Beberapa waktu belakangan, lembaga pendidikan kembali terjerat kasus perundungan dan kekerasan fisik berujung kematian. Institusi pendidikan yang mestinya mempertontonkan generasi bangsa yang sedang ‘mekar’ dengan prestasi justru menjadi sumber berita ‘layu’ yang menyayat hati. Institusi pendidikan harus kembali mengimajinasikan peran masa depannya bagi peradaban sebagaimana mandat sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Para pendidik dan agamawan juga terpanggil untuk menghadirkan agama sebagai solusi dan sumber pembentukan karakter, bukan aspirasi-aspirasi masa lalu yang tidak kontekstual atau wacana-wacana yang diperdebatkan. Cara paradigmatik yang harus dilakukan adalah menggeser sudut pandang atau rekonsepsi ‘jantung pendidikan’ dari yang semula kurikulum menjadi pendidik.
Sebagai jantung pendidikan, pendidik ibarat cermin agama yang berjalan dan diamalkan, bukan diperdebatkan dan diwacanakan. Jajaran manusia pendidik merupakan pencetak generasi religius dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan masa depan yang penuh ketidakpastian. Pembentukan generasi religius adalah mandat dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Generasi religius adalah generasi yang sadar dengan kekuatan spiritual, intelektual, emosional, material dan peradaban. Kehadiran generasi religius di setiap institusi pendidikan semakin dinantikan kehadirannya. Terlebih kecanggihan teknologi semakin terbukti tidak menjamin peradaban dunia ini semakin membaik. Peperangan demi peperangan terus terjadi di beberapa belahan dunia. Peperangan selain memperparah krisis di tingkat global, juga menghancurkan pilar-pilar peradaban. Dampak ekonomi dari perang juga semakin dirasakan oleh masyarakat Indonesia yang saat ini sedang menanti hasil proses demokrasi.
Hal ini mengingatkan institusi pendidikan agar ikut serta menjaga kerukunan dan multikulturalisme, serta merawat kemajemukan Indonesia sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa. Keberadaan institusi pendidikan tinggi Indonesia bertaraf internasional seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) atau membawa nomenklatur internasional seperti Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) perlu meningkatkan ‘daya dorong’ dalam negeri dan tidak hanya mencari perhatian dunia internasional. Setidaknya hasil-hasil penelitian dapat diterjemahkan dan dinikmati oleh masyarakat, bukan oleh sesama peneliti dan berputar hanya di kalangan akademisi.
Pendidikan sebagai jantung peradaban diharapkan memiliki detak yang sama dari hulu hingga hilir. Pendidikan orang dewasa hingga anak-anak harus berorientasi pada peradaban. Pendidikan orang dewasa fokus pada pilar peradaban dan pendidikan anak fokus pada pondasi peradaban yang dalam hal ini adalah moral keagamaan sebagaimana falsafah sila yang pertama Pancasila.
Fase peradaban Indonesia yang sudah sampai pada fase kebangkitan peradaban dan pendidikan sebagai jantung peradaban harus dirawat dengan hati-hati dan berbasis pada keimanan. Dengan ini, sosialisasi wawasan kebangsaan dalam institusi pendidikan perlu diperkuat dengan sosialisasi wawasan peradaban sebagaimana narasi Fiqih Peradaban yang ditawarkan oleh Nahdlatul Ulama dan narasi Peradaban Modern (Berkemajuan) yang ditawarkan oleh Muhammadiyah.
Manusia perlu dididik tidak hanya karena terlahir dalam kondisi tidak tahu apa-apa, melainkan karena watak manusiawinya yang cenderung liar di satu sisi, dan di sisi lain ada titah Tuhan agar manusia memakmurkan bumi-Nya. Jika terdapat anak didik berlaku liar dan brutal maka institusi pendidikan, terutama guru kembali dipertanyakan peranannya, bahkan menjadi pihak yang paling ‘tertuduh’.
Hal ini lantaran tugasnya adalah transfer ‘kehidupan’ bukan sekedar transfer pengetahuan. Dalam pendidikan pesantren, guru atau pengasuh adalah jantung pendidikan. Jadi jantung peradaban adalah pendidikan dan jantung pendidikan adalah pendidik itu sendiri.
Dalam pendidikan formal, Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemdikbudristek, Zulfikri Anas menyebut kurikulum adalah jantung pendidikan. Namun demikian, peran orang tua sebagai sekolah pertama bagi anak dan peran lingkungan atau pertemanan tidak bisa dikesampingkan. Termasuk dalam hal ini adalah guru-guru non-formal yang juga berinteraksi dengan siswa. Semua pendidik, termasuk dalam hal ini adalah orang tua harus merasakan denyut nadi yang sama sebagai jantung pendidikan.
Setelah rekonsepsi jantung pendidikan ini selesai di kalangan pemangku kepentingan, tugas berikutnya adalah memasukkan kegiatan khusus tentang wawasan peradaban. Tentu hal ini dapat diakomodir dalam kurikulum merdeka tanpa harus merumuskan kurikulum baru dengan nomenklatur peradaban sebagai kurikulum nasional.
Selain itu, pendidikan Indonesia masih berada di tengah cita-cita revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Pemerintah RI telah memberikan apresiasi terhadap semua pelaku atau agen perubahan yang mencerminkan Gerakan Revolusi Mental di seluruh pelosok Nusantara sebagaimana perhelatan Anugerah Revolusi Mental (ARM) di Istana Wakil Presiden RI Jakarta akhir tahun lalu.
Semangat revolusi mental adalah memajukan peradaban dengan menjadikan nilai-nilai semakin bermakna melalui laku nyata pemerintah dan masyarakat. Tentu pendidikan adalah pilar dan pendidik adalah pondasinya. Adanya krisis keteladanan, kejujuran, kesederhanaan dan sikap elegan (marwah) meniscayakan perlunya pendidikan diperkuat melalui kolaborasi antar-pihak terkait wawasan peradaban.
Sebagai negara yang berasaskan Pancasila, revolusi mental bagi bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari peran tokoh agama dan agamawan. Hikmah paling inti bagi penganut agama adalah rasa takut kepada Tuhan. Rasa takut itu menimbulkan cinta kepada Tuhan dan makhluk-Nya. Hal ini senada dengan tesis keberlangsungan agama dalam tradisi filsafat agama yaitu kepercayaan adanya hari pembalasan pasca-kematian. Jika perbuatan baik atau berpahala maka akan dibalas dengan kenikmatan, sedangkan jika perbuatan itu buruk atau berdosa maka akan dibalas dengan siksa. Ini bukan persoalan receh bagi masa depan peradaban.
Sebagai contoh, perundungan dikenal luas sebagai salah satu dari tiga dosa besar pendidikan yaitu kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi di satuan pendidikan. Pada tahun 2023 lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim telah menyebut bahwa Indonesia darurat perundungan di sekolah ditandai dengan data sekitar 25 persen peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan. Bentuk perundungan dimaksud sangat beragam mulai dari fisik, verbal sosial (relasional) maupun daring atau cyberbullying.
Di lingkungan sekolah, perundungan telah menjadi tantangan masyarakat dunia, tidak hanya Indonesia. Sesuai pakemnya bahwa tantangan terbesar umat manusia saat ini adalah menjaga akhlak. Ketika gaya hidup masyarakat sudah mulai hedon dan materialistis, ketika itu pula akhlak mulia sebagai eksistensi umat manusia dalam terpaan badai. Seorang penyair Arab Ahmad Syauqi mengatakan bahwa “Sesungguhnya eksistensi setiap umat adalah akhlak mereka. Jika akhlak sudah musnah maka musnahlah mereka”. Ini panggilan bagi setiap institusi pendidikan untuk memperkuat budaya toleransi dengan menolak perundungan dan mengampanyekan wawasan peradaban.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam hal ini telah menetapkan bahwa setiap tanggal 4 Mei diperingati Hari Anti Perundungan Sedunia. United Nations Children’s Fund (UNICEF) juga melakukan kampanye anti perundungan yang dikenal dan dijalankan di Indonesia dengan program bernama “Roots”. Melalui program ini, Kemdikbudristek terus mendorong lahirnya siswa agen perubahan. Lantas apakah upaya ini benar-benar efektif menangani perundungan di Indonesia?. Sejauh mana institusi pendidikan berperan membangun peradaban.
Pada tanggal 22 Februari 2024, Said Aqil Siraj Institute meluncurkan buku Kiai Pesantren Membangun Peradaban (70 Tahun Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA). Ini mengingatkan bahwa merawat dan membangun peradaban membutuhkan peran pendidikan pesantren. Namun demikian, pendidikan sekolah yang sama-sama berpegang pada Pancasila juga perlu mengambil peran sesuai porsinya. Jika pendidikan adalah pondasi sebuah peradaban, maka bangsa yang berperadaban adalah bangsa yang memiliki mutu pendidikan. Ketika pendidikan mengalami krisis maka secara otomatis peradaban mengalami defisit.
Ini cermin pentingnya sosialisasi wawasan peradaban. Tanpa program wawasan peradaban di lingkungan pendidikan, generasi bangsa Indonesia rentan gagal paham menyongsong peradaban baru yang semakin positivistik dan kompleks. Program wawasan peradaban bertumpu pada adab atau tata krama. Mufti Uni Emirat Arab Syekh Abdallah bin Bayyah menyebut bahwa tantangan terbesar zaman ini adalah menjaga akhlak.
Oleh karena itu, pendidikan mengemban tugas menyiapkan generasi yang mampu mempelopori dan menggerakkan peradaban. Pendidik adalah manusia rohani yang menjadi pondasi peradaban dan menopang ketiga pilarnya; institusi pendidikan, institusi perekonomian dan institusi peradilan.
Dengan kata lain, pendidikan sebagai penjagaan tiga pilar peradaban yaitu kebenaran, juga pengenalan nilai-nilai perekonomian dan peradilan. Tiga pilar ini tercermin dalam 6 (enam) profil Pelajar Pancasila yang telah ditetapkan oleh Kemdikbudristek yaitu pertama, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia. Kedua, berkebinekaan global. Ketiga, bergotong royong. Keempat, Mandiri. Kelima, bernalar kritis, dan keenam adalah kreatif.
Berdasarkan 6 profil dimaksud, perumusan kurikulum peradaban terhubung dengan profil yang pertama. Spiritnya adalah memberikan wawasan peradaban yang intens dan menggambarkan hubungan lintas ilmu (multidisipliner) sebagai langkah mengenalkan kepada pelajar dan menyelesaikan problem kehidupan mereka yang kompleks. Sosialisasi ini tidak hanya mengantarkan pada pendidikan agama yang beradab, multikultural dan berkebinekaan global, melainkan juga menghadirkan agama sebagai inspirasi peradaban.
Ribut Nur Huda, Pengasuh Baitus Sunnah wat Tazkiyah (BASTA), Doktor lulusan Pendidikan Bahasa Arab University of the Holy Quran and Islamic Sciences Sudan