri bertahan hidup. Faktanya, naluri bertahan hidup justru tidak akan membuat organisme mengorbankan diri, malah sebaliknya. Laman Eurek Alert mencatat bahwa hormon oksitosin diduga kuat sebagai penyebab mengapa organisme dapat berkorban demi anak-anaknya.
Meskipun begitu, nyatanya para ilmuwan dan ahli satwa juga tidak dapat menjawab dengan gamblang bagaimana dugaan tersebut bisa terjadi. Beberapa ilmuwan lain justru menyatakan bahwa peran hormon oksitosin sebagai "hormon cinta" sangat sulit dikaitkan dengan pengorbanan. Artinya, berkorban merupakan suatu hal yang berada di luar nalar manusia, dan itu sulit dijelaskan oleh sains.
Pandemi memang tampak berhasil mengubah perilaku kita dalam beberapa hal. Ada pranata baru yang saat ini juga sedang tersusun secara acak. Kita takkan bisa menampiknya meski dengan segala cara. Jalan hidup memang sudah waktunya berubah. Tapi ketahuilah, Saudara tercinta. Pengorbanan, sebagaimana yang telah kami terakan di bagian atas, takkan surut oleh waktu. Sebab itu merupakan kodrat manusia. Bawaan dasar yang tak bisa dihapuskan. Tanpa pengorbanan begitu banyak orang, mustahil kita bisa melewati hantaman pandemi dan tetap hidup hingga hari ini.
Selalu saja ada para pemberani yang menyelamatkan nyawa begitu banyak orang. Jika ibu-ibu di pasar enggan keluar rumah untuk menjual sayur-mayur, atau berdagang sembako, niscaya riwayat kita sudah tamat. Bilamana para petani tak lagi mau menggarap sawahnya—lantaran harus kerja dari rumah, lantas kita mau makan nasi dari mana? Secara taksa, apa yang mereka lakukan itu, setidaknya di Indonesia kita, merupakan bentuk sembah Hyang (sembahyang). Sebuah persembahan agung pada Dzat Penguasa segala. Cara paling ultim untuk tetap merawat kehidupan yang dianugerahkan-Nya pada kita selama ini.
Sesungguhnya semua kita berpeluang melakukan hal serupa. Hanya saja, tak setiap kita bisa memantik kesadaran seperti itu dan mengejawantahkannya di atas panggung raya kehidupan. Semoga kita tak terjebak menjadi manusia angkuh yang hanya mementingkan diri sendiri, dan abai pada sesama yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan ketimbang kita. Semoga pula kita bisa menghiasi perubahan yang diakibatkan pandemi, dengan warna-warni indah tata salira, dan tentu—harus mempertahankan apa yang memang harus bertahan.
Demi kehidupan yang puspawarna ini, terkadang hidup kita pun perlu dikorbankan dengan segenap jiwa-raga. Mati karena diserang pandemi hanya salah satu cara dari sekian banyak proses kematian, termasuk barangkali dengan cara berkorban itu. Pelajaran berharga mahal ini bisa kita petik dari (QS. az Zumar [39]: 42), yang berbunyi, “Allah menggenggam jiwa (manusia) ketika matinya dan (menggenggam) jiwa (manusia) yang belum mati pada waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (manusia) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Jadi pahamilah, bahwa dalam hidup ini memang harus ada yang berubah dan tetap sebagaimana adanya. Demikian…
Mohammad Fathi Royyani , Peneliti, Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Ren Muhammad, Penyintas Peradaban