Opini

NU sebagai 'Mandala'

Sabtu, 3 Februari 2018 | 10:03 WIB

Oleh Asep Salahudin

Dalam tradisi Sunda dikenal istilah mandala. Tempat tapa untuk meraih pengetahuan, kearifan dan akhirnya supaya total berkhdimah tanpa pamrih terhadap masyarakat. Mandala bukan hanya siasat meniciptakan kesalehan personal, namun juga mewujudkan keadaban sosial. 

Agar mandala ini tetap berwibawa maka setiap orang yang masuk ke dalamnya wajib menjaga keberadaannya sepenuh hati. Mandala juga sering bertukar nama menjadi kabuyutan. Di kabuyutanlah para empu dan “bangsawan pikir” menulis naskah, mengajarkan agama, mengeluarkan fatwa kebangsaan, merumuskan politik luhur, melakukan penelitian, mengembangkan ilmu pengetahuan dan sekaligus memunajatkan doa dan bertawasulan. 

Hancurnya kabuyutan selalu menjadi alamat runtuhnya sebuah kerajaan. Maka dalam sejarah peperangan kabuyutan senantiasa menjadi target utama.  Amanat Galunggung sebagai salah satu naskah tua di Jawa Barat menyebutkan bangsa (negara atau masyarakat) yang tidak mampu merawat kabuyutan sehingga kemudian kabuyutan itu jatuh ke tangan lawan maka martabatnya tidak lebih mulia dari lasun di jariyan (musang di tempat sampah).

Bagi saya dalam konteks masyarakat sipil dan peradaban modern, mandala bukan hanya metafora dari perguruan tunggi, pondok pesantren, namun juga ormas keagamaan termasuk dalam hal ini Nahdlatul Ulama. Maka menjadi maklum kalau apa yang diajarkan di pesantren dan etika NU memiliki irisan dengan ajaran yang tempo hari ditanamkan di mandala seperti keharusan berkata jujur, berbicara tidak asal ngomong (abong biwir teu diwengku, abong letah teu tulangan); jangan rakus (ngarawu ku siku), menekankan hidup tidak lupa daratan (adam lali tapel), tidak munafik (budi santri, legeg lebe, ari lampah euwah-euwah), tidak sombong (ulah pangkat memeh jeneng), harus tahu diri (ngukur ka kujur, nimbang ka awak), istikamah (ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan), transparan (ngadek sacekna nilas saplasna), tidak pongah dengan sesuatu yang sejatinya bukan milik kita (adean ku kuda beureum); menghindari watak khianat (sumput salindung), jangan mudah terbawa arus (ulah kabawa ku sakaba-kaba) dan jangan terus berfantasi tentang sesuatu yang mustahil kita raih (ngudag-ngudag kalangkang heulang, ngeunah eon teu ngeunah ehe, ngajul bentang ku asiwung, piit ngendek-ngendek pasir). 

Ketika peran-peran seperti itu tidak dimainkan dan mandala dikelola asal-asalan atau ditransaksikan untuk kepentingan politik jangka pendek, maka kehancuran tatanan sosial tinggal menunggu waktu. Dan pada akhirnya dapat dipastikan buana pancatengah yang sedang kita tempati takdirnya ngarangrangan. Semua bermula dari situasi “robohnya mandala kami.” 

Tanda tangan Tuhan
Tentu saja marwah (ajen inajen) mandala ini dalam kearifan lokal dihubungkan dengan asal usul riwayat yang mentahbiskan “tanda tangan” Tuhan di tempat itu. Nilai-nilai ilahiah terpancar dari jejak-jejak ini. Ormas NU didirikan dengan bismi rabbik, tujuan luhur menjaga tradisi dan membangun visi yang agung (almuhafadzah alal qadim al-ashlah wal akhdzu bi jadi al-ashlah). Maka prinsip-prinsip dasar yang diketengahkan adalah semangat membangun “kebaikan bersama” dan untuk semua, tidak partisan dan lapang dada. Sebut saja pertama, tawassuth dan i’tidal (pertengahan dan bersikap adil dalam berbagai hal termasuk dalam politik); kedua, tasamuh (toleran terhadap berbagai pandangan baik dalam masalah keagamaan, kebudayaan atau kenegaraan); ketiga, tawazun (seimbang antara dunia dan akhirat ); keempat, amar ma’ruf nahi munkar (melakukan kontrol sosial dengan senentiasa menjunjung kemanusiaan dan kemuliaan hidup). 

Kembalinya NU ke khittah 1926 adalah semacam upaya mengaktifkan kembali ingatan bahwa kelahiran NU adalah dari rahim masyarakat dan kemanfaatannya hanrus dikembalikan lagi kepada masyarakat. Persoalan politik praktis hanya serpihan saja. Khittah memberikan kesempatan membaca NU dalam garis bismi rabbik, garis keikhlasan, keilahian dan prinsi-prinsip universal NU itu.
Dalam pemahaman masyarakat Kanekes (Baduy), seperti penelitian Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda (1986) bagaimana mandala Parahiyangan yang berlokasi di Hutan Larangan pada hulu Ciparahiyang bertemali erat dengan mitologi yang sangat luhur. Konon di Kanekes, Batara Cikal, salah seorang dari tujuh batara diturunkan. Batara Cikal ini meneteskan para dalem yaitu Sanghiyang Dalem Janggala, Sanghiyang Dalem Patanjala (leluhur para puun di Cikeusik), Sanghiyang Dalem Lagoni (leluhur para puun Cikartawana), dan Sanghiyang Dalem Putih Sida Hurip (leluhur para puun Cibeo). Serupa Tuhan ketika menurunkan salah seorang malaikatnya di guha hira untuk menyuntikkan kesadaran iqra.

Ngindung ka Waktu
Kaidah al-Muahfadzah dan al-akhdzu atau ngindung ka waktu mibapa ka jaman menujukkan betapa para ulama benar-benar menamkan pentingnya  kesadaran terhadap “waktu”. Shalih li kulli zaman wa makan. Meminjam khazanah Sunda, ulah jadi NU anu sarubak jaman, tapi kudu jadi NU anu saampar jagat. NU yang bukan serba arkaik yang hanya bisa mentahbiskan kebesaran masa lalunya, namun menghadapi kegagapan ketika harus memberikan jawaban persoalan kiwari. Bukan hanya berhenti sebatas pendewaan terhadap “kaum pendiri”, namun bagaimana daya “kaum pendiri” itu terus dirawat dan dikontekstualisasikan dengan roh zaman. 

Kesadaran terhadap waktu (kamari, kiwari, dan supagi) yang akan memberikan rute kepada jamaah dan jam'iyyah NU agar sampai kepada tujuan. Rute yang diterakannya sangat terang: rekonstruksi (masa lalu), konstruksi (sekarang), dan proyeksi (masa depan) sebagai rawayan mencapai khittah NU dan hakikat hidup  seperti diajarkan dalam Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (SSKK-1518 M), Sewaka Darma (abad ke 17 M), Naskah Ciburuy (abad 17 M), dan Prasasti Kawali 7 dan 8 (Abad 13-14 M). 

Bukankah dahulu perdebatan filsuf Yunani mengenai waktu itu pada gilirannya juga mempengaruhi refleksi filosofis para filsuf Muslim pada abad pertengahan. Sebut saja wacana waktu yang diusung Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Razi, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina dan Ibnu Arabi (Badawi, 1965). Pernah pada masanya al-Ghazali dengan telak dalam Tahafut al-Falasifah (Kekeliruan para Filsuf) mengkritik tentang keabadian waktu yang kemudian kritiknya ini dijawab balik dengan argumentasi kokoh oleh Ibn Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut (Kelirunya Orang-orang Yang keliru). 

Di kalangan saintifis kita membaca polemik antara kelompok yang menyebut waktu sebagai yang absolut dan yang mengatakan waktu sebagai yang relatif. Isaac Newton menganggap waktu (dan ruang) sebagai kuantitas independen sementara Einstein menyebut ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam pertalian antara benda-benda yang diukur dengan metode tertentu.

Orang Sunda malah punya konsepsi waktu yang sangat detail. Sebut misalnya sariak layung (17.00), surup (pukul 18.00), sandekala atau sareupna (antara pukul 17.00-18.00), harieum beunget (pukul 19.00), sareureuh budak (pukul 20.00), tumoke (21.00), sareureuh kolot (pukul 22.00), indung peuting (pukul 23.00), tengah peuting (pukul 00.00), tumorek (pukul 01.00), janari leutik (pukul 02.00), janari gede (pukul 03.00), balebat (pukul 05.00), carangcang tihang (pukul 06.00), meletek panonpoe (pukul 07.00), ngaluluh taneuh (pukul 08.00), hanuet moyan (pukul 09.00), rumangsang (pukul 10.00), pecat sawed (pukul 11.00) tengah poe (pukul 12 siang), panonpoe lingsir ngulon (pukul 1 siang), kalangkung satungtung (pukul 14.00), tunggang gunung (pukul 16.00).

Orang yang tidak memiliki kesadaran waktu bukan hanya patut dipersoalkan makna kehadirannya, namun bisa jadi dia sudah berada di luar kategori normal. Hanya ormas dan orang gila yang tidak sadar hakikat keberadaan waktu. Atau minimal sedang ditimpa penyakit lupa. 

Hakikat ke-NU-an adalah pembebasan dari “lupa”, agar terhindar dari sekapan pelapukan eksistensial-kemanusiaan.“Hakikat jihad adalah gelora tanpa batas melawan lupa”. Kata Milan Kundera, penyair Cekoslovakia, dalam The Book of Laughter Forgetting.


Penulis adalah Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat


Terkait