Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) memiliki tugas dan tanggung jawab moral pada dua hal sekaligus. Inilah yang juga menjadi dasar NU dilahirkan dari ‘rahim’ para ulama pesantren, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Para pengurus dan warga NU pasti sudah mengetahui bahwa pada mulanya, NU didirikan karena para ulama kalangan pesantren merasa khawatir terhadap makam Nabi Muhammad dan simbol-simbol Islam di Negeri Hijaz yang akan dihancurkan atas nama bid’ah.
Penghancuran itu dinilai akan berdampak melahirkan diskriminasi dan mengganggu kehidupan beragama di dunia. Para kiai pesantren ketika itu muncul kekhawatiran, jika simbol-simbol Islam dihancurkan atas nama bid’ah maka hanya paham wahabi-lah yang boleh berkembang di Mekkah dan Madinah, dan tidak memberikan ruang bagi keberagaman madzhab di sana.
Akhirnya, para kiai membentuk Komite Hijaz, utusan kalangan pesantren, untuk dapat mengatasi problem tersebut dengan bertemu dan melakukan upaya dialogis bersama Raja Abdul Aziz As-Saud. Komite Hijaz inilah yang dicatat sejarah sebagai embrio yang melahirkan NU pada 1926.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (2012: 436) menjelaskan, NU mampu memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kehidupan beragama.
Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan legal-formalistik atau membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi memadukannya dengan cara lentur. Tak heran, jika pandangan keagamaan ini juga mengilhami NU untuk dapat berperan pada aspek kemasyarakatan dan kehidupan umat dalam bernegara.
Sejarah mencatat, NU pernah melahirkan keputusan politik yang sangat krusial bagi bangsa ini, sebagaimana yang terjadi pada Muktamar NU Banjarmasin 1936. Kala itu, NU mengambil keputusan yang seolah-olah membela penjajah pemerintah kolonial Belanda.
Keputusan ini mengharuskan kaum santri membela keutuhan Hinda-Belanda yang dibuat karena dua alasan. Pertama, pemerintah kolonial Belanda tidak pernah secara verbal menyuruh umat Islam berbuat kufur. Kedua, fakta bahwa umat Islam berada di Hindia-Belanda meskipun telah dikukuhkan sebagai satu bangsa pada Sumpah Pemuda 1928, tetapi masih berada di bawah kekuasaan Belanda.
Peristiwa itu menunjukkan bahwa NU merupakan aktor politik yang berkewajiban melindungi masyarakat, yang otoritas penguasanya adalah kaum penjajah. Nasionalitas NU ini kemudian ditampakkan pada 1945 saat negara baru Indonesia kembali menghadapi tantangan yang akan dijajah kembali.
Rais Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari lantas mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi pasukan sekutu Inggris. Resolusi Jihad ini kemudian membakar semangat rakyat, khususnya Nahdliyin, untuk terlibat mempertaruhkan nyawa dan mempertahankan Indonesia dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Lalu Kiai Said mencatat bahwa setelah Indonesia merdeka, orientasi jamiyah NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Jasa para kiai dan warga NU dalam perang kemerdekaan, sangat memberikan andil bagi keberlangsungan negara Indonesia.
Begitu pula, keberadaan NU sebagai sebuah partai politik pada pemilu 1955 yang menempati urutan ketiga dengan perolehan suara 20 persen yang mampu memberikan arah perjuangan bangsa hingga terbentuknya pemerintahan orde baru.
Kemudian, NU memutuskan untuk kembali ke khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Inilah awal NU membuka lembaran baru dalam rangka melakukan berbagai upaya perubahan di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Di era reformasi ini, NU benar-benar menjadi hati nurani bangsa. Di saat warga bangsa banyak gila dengan harta, jabatan, dan haus kekuasaan, NU justru tampil dengan pesan-pesan moralitas politik.
Pada era reformasi yang memungkinkan semua orang untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, tidak lantas dijadikan oleh para tokoh NU sebagai ajang balas dendam kepada pihak yang telah menzalimi NU selama orde baru. NU justru menampakkan sikap persaudaraan dan persatuan.
Keluhuran sikap NU inilah mampu menyejukkan kehidupan bangsa Indonesia di tengah arus reformasi yang diwarnai upaya disintegrasi budaya anarkisme di seluruh pelosok negeri. Di era multi-partai ini, tidak terjunnya NU ke kancah politik praktis juga memainkan peran strategis bagi keberlangsungan bangsa dan negara.
Menurut Kiai Said Aqil, justru di sinilah jatidiri NU akan tampil sebagai pelopor bangsa Indonesia akan semakin tampak. Kiai Said memberikan empat langkah yang harus dilakukan NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama, para pengurus NU perlu mengembalikan spirit agama sebagai ruh politik kebangsaan NU. Aspek-aspek agama tetap harus pada posisinya sebagai spirit absolut yang mewarnai sejarah perjalanan NU. Bukan sebaliknya, agama dijadikan sebagai kulit kebudayaan untuk membungkus berbagai hiprokisme kekuasaan.
Kedua, praktik politik kebangsaan NU sebagai kekuatan moral dan kultural membutuhkan instrumen yang bersifat struktural. Namun bukan berarti bahwa penempatan struktural itu identik dengan klaim-klaim kekuasaan. Sebab yang patut dijauhi adalah politisasi NU dengan berbagai bentuk dan dinamikanya yang hanya akan mereduksi tujuan utama NU.
Ketiga, NU harus memberikan wahana yang seluas-luasnya bagi internalisasi khittah NU agar politik kebangsaan NU memiliki akar yang kokoh. Dengan begitu, kekuatan struktural-politik tidak akan melakukan tindakan hegemonik terhadap NU.
Keempat, upaya pengukuhan nilai NU yang berdaya tawar tinggi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, nilai-nilai dan tradisi NU muncul sebagai kekuatan alternatif manakala praktik-praktik politik konvensional telah dipandang merugikan bangsa.
Khidmah Inklusif NU
Sementara itu, Katib 'Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020: 77) mengatakan, NU memiliki rentang pengaruh sangat luas dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya, fakta tersebut harus diikuti kesadaran terhadap besarnya proses tanggung jawab NU terhadap masyarakat.
Gus Yahya berpandangan bahwa aktivisme NU harus diorientasikan kepada kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang disebut sebagai khidmah secara inklusif, yang diarahkan bagi kemaslahatan masyarakat tanpa pandang bulu. Gagasan ini menuntut agar NU keluar dari egoisme identitasnya.
Khidmah inklusif tersebut mengarahkan aktivisme NU pada pemecahan berbagai masalah nyata di lingkungan masyarakat. Kebutuhan partisipasi politik pun, baik dukungan maupun evaluasi, akan dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan rasional menyangkut isu-isu aspiratif yang substansial.
Ditegaskan Gus Yahya, masalah apapun yang terjadi di masyarakat yang menyangkut siapa pun, asalkan secara normatif mengharuskan pelibatan NU dalam upaya pemecahannya, maka NU harus segera turun tangan.
Sejalan dengan tuntutan kebutuhan yang muncul itu, wacana tentang pandangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah akan berkembang lebih subur dan segar sebagai wawasan kontekstual.
Alangkah lebih agung kehadirannya, istighatsah kubro dan majelis shalawat tidak dipandang lebih Aswaja, ketimbang misalnya melakukan advokasi hak-hak rakyat Papua atau kerja bakti membersihkan kali.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka perlu kiranya untuk melakukan transformasi besar-besaran di tubuh NU. Salah satunya dengan ikut serta dan terlibat dalam berbagai pemecahan masalah yang menjangkiti masyarakat.
Masa depan NU di bidang sosial-politik, dan bahkan ekonomi, harus diwujudkan dengan tetap menampilkan ruh keagamaan NU. Sebagaimana NU didirikan karena keresahan para kiai pesantren terhadap dinamika Islam di Hijaz dan problem keterjajahan masyarakat di dalam negeri, maka sudah selayaknya NU saat ini merancang strategi untuk mewujudkan itu ke dalam kerja-kerja organisasi.
NU dilahirkan bukan hanya sebagai organisasi keagamaan (jamiyah diniyah) semata, tetapi juga gandrung terhadap isu-isu kemasyarakatan (ijtimaiyah). Pemahaman seperti ini, harus terus-menerus diberikan dan ditularkan kepada seluruh warga NU di seluruh tingkatan, agar jangan sampai hanya mampu merespons berbagai persoalan keagamaan tetapi absen ketika hendak melakukan transformasi di bidang non-keagamaan.
Nampaknya, jati diri NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan masih belum sepenuhnya disadari oleh seluruh Nahdliyin dan pengurus NU di seantero negeri. Barangkali hal ini menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemimpin PBNU ke depan yang harus diperhatikan menuju usia satu abad NU, pada 2026 mendatang.
Aru Lego Triono, Nahdliyin Bekasi, Jurnalis NU Online