Sebelum Indonesia berdiri, NU telah memberikan status negara dan wilayah Nusantara dari sudut pandang agama Islam. Ini dilakukan jauh sebelum ada perdebatan-perdebatan di BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945. Yang menarik, dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan, hasil keputusan peserta konggres atau muktamirin ada yang berjudul “Apakah nama negara kita Indonesia, negara Islam”.
Para peserta melakukan telaah dan istinbath hukum sesuai tradisi NU, yang menghasilkan keputusan, demikian:
Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama Negara Islam masih selamanya, sebagaimana keterangan dari kitab Bughyatul Mustarsyidin: “Setiap kawasan di mana orang Muslim mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam, yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda) dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb hanya meru pakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Dengan demikian, perlu diketahui bahwa kawasan Batavia, bahkan seluruh tanah Jawa (nusantara) adalah darul Islam, karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang-orang k afir Belanda” (diputuskan di Banjarmasin, 19 Juli 1936).
Keputusan NU tersebut, diberi penjelasan oleh KH Achmad Siddiq, demikian:
“Pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah Darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Kata Darul Islam di situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam. Motif utama dirumuskannya pendirian itu adalah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non-Muslim, maka dia harus diperlakukan sebagai Muslim. Di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya. Namun demikian NU menolak ikut milisi Hindia Belanda, karena menurut Islam membantu penjajah hukumnya haram” (dalam Piagam Kebangsaan, hlm. 52).
Pandangan NU yang melihat wilayah Indonesia sebagai daerah Islam itu, salah satu alasan pentingnya disebutkan, berkaitan dengan bagaimana status jenazah yang tidak pernah sembahyang dan puasa selama hidupnya di wilayah Negara Indonesia- Nusantara (yang saat itu belum berdiri), dan tidak diketahui dia non-Islam. Pandangan itu melengkapi terhadap pandangan sebelumnya tentang status jenazah yang telah diputuskan mendahului keputusan Muktamar Banjarmasin (1936), yaitu keputusan Muktamar tahun 1933. Dalam salah satu keputusannya, Muktamirin menjawab pertanyaan tentang “seorang yang tidak pernah puasa dan shalat selama hidupnya, ia adalah putra Indonesia, sewaktu meninggal dunia, apakah ia dirawat sebagai orang Islam ataukah tidak.
Jawaban Muktamirin tahun 1933 menyebutkan demikian:
Betul harus dirawat sebagai orang Islam, karena ia itu orang Islam selama tidak menyatakan kekufuran, dalam perkataan atau perbuatan.
Keterangan diambil dari kitab Bujairimi `alal Iqna’ juz IV bab Janaiz dan kitab Bughyatul Mus ta r syidin: “Seseorang anak kecil lelaki ataupun perempuan ataupun pula banci dihukumi sebagai orang Islam, jika sudah terdapat tiga sebab, yang pertama, kedua orangtuanya telah Islam (Bujairimi `ala al-Iqna bab Janaiz)”; dan “wajib merawat jenazah setiap orang Muslim yang diakui/dihukumi keislamannya walaupun banyak dosanya, meninggalkan sholat dan lainnya, selama tidak ateis (Bughyatul Mustar syidin).”
Dalam keputusan Muktamar NU tahun 1933 ini rujukan yang dipakai ada klausul bila diketahui tiga syarat, dan yang pertama bila diketahui orang tuanya telah Islam, maka jenazah diperlakukan sebagai seorang Muslim. Keputusan ini masih menyisakan persoalan, yaitu bagaimana urusan jenazah yang tidak diketahui orang tuanya telah Islam, baik itu banci anak kecil, atau orang dewasa, yang tidak pernah sembahyang dan tidak terlihat puasa dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam lain. Hal ini mestilah memperoleh jawaban dari sudut pandangan keagamaan.
Untuk soal ini, pada Muktamar NU tahun 1936 ada pertanyaan yang berhubungan dengan itu. Masalah itu kemudian membawa implikasi dan disimpulkan bahwa masalah jenazah yang demikian, harus diputuskan berhubungan dengan status wilayahnya. Kalau wilayah Nusantara dipandang sebagai wilayah non-Islam, maka jenazah itu dianggap non-Islam, tetapi kalau status wilayah Nusantara dipandang sebagai daerah Islam, maka jenazah yang tidak diketahui dia pernah sholat dan puasa, diakui dan dianggap sebagai jenazah Islam, dan karenanya jenazah itu berhak memperoleh perlakuan sebagai orang Islam dalam pemandian dan penguburan.
Dengan penjelasan itu, semakin gamblang, yang dimaksud keputusan dari Muktamar tahun 1936 bukan dalam pengertian sebagai sistem politik ketatanegaraan, tetapi penamaan dari sudut agama bagi Indonesia dan Nusantara sebagai wilayah. Pendirian ini membawa implikasi-implikasi, yang disebut di antaranya, penduduknya wajib memelihara ketertiban, mencegah perampokan, dan kalau ada jenazah yang tidak jelas identitasnya diperlakukan sebagai Muslim, dan lain-lain, meskipun tidak diketahui orang tuanya Islam.
Pandangan ini juga membawa implikasi untuk menanamkan nilai-nilai kultural Islam di tengah masyarakat, meskipun wilayah ini tidak menggunakan sistem politik ideologi ketatanegaraan sebagaimana dalam Kerajaan Islam.
Jadi, bagi NU, wilayah Nusantara ini sudah dianggap sebagai daerah Islam, karena pernah dikuasai dan didiami oleh kaum Muslimin. Karenanya, dalam berbagai sejarah politik dan masyarakat di Nusantara yang kemudian dijajah Belanda itu (juga Portugis dan Jepang) sampai merdeka, NU merasa bertanggungjawab untuk terus menjaga wilayah ini sebagai daerah Islam. Caranya dengan terlibat dalam berbagai perjuangan nasional mengusir penjajah, perumusan dasar negara dan keberlanjutannya, dan menjaga ketertiban masyarakat agar tidak terjadi perampokan (kekacauan) dan sejenisnya.
Soal bagaimana bentuk sistem politiknya, tidak ditentukan dan sifatnya aktual, yang kemudian memang dihadapkan pada pilihan: apakah akan berbentuk republik atau kerajaan, ternyata pilihan bentuk republiklah yang kemudian disetujui dalam musyawarah dan diterima oleh NU. Ini membawa konsekuensi, selain bahu membahu dengan kelompok lain untuk mengusahakan kemerdekaan Indonesia, sebagaimana disebutkan tadi, juga membawa implikasi pada, jargon-jargon pendirian Negara Islam sebagai sistem ketatanegaraan, tidak serta merta diterima sebelum memperoleh mufakat dalam musyawarah pendirian Republik Indonesia. Dalam kenyataannya, memang akhirnya hal itu tidak diterima sebagai mufakat dalam musyawarah pendirian Republik Indonesia, dan itu diterima NU.
Dari sudut inilah, benar apa yang dikatakan berbagai hikmah para guru di pesantren, NU adalah salah satu pakunya Negara Republik Indonesia. NU, diakui oleh mereka yang senang atau tidak senang sekalipun dengan posisi dan bagaimana orang NU memandang wilayah Nusantara ini (yang melihat dirinya sebagai pakunya Indonesia), dialah yang meletakkan fondasi Negara Republik Indonesia dan mematrinya dari sudut agama dan perjuangan fisik-rohani, jauh sebelum Indonesia berdiri.
Sementara gambaran cita-cita mewujudkan al-adalah (dalam Mabadi Khaira Ummah) dan at-ta`awun di tengah bangsa Indonesia, tidak akan terwujud bila tidak dilakukan dengan i’tidal, yaitu tegak lurus ikut terus menerus dalam menegakkan keadilan di masayarakat, sesuai dengan konteksnya, zamannya dan lain-lain. Hal i ni menghantarkan NU senantiasa terlibat dalam berbagai lapangan perjuangan, fisik, rohani, dan argumentasi di badan-badan organisasi yang diperlukan di masa-masa selanjutnya.
Penulis adalah anggota PP RMI NU dan alumnus Pondok Pesantren Darunnajah Banyuwangi)