Opini

Paten Jadi Pewarta Kompeten: Lika-Liku Ikut UKW

Jumat, 10 Mei 2024 | 13:30 WIB

Paten Jadi Pewarta Kompeten: Lika-Liku Ikut UKW

Salah satu momen Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Dewan Pers pada 25-27 April 2024 di Hotel Sultan Jakarta. (Foto: NU Online/Syakir)

Menjadi wartawan kompeten yang tersertifikasi Dewan Pers tidak pernah ada dalam bayangan saya sebagai Syakir NF di masa kecil. Sampai pun sudah duduk di bangku kuliah, saya tak pernah membayangkan dan mencita-citakan hal tersebut. Namun, anugerah itu tiba di usiaku yang menginjak 28 tahun sebagai wartawan NU Online.


Selama 2x12 jam, saya diuji dengan 11 mata ujian yang cukup menantang. Meskipun kesebelasnya sudah biasa dilakukan, tetapi ketika hal tersebut dihadapkan dengan penguji, dinilai, diperhatikannya secara detail, tentu memberikan tekanan tersendiri.

 

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tersebut dilaksanakan Dewan Pers pada 26-27 April 2024 di Hotel Sultan Jakarta dengan menggandeng sejumlah lembaga uji, yakni LUKW Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Kompas, Pewarta Foto Indonesia (PFI), MNC, dan ANTV. Peserta yang berjumlah 162 orang wartawan itu sebelumnya mengikuti pra-UKW pada 25 April 2024 di hotel yang sama.

 

Penguji saya, Lahyanto Nadie, merupakan wartawan senior yang juga aktif di dunia akademik, juga seorang budayawan. Pengetahuannya bukan saja dalam ranah praktis, tetapi juga teoritikal yang sangat kuat.


Sebagai seorang editor, ia tentu sangat memperhatikan detail. Hal-hal yang mungkin dianggap kecil dan tersepelekan tak bisa luput dari pandangannya. Rancangan anggaran dalam perencanaan liputan, misalnya, yang alpa dalam catatan seluruh peserta uji, termasuk saya, menjadi masukan penting bagi saya, khususnya, sekaligus minus penilaian.


Waktu yang terbatas juga menjadi hal yang sangat menuntut ketelitian kita sebagai peserta uji. Saya tak bisa dengan seenaknya menunda-nunda tugas yang diberikan. Dalam mata uji konferensi pers dan wawancara cegat, misalnya, yang menuntut kecepatan dan daya tarik sudut pandang, menjadi hal penting. Untungnya, saya bukan hanya lolos dari mata uji ini, tetapi juga mendapat pujian darinya.

 

Hal yang sama juga dalam mata uji relasi yang menuntut peserta untuk menghubungi tiga narasumber di hadapan penguji secara langsung. Sebelumnya, peserta wajib menyetorkan 25 narasumber yang hendak dikontak. Ujian ini menjadi bukti bahwa kita bukan saja memiliki relasi yang cukup sebagai wartawan, tetapi juga menunjukkan hubungan antara wartawan dan narasumber itu sendiri yang tampak dalam pembicaraan.


Ujian ini dirangkaikan dengan rapat redaksi, menindaklanjuti rencana peliputan yang sudah disiapkan sebelumnya. Saat itu, saya menyiapkan pemberitaan mengenai pinjaman online (pinjol) sebagai dampak stabilitas ekonomi yang menyangkut mayoritas pemuda.

 

Karenanya, saya menghubungi Deputi Kementerian Pemuda dan Olaharga, Prof Asrorun Niam Sholeh, Ketua Umum Pengurus Besar PMII M. Abdullah Syukri, dan Ahli Ekonomi IPB. Namun, narasumber terakhir belum dapat dihubungi karena sedang ada kegiatan. Saya pun mengalihkan ke Guru Besar Syariah UIN Jakarta. Ia juga tidak dapat mengangkat telepon saya karena tengah rapat di luar kota.


Penguji menuntut tiga narasumber dalam berita yang direncanakan. Ia pun meminta satu narasumber lagi untuk dihubungi dalam liputan tersebut. Ia tidak meminta para pejabat. Mereka tidak mesti menjadi narasumber utama.

 

Dalam hal ini, menurutnya, narasumber utama adalah pelaku atau korban itu sendiri. Akhirnya, saya mencari korban pinjol dan terhubung dengan rekan dari adik saya yang pernah terjerat kasus tersebut gegara meminjamkan identitasnya untuk utang rekannya. Ia pun harus menanggung semuanya.

 
Penguji dan peserta berfoto bareng usai menyelesaikan UKW, Sabtu (27/4/2024) di Hotel Sultan Jakarta. (Foto: dokumen pribadi)
 

Dari wawancara ketiga narasumber itu, saya menulis satu liputan dengan judul Niat Menolong Malah Bikin Kantong Bolong. Hal ini juga mendapat pujian penguji sehingga diganjar nilai 80 yang baginya itu menjadi nilai tertinggi. Nilai minimal kelulusan ini adalah 70 sehingga kalau salah satu mata uji dinilai kurang dari 70 dianggap tidak kompeten.


Nilai pun diketahui oleh peserta uji secara langsung. Saya diminta menandatangani lembar penilaian setelah penguji mencantumkan angka penilaian. Kita pun sebagai peserta memberikan penilaian terhadap penguji. Sebab, di situ, penguji tidak hanya bertugas memberikan nilai, tetapi juga masukan dan catatan atas ujian yang telah berlangsung sehingga banyak pengembangan yang diperoleh.


Hal lain yang cukup mencuri perhatian peserta uji adalah pengetahuan dan penerapan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan berbagai produk hukum Dewan Pers, terutama terkait pedoman pemberitaan ramah anak dan disabilitas, serta Kode Etik Jurnalistik.

 

Terkait ini, meskipun saya tidak sepenuhnya menguasai, paling tidak ada pengalaman yang bisa saya ceritakan ketika ujian itu berlangsung. Barangkali, hal tersebutlah yang mendongkrak nilai ujian saya.

 
Muhammad Syakir NF usai menyelesaikan UKW, Sabtu (27/4/2024) di Hotel Sultan Jakarta. (Foto: dokumen pribadi)
 

Saat itu, saya ditanya perihal hak jawab, embargo, dan off the record. Menjawab pertanyaan itu, saya cerita pernah meliput sebuah diskusi Wantimpres. Namun, stafnya meminta saya agar tidak mempublikasikan hasil diskusi tersebut mengingat hal tersebut menjadi dokumen negara yang hendak diserahkan kepada presiden.

 

Sebagai wartawan, saya tidak kehilangan akal untuk mendapatkan informasi tersebut. Karenanya, saya menghubungi narasumber melalui emailnya. Kami pun bertemu di waktu dan tempat berbeda untuk membicarakan tema yang sama.


Ala kulli hal, akhirnya, saya dan empat rekan lainnya dari NU Online berhak menyandang wartawan kompeten. Hal ini menjadi modal penting kami untuk memperluas jangkauan dan mengembangkan kualitas kami sebagai pewarta, serta dalam menyajikan berita bagi para pembaca, khususnya Nahdliyin di manapun berada.

 

Muhammad Syakir Niamillah Fiza, Redaktur NU Online