Oleh Achmad Munif Arpas
Sejarah besar ketelaladan Nabi Muhammad SAW dalam membina kehidupan beragama penuh damai di Madinah, ternyata sering dilupakan, bahkan tidak dipahami oleh sebagian besar umat Islam sendiri. Karena itu, mereka ini memiliki kecenderungan gambaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terdiri hanya satu golongan dan satu agama. Mereka ini tidak mengenal kebebasan beragama, kemajemukan, pluralism, toleransi, kerjasama, kebebasan berpendapat, saling membantu sama lain dalam mewujudkan cita-cita suatu bangsa bernama Indonesia, yang Bhinneka Tunggal Ika ini.
<>Padahal, fakta sejarah sudah membuktikan bahwa sebagai Nabi dan Rasul, kedatangan Muhammad SAW disambut dengan suka-cita oleh seluruh penduduk Yathrib atau Madinah yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan itu. Masyarakat Madinah berbondong-bondong menyambut datangnya pemimpin besar umat Islam tersebut. Kenapa? Sebelum hijrah dari Makkah, Nabi Muhammad SAW sudah bertemu dengan para pemimpin kaum Yahudi, Nasrani, Qabilah-qobilah Arab, penyembah berhala dan kaum atheis lain untuk menghindari perang. Nabi lebih memilih hidup berdampingan secara damai, menjaga keamanan bersama-sama, membangun perekonomian dan melawan siapapun yang melakukan kedzaliman dan kejahatan terhadap kemansuiaan.
Itulah antara lain salah satu bagian terpenting dari 48 poin perjanjian Nabi dengan penduduk Yathrib yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama tersebut. Perjanjian ini kemudian disebut pula sebagai ‘Konstitusi Madinah, bukan Konstitusi Islam. Sebuah aturan dan perjanjian yang kali pertama ada di dunia. Karena itu, kehidupan beragama di Madinah disebut juga sebagai puncak peradaban dunia Islam, yang sebelumnya tidak pernah terjadi khususnya antara Islam dengan non Islam.
Perjanjian yang sama pernah dilakukan oleh Nabi, secara khusus dengan kaum Nasrani di Yerussalem atau Baitul Maqdis (Al-Quds). Ketika kota suci itu dibebaskan oleh umat Islam dan isinya sejalan dengan Piagam Madinah. Yaitu Nabi Muhammad merupakan pelindung mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka. Kata Muhammad,”Setiap jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku adalah sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku.”
Al-Quran pun sudah mengingatkan akan kehidupan yang beragam, majemuk dan plural ini adalah sebagai suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat: 13,”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu seorang lelaki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT adalah yang paling bertakwa...” Adalah orang yang taat menjalankan perintah agamanya dan menjauhi serta mencegah larangan agamanya. Yaitu orang yang beramal saleh, banyak melakukan kebaikan dan kemaslahatan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara ini, dan bukan merusaknya.
Dengan demikian, sungguh aneh jika dalam keindonesiaan saat ini masih terdapat sekelompok masyarakat muslim mempunyai pandangan dan keyakinan berbeda dengan keyakinan agamanya.Di mana orang yang mempunyai keyakinan agama berbeda dianggap salah, sesat dan kafir. Oleh sebab itu, halal darahnya dan harus diperangi. Memerangi kelompok kafir ini adalah wajib dan dianggap sebagai jihad di jalan Allah dengan jaminan masuk surga, memdapatkan hadiah bidadari dan kenikmatan lainnya di akhirat. Keyakinan yang sesat itulah yang kemudian menumbuh-suburkan keberagamaan yang radikal, fundamentalis dan menjadikan mereka ini sebagai teroris.
Bukankah Allah SWT sudah menegaskan bahwa pembunuhan tanpa alas an yang benar, adalah dosanya sangat besar? Al-Quran Al-Maidah: 32: “Barangsiapa membunuh manusia bukan karena membunuh orang lain (haq) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi ini, maka dosanya seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka pahalanya seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Ayat ini mempertegas bahwa Islam itu sangat menghargai setiap jiwa dan nyawa manusia. Sehingga Islam adalah agama yang mengagungkan kemanusiaan atau al-Basyariyah, al-Insaniyah.
Berangkat dari pemikiran keagamaan di atas, maka menjadi kewajiban bersama bagi seluruh bangsa ini untuk memelihara kerukunan, kedamaian, toleransi, pluralism, dan kelangsungan bernegara untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa. Karena itu wajib pula memerangi siapapun yang coba melakukan penjajahan, kezdaliman, penindasan dan ketidakadilan terhadap anak bangsa ini. Oleh sebab itu para ulama Nahdlatul Ulama (NU) menyebut bahwa mencintai dan membela tanah air itu sebagai bagian dari iman (hubbul wathon minal iman). Tanpa melihat siapa saja yang menjadi warga Negara: Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu dan kepercayaan lainnya, maka hukumnya wajib membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Komitmen akan kewajiban mempertahankan NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika dan berdasarkan Pancasila ini bagi NU tidak akan pernah pupus dan akan terus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Dari muktamar ke muktamar sejak berdirinya pada 1926, komitmen itu terus dijadikan landasan dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan dalam Muktamar NU ke 32 di Makassar 2010 komitmen itu dipertegas kembali: Bahwa fungsi imamah atau kenegaraan dalam pandangan politik Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Shulthoniyah, ”al-Imamah mawdhu’atun likhilafatin nubuwwah fi haratsatiddin wasiyasatiddunnya…bahwa pemimpin itu adalah untuk menjaga agama (harasatud din) dan mengatur dunia (siyasatud dunya).
Dengan demikian, maka Negara dan pemerintah wajib memelihara kelangsungan kehidupan beragama dan segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan dunia. Seperti kelangsungan dan pembangunan rumah ibadah, sosial politik, ekonomi, penegakan hukum, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, ketentraman, kedamaian, keamanan Negara dan sebagainya.
Dengan dasar pemikiran keagamaan dan kenegaraan tersebut, ketika Indonesia dalam ancaman penjajahan Inggris, maka ulama NU melakukan ijtihad politik dengan mengeluarkan ‘Resolusi Jihad’ pada 66 tahun silam tepatnya pada 22 Oktober 1945 yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari. Dengan maklumat bahwa wajib bagi umat Islam untuk memerangi penjajahan yang dilakukan tentara Inggris atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang mendarat di Surabaya ketika itu. Para kiai NU kemudian membentuk barisan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur, barisan Hisbullah dipimpin oleh H Zainul Arifin dan kiai sepuh di barisan Mujahidin yang dipimpin langsung oleh KH Wahab Hasbullah.
Ketika itu, pergerakan tentara Inggeis tidak dapat dibendung. Tentara Inggris sudah menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang melalui pertempuran-pertempuran sengit yang dibantu tentara Jepang, yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari peralihan kekuasaan. Sedangkan kota-kota besar di kawasan Timur Indonesia telah diduduki oleh Australia. Namun, berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui Resolusi Jihad NU itu pada 10 November 1945, arek-arek Suroboyo memenangkan pertempuran sampai tentara Inggris dan Australia keluar dari Indonesia. Ini salah satu bentuk konkret komitmen NU dalam mengawal dan mempertahankan NKRI. Namun, fakta ini sering dilupakan sejarawan Indonesia.
Pancasila
Memang kelangsungan sejarah bangsa ini tak selamanya akan berjalan sebagaimana sejarah berdirinya (founding fathers), yaitu sebagai Negara bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila, NKRI dan berpegang teguh kepada UUD NRI 1945. Karena pelaku sejarah dan pemerintahan Negara ini berjalan secara bergantian dari masa ke masa, orde ke orde: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Bersamaan dengan itu juga selalu akan lahir dan muncul generasi dengan pemahaman agama, ideology kebangsaan dan kenegaraan yang berbeda pula. Jadi, wajar jika kemudian muncul keinginan suatu Negara berdasarkan satu keyakinan agama, karena mereka ini tidak mendapatkan pengetahuan, wawasan dan tidak memahami pergumulan sejarah bangsa Indonesia dengan baik. Sehingga masih ada yang bermimpi memiliki ideology Negara berdasarkan hukum Islam bahkan akan menjadikan Negara ‘Islam’ dan tentu mengabaikan Pancasila.
Karena itu pemerintahan Orde Baru sangat khawatir akan ancaman tersebut, sehingga harus melakukan sosialisasi terus-menerus terhadap Pancasila atau penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Bahkan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar NU pun meski KH Abdul Wahid Hasyim terlibat dalam perumusan Pancasila itu bersama Bung Karno, Hatta dll, tetap saja diminta secara resmi untuk mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas. Akhirnya, para kiai NU pada Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur 1984, yang dipelopori oleh Rais Aam PBNU KH Ahmad Shiddiq dan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dimaksud.
Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas itu pada prinsipnya, karena prinsip-prinsip dan nilai-nilai Pancasila itu tidak bertentangan dengan ajaran agama. Baik secara tauhid, ketuhanan maupun sosial amaliahnya. Ada dua penegasan Gus Dur dalam perumusan itu, yaitu “Tanpa Pancasila, negara tidak akan pernah ada dan Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat abadi. Sehingga Pancasila membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak harus diperjuangkan.”
Demikian pula KH Ahmad Shiddiq yang membuat kesimpulan: bahwa mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib dan sah hukumnya dan itu mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam. Karena itu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD NRI 1945 dan NKRI wajib dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya.
Persoalannya sekarang adalah apakah komitmen terhadap pengamalan Pancasila sudah terwujud? Jika penyelenggara Negara dan tokoh bangsa ini mengakui bahwa pengamalan Pancasila itu belum bahkan tidak terwujud, utamanya menyangkut keadilan, penagakan hukum, kesejahteraan, kemanusiaan, ekonomi kerakyatan dan sosial politik yang lain, maka tidak salah jika anak bangsa ini melupakan Pancasila. Sedihnya lagi, kini banyak anak-anak sekolah tidak hafal sila-sila Pancasila, sehingga Pancasila itu bisa disebut tidak sakti lagi.
Selama dekade terakhir ini, kita hanya sibuk dengan berbagai seremony dan berbagai kegiatan Negara yang sesungguhnya makin menjauhkan dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Misalnya gaya hidup mewah di tengah maraknya korupsi di mana-mana, ketidakadilan dan kedzaliman serta kemaksiatan di mana-mana, hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, pendidikan dan kesehatan makin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat, dan lain-lain yang tidak sejalan dengan Pancasila. Maka, sudah waktunya untuk interospeksi diri untuk melaksanakan Pancasila dengan benar dan bertanggungjawab.
Sejauh itu, selain dengan pengamalan konkret akan prinsip-prinsip Pancasila, sosialisasi 4 Pilar bangsa yang sudah berjalan saat ini, juga dibutuhkan peningkatan wawasan keagamaan yang benar, baik, utuh dan komprehensif agar mampu meminimalisir gerakan radikalisme, fundamentalisme dan terorisme yang terus mengancam eksistensi NKRI ini.
Achmad Munif Arpas adalah Sekretaris Redaksi NU Online, alumni MAN Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran dan UIN Syahid Ciputat Jakarta, wartawan Harian Bangsa Surabaya, mantan wartawan Duta Masyarakat, Harian Terbit Jakarta, Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) 2010-2015 dll. Pernah juara I dan II penulisan budaya Islam bersama Kompas, Republika dan Gatra pada Festival Istiqlal 1995 dan juara I penulisan berita-berita agama terbaik versi Front Pembela Islam, 1997 dan penghargaan lainnya.
DAFTAR BACAAN
1. Al-Quran dan terjemahannya Depag RI, 1990
2. Sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, Muhammad Husein Haekal, 1995
3. Hadis Shohih Bukhori
4. Hadis Shohih Muslim
5. Biografi Gus Dur, Greg Barton, 2003
6. Membumikan Al-Quran, M Quraish Shihab, 1995
7. Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Choirul Anam, 1999
8. Hasil-Hasil Muktamar NU ke 32 di Makassar, 2010
9. Muqoddimah Ibnu Kholdun, 2000
10. Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholish Madjid, 1995
11. Islam Agama Kemanusiaan, Nurcholish Madjid, 1995
12. Islam dan Tata Negara, Munawir Sjadzali, 1993
13. Al-Ahkam As Shulthoniyah, Imam Al-Mawardi
14. Al-Mu’jam al-Mufahrus Li-alfadhi Al-Quran Al-Karim, Muhammad Fuad Abdul Baqi’ Daarul Fikr, 1992
15. NU dan RelasI-Relasi Kuasa, Martin van Bruneissen, 1993
16. Dll