Opini

Nahdlatul Ulama dan Ideologi Kulturalisme

Rabu, 1 Agustus 2018 | 06:15 WIB


Oleh Haris Muhith 

Banyak yang meragukan Nahdlatul Ulama (NU) mampu bertahan hingga kini dan tetap eksis. Dengan kenyataan bahwa NU belum mampu hadir secara maksimal dengan tuntutan kekinian dan modernitas dan masih dominan di pedesaan daripada di kota yang merupakan pusat aktivitas kehidupan, menjadi pertanyaan, mengapa Ormas ini kuat bertahan?

Semenjak Deliar Noer (1980)  dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 membuat kategorisasi santri modern dan tradisional di mana yang awal untuk Muhammadiyah dan yang kedua untuk NU. Hingga kini NU pun masih tergolong tradisional meski telah memiliki aset pendidikan dan rumah sakit modern. Hal ini tidak lepas dari basis pesantren tradisional yang dimiliki, dan banyak berada di pedesaan. Dengan predikat tradisional yang melekat pada dirinya dan dengan eksistensinya yang kuat, timbul asumsi, jangan-jangan justru tradisionalitas itulah yang membuat NU tetap eksis. 

Hipotesis ini bisa jadi benar adanya bahwa Ormas 'agama' lebih dibutuhkan aspek tradisionalitasnya daripada modernitas. Hal ini dengan asumsi bahwa agama adalah institusi yang fokus pada penyebaran ajaran tentang keyakinan dan pengawalan nilai-nilai kebajikan yang berlaku secara ajeg dalam tradisi yang lestari. Bukan berorientasi pada kemajuan materi (modernitas) yang terus berkembang dan berubah.

Pengarusutamaan tradisi daripada modernitas oleh lembaga agama adalah lantaran bahwa modernitas lebih diasumsikan sebagai produk peradaban yang profan yang bukan ranah agama tapi ilmu pengetahuan. Dengan pesatnya kemajuan Iptek yang dimotori oleh Barat, maka agama tidak dituntut untuk bertarung pada ranah yang sama. Ia lebih dituntut untuk mengisi celah kosong selain urusan materi yang 'bukan'  otoritasnya. 

Pandangan ini bisa kemudian diartikan sebagai pandangan sekular; tapi bisa jadi memang beginilah pandangan mayoritas umat Islam Indonesia tentang posisi agama dalam kehidupan manusia. Minimal, inilah pembagian kerja agama dan ilmu pengetahuan dan bahwa masing-masing adalah otoritas pada bidangnya sendiri-sendiri. Dalam kata lain pembagian ini tidak identik dengan sekularisme yang memisahkan agama dari urusan duniawi, tapi lebih pada spesialisasi bidang garapan.

Output dari pandangan ini, yang memposisikan agama pada ranah sakral, adalah munculnya tradisi-tradisi yang ada di masyarakat yang bersumber dari agama. Tradisi tersebut seperti terkait pola hidup, moralitas, ritualitas dan simbol-simbol budaya yang menjadi ciri khas masyarakat. Jika agama tidak berada di wilayah ini, budaya, dan ikut bertarung pada materi, maka wilayah ini menjadi seperti tak bertuan atau hanya menjadi perhatian pelestari budaya lokal seperti kaum priayi di lingkungan kraton atau para pelestari kesenian daerah yang gigih mempertahankan pusaka nenek moyang dari kepunahan. Perpaduan budaya Jawa dan Islam pun menjadi raib lantaran institusi agama beralih fokus ke pembangunan materi. 

Dalam hal ini NU terbukti telah mengembangkan tradisi masyarakat khususnya kaum santri dalam bentuk ritual-ritual siklus kehidupan, apakah itu doa tujuh bulan ibu mengandung (Jawa: mitoni), walimah khitan, walimah nikah, tahlilan dan haul.  Dalam pembentukan akhlak, Islam tradisional menciptakan standar sopan santun dengan melestarikan penggunaan Jawa Krama di pesantren, acara resepsi dan pengajian umum.

Sejauh ini, peran santri sangatlah besar dalam melestarikan bahasa Jawa Krama. Tanpa mereka, barangkali, ia akan jarang lagi terdengar sebab sudah diambil alih oleh bahasa nasional, Indonesia. Kalau masyarakat priayi nampak menggunakan bahasa Jawa pada acara resepsi pernikahan ala Jawa, maka kaum santri dalam kesehariannya menggunakan Jawa Krama sebagai media komunikasi dalam ngaji kitab kuning dan menjadi identitas budaya pesantren. 

Dalam berbusana demikian halnya, kaum santri mendorong terciptanya desain busana Muslim mulai dari kerudung dan baju koko plus kopiah dan sarung. Sebuah identitas yang melekat pada kaum budaya kaum santri. Demikian pula dengan karya musik reliji, apakah itu musik Shalawat Banjari, Marawis dan tarian sakral Ishari yang kerap tampil di acara haul, juga menunjukkan signifikansi NU dalam gerakan budaya. 

Peran ini barangkali yang menjadikan NU tetap eksis hingga kini. Yaitu peran pelestari budaya lokal yang sering ditinggalkan oleh Ormas lain yang gandrung pada modernitas. Ini juga barangkali yang menjadi rahasia di balik dari daya tahannya yang luar biasa meski ia, kata orang, dianggap 'ndeso' sekali pun. 

Jikalau kita menyaksikan peninggalan budaya yang menjadi kebanggaan peradaban suatu bangsa, hal itu banyak terepresentasi dalam bangunan rumah ibadat dan makam. Sebut saja Pyramid yang merupakan makam Firaun, Taj Mahal makan istri kesayangan Shah Jepang penguasa Mughal India, gereja-gereja kuno di Eropa seperti Katedral Santo Basil Moskow, Gereja Katolik Roma, Candi Buddha Borobudur dan Candi Hindu Prambanan. Selain fungsi sentralnya sebagai rumah ibadat, bangunan itu merepresentasikan tingginya peradaban yang dihasilkan dari budaya agama. Setiap agama memproduk budaya yang tertuang dalam karya seni ornamen, mozaik, kaligrafi dan ikon yang unik. Dalam hal ini didapati, bahwa nahdliyin gemar membangun masjid-masjid yang indah di sepanjang jalan raya dan di wilayah permukiman mereka. Di sepanjang jalan provinsi, terutama di Jawa Timur, kita dapati masjid-masjid yang kokoh berdiri dengan indahnya. Tidak ada bangunan seindah masjid di wilayah tingkat kabupaten. Hal berbeda dengan kota besar seperti ibukota provinsi atau negara di mana bangunan terindah didominasi oleh hotel dan mall. Ini menunjukkan eksistensi Islam tercermin kuat melalui karya artistik bangunan masjid. 

Bagi turis mancanegara, bangunan masjid adalah identitas budaya yang membedakan Indonesia dari negara lainnya khususnya yang berpenduduk mayoritas non-Muslim. Dengan demikian kegemaran membangun masjid dengan desain yang terus berkembang mengandung makna dakwah kultural di mana eksistensi agama ada di sekitar masjid itu. Ia bukanlah bangunan bisu. Ia menjelaskan keberadaan agama di situ. Semakin banyak masjid berdiri, secara simbolik semakin mempertebal eksistensi Islam di sana. 

Aspek budaya adalah aspek yang fundamental dalam apa yang dihasilkan oleh agama. Ketika sebuah Ormas agama, NU, menonjolkan aspek itu dan menjadikan dakwah kultural sebagai core-value, maka ia dengan sendirinya telah menempatkan dirinya on the right track sehingga terus eksis sampai sekarang.  Wallahu a’lam

Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.


Terkait