Opini

Merevitalisasi Kajian Kitab Kuning Melalui Pendidikan Keagamaan Islam

Ahad, 18 Juni 2017 | 09:34 WIB

Oleh Suwendi
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di Indonesia dikenal sejumlah jenis pendidikan, di antaranya jenis pendidikan keagamaan. Jenis pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. 

Dalam konteks ini, Kementerian Agama RI telah mengeluarkan regulasi yang sangat strategis dalam mengembangkan pendidikan keagaman Islam ini. Di era Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, setidaknya hingga kini telah berhasil menerbitkan 3 (tiga) regulasi substansial, yakni PMA (Peraturan Menteri Agama) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren, dan PMA Nomor 71 Tahun 2015 tentang Mahad Aly. Ketiga PMA tersebut merupakan turunan atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Melalui ketiga PMA itu, Kementerian Agama membuka ruang baru dan memberikan pilihan kepada masyarakat untuk mendidik putra-putrinya menjadi kader ulama melalui layanan pendidikan keagamaan Islam, dalam bentuk PDF (Pendidikan Diniyah Formal), SPM (Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren), dan Ma’had Aly. 

Pendidikan Diniyah Formal dan Satuan Pendidikan Muadalah

Pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) merupakan salah satu dari entitas kelembagaan pendidikan keagamaan Islam yang bersifat formal untuk menghasilkan lulusan mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama Islam) guna menjawab atas langkanya kader mutafaqqih fiddin. Kedua lembaga ini diselenggarakan oleh dan berada di pesantren yang dilakukan secara terstruktur dan berjenjang pada jalur pendidikan formal, sehingga memiliki civil effect yang sama, seperti halnya sekolah dan madrasah. 

Jenjang PDF dan SPM dimulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan dasar ditempuh pada PDF Ula dan PDF setingkat MI selama 6 (enam) tahun, dan PDF Wustha dan SPM setingkat MTs selama tiga tahun. Jenjang pendidikan menengah ditempuh pada PDF Ulya dan SPM setingkat MA selama tiga tahun. Sedangkan jenjang pendidikan tinggi ditempuh pada Ma’had Aly untuk program sarjana (S1), magister (S2), dan doktor (S3). 

Kurikulum yang dikembangkan baik oleh PDF maupun SPM terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan keagamaan Islam berbasis kitab. Mata-mata pelajaran pendidikan umum hanya terdiri atas Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta untuk tingkat ulya ditambah dengan Seni dan Budaya, yang semua mata pelajaran umum itu disusun sesuai dengan tradisi dan kultur pesantren dengan basis kitab. Sementara mata pelajaran keagamaan Islam hingga di tingga ulya meliputi: Al-Qur’an, Tauhid, Tarikh, Hadist-Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-Tasawuf, Tafsir-Ilmu Tafsir, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu Arudh, Ilmu Mantiq, dan Ilmu Falak yang semuanya berbasis kitab dan berbahasa Arab. Jika diakumulasi beban mata-mata pelajaran pendidikan keagamaan Islam ini setidaknya 90% dari seluruh beban pelajaran, sementara beban mata-mata pelajaran pendidikan umum sekitar 10% dari seluruh beban pelajaran.

Peserta didik yang dinyatakan lulus dari PDF dan SPM berhak melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis. Artinya, lulusan PDF dan SPM dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada jenis pendidikan keagamaan Islam (PDF Ula/PDF Wustha/PDF Ulya/Ma’had Aly), maupun pada jenis pendidikan umum (SD/SMP/SMA/SMK/PTU) atau jenis pendidikan umum berciri khas Islam (MI/MTs/MA/PTKI).

Ma’had Aly

Ma’had Aly didasarkan atas PMA 71 Tahun 2015 sebagai implementasi konkret dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007. Di samping itu, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang di dalam pasal 30 ayat (2) disebutkan bahwa “Pendidikan tinggi keagamaan berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk Ma’had Aly”. Melihat posisi regulasi tersebut, Ma’had Aly itu senilai, setara dan semartabat dengan lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam lainnya seperti UIN, IAIN, dan STAIN serta lembaga pendidikan tinggi umum lainnya, baik dalam pengakuan, status, lulusan, maupun perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan dan pengembangannya.   

Tujuan didirikannya Ma’had Aly adalah menciptakan lulusan yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan mengembangkan ilmu agama Islam berbasis kitab. Dengan demikian, Ma’had Aly adalah wujud pelembagaan sistemik dan formal atas tradisi intelektual pondok pesantren tingkat tinggi sehingga keberadaannya melekat pada pendidikan pesantren. 

Dalam sejarahnya, Ma’had Aly memang didirikan dan dikembangkan dari dan oleh masyarakat pesantren dan berada di lingkungan pesantren, sehingga tidak akan ada Ma’had Aly Negeri, atau Ma’had Aly yang diselenggarakan Pemerintah. Meski demikian, tujuan yang hendak dicapai dari Ma’had Aly tidak semata-mata untuk kepentingan pesantren, tetapi untuk kepentingan umat dan bangsa. Selain untuk keberlangsungan pesantren sendiri dengan tumpuan pada tradisi intelektual tingkat tinggi, Ma’had Aly juga dimaksudkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan keislaman dan transformasi sosial dalam kehidupan bangsa yang terus berubah. Oleh karena itu, keberadaan Ma’had Aly sebetulnya bukan lagi kepentingan masyarakat pesantren an sich, melainkan kebutuhan bangsa Indonesia, terutama dalam menyempurnakan sistem pendidikan nasional yang dicita-citakan, dan kebutuhan dunia Islam. 

Dari aspek epistemologi keilmuan, setidaknya ada tiga pola kajian akademik pada pendidikan tinggi yang berkembang, yakni ilmu umum-murni, ilmu-keislaman murni, dan ilmu yang mengkorelasikan sekaligus menginterkoneksikan antara ilmu-umum murni dengan ilmu-keislaman murni. Ilmu keislaman murni dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia dikembangkan oleh pondok pesantren dengan literatur kitab yang berjilid-jilid. Jika ilmu-umum murni itu lebih banyak dikembangkan pada lembaga perguruan tinggi umum, semisal UI, IPB, ITB, dan lain, maka ilmu yang mengkorelasikan sekaligus menginterkoneksikan antara ilmu-umum murni dengan ilmu-keislaman murni itulah yang dilakukan oleh UIN, IAIN, dan STAIN. Maka, dalam kontek Mahad Aly sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam, ia ditempatkan sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam mengawal dan mengembangkan ilmu-keislaman murni itu. Kajian kitab kuning tingkat tinggi menjadi bahan kajian pada Ma’had Aly. 

Sebagai bentuk dari pendidikan tinggi keagamaan, Ma’had Aly merupakan perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Sebagai pendidikan akademik, Ma’had Aly menyelenggarakan program pendidikan dari Strata Satu (S1) hingga Strata Tiga (S3). Untuk membangun keunggulan dengan integritas akademik yang tinggi, satu Ma’had Aly diberikan izin penyelenggaraan untuk satu program studi saja. Posisi program studi pada Ma’had Aly tidak semata-mata program studi, tetapi ia dikembangkan menjadi pusat kajian keilmuan keislaman dan kepesantrenan secara sekaligus. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama memiliki komitmen yang kuat untuk membangun pusat-pusat unggulan ini. Dengan posisi ini, Ma’had Aly akan tetap ditempatkan sebagai lembaga khusus yang ada pada pesantren sebagai lembaga kaderisasi ulama. 

Untuk tahap awal, Kementerian Agama telah mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3002 Tahun 2016 tentang Izin Pendirian Ma’had Aly kepada 13 Pondok Pesantren di seluruh Indonesia dan me-launching-nya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur Pada hari Senin, tanggal 30 Mei 2016. 

Mengintegrasikan Berbagai Kepentingan

Atas dasar deskripsi entitas kelembagaan PDF dan SPM di atas, penulis mencermati setidaknya terdapat beberapa point penting sebagai benang merah dari ikhtiar kebijakan kelembagaan tersebut, yakni sebagai berikut.

Pertama, kelembagaan PDF, SPM, dan Ma’had Aly ini mengisi ruang kosong yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh umat dan negara, terutama dalam konteks menghadirkan kader-kader ulama (mutafaqqih fiddin) yang kian hari semakin kian langka. Ikhtiar kaderisasi ini dilakukan melalui layanan pendidikan jalur formal yang diregulasi, direkognisi dan difasilitasi oleh negara, dengan tanpa menghilangkan tradisi akademik dan substansi kajian yang selama ini telah berlangsung. 

Kedua, oleh karena dilakukan melalui pendidikan jalur formal dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, lulusan dari PDF, SPM, dan Ma’had Aly dengan sendirinya mendapatkan civil effect dan diperlakukan sama sebagaimana halnya lulusan pada layanan pendidikan jalur formal lainnya. Jika selama ini ditemui banyak tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat yang secara akademis sesungguhnya memiliki kompetensi keagamaan yang sangat luar biasa, namun karena belum memiliki ijazah atau pengakuan secara formal lainnya maka tokoh atau pemuka masyarakat itu tidak dapat mendapatkan akses secara luas, baik pada dunia pendidikan, dunia kerja, maupun dunia sosial politik. Dengan kelahiran PMA 13/2014, PMA 18/2014 dan PMA 71/2015, tokoh-tokoh agama yang lulus dari layanan PDF, SPM, dan Ma’had Aly dipastikan akan memperoleh kesempatan dan akses yang sangat luas.

Ketiga, kelembagaan PDF, SPM, dan Ma’had Aly merupakan upaya kolektif antara masyarakat pesantren dan pemerintah dalam melakukan revitalisasi dan konservasi kajian keagamaan Islam berbasis kitab kuning. Kajian kitab kuning yang selama ini dilakukan secara otonomi oleh pesantren dengan tanpa ada standarisasi yang jelas maka pada perkembangan kajian kitab kuning di pesantren terakhir cukup memprihatinkan. Pasalnya, Survei Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren yang dilakukan oleh Balitbang Kementerian Agama tahun 2010 menunjukkan bahwa kajian kitab kuning di sejumlah pesantren kian hari ini semakin berkurang, baik pada jumlah kitab yang dikaji, tingkat (marhalah) keilmuan kitab yang dikaji, serta frekuensi pengajaran kitab kuning. 

Keempat, kehadiran layanan PDF, SPM, dan Ma’had Aly merupakan strategi pemerintah untuk mengungkit afirmasi anggaran yang lebih produktif dengan pendekatan APK (Angka Partisipasi Kasar) pendidikan. Sejauh ini, pendekatan anggaran pada struktur kementerian/lembaga pada aspek pendidikan seringkali digunakan dengan APK dengan indikasi status formalitas layanan pendidikan. Oleh karena PDF, SPM, dan Ma’had Aly merupakan layanan pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal dan berkontribusi pada APK dan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar, maka berimplikasi pada kehadiran anggaran yang harus mendapatkan perlakuan yang sama, sebagaimana layanan pendidikan pada jalur formal lainnya, seperti sekolah dan madrasah. Tegasnya, jika di madrasah dan sekolah itu mendapatkan anggaran BOS (Bantuan Operasional Sekolah), tunjangan sertifikasi guru, bantuan rehab kelas, dan lain-lain, maka PDF, SPM, dan Ma’had Aly juga memiliki afirmas anggaran yang sama. Dengan demikian, kehadiran layanan PDF, SPM, dan Ma’had Aly ini merupakan startegi yang mengintegrasikan banyak kepentingan.

Penulis adalah lulusan Doktor Pendidikan Islam UIN Jakarta dan salah seorang konseptor PMA 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah, dan PMA Nomor 71 Tahun 2015 tentang Mahad Aly


Terkait