Opini

Pembenahan Sistem Pangan Nasional

Sabtu, 6 Agustus 2011 | 14:37 WIB

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz

Memasuki Ramadlan 1432H kali ini, untuk ke sekian kalinya mengundang keprihatinan PBNU dan seluruh jajarannya dengan realitas menahun bahwa: setiap kali kaum muslimin memasuki bulan suci Ramadlan yang seharusnya terjaga kekhusukannya, justru terusik ketenangan ibadahnya karena terjadinya ektremitas larang pangan. Gejolak ini sepertinya telah menggeser pemaknaan bahwa Ramadlan adalah larang pangan. Semua harga pangan utama memang naik mencolok dan menyulitkan kehidupan peribadatan. Secara teknis memang kenaikan harga itu lumrah terjadi karena meningkatnya kebutuhan. Pertanyaan besarnya: dalam kondisi seperti ini dimanakah peran dan kehadiran Negara bagi muslimin?

Perjalanan Negara dalam pelayanan publik telah dibingkai dengan beragam kaidah SPM, Standar Pelayanan Minimin, dan dilembagakan melalui beragam BLU. Ketahanan pangan nasional juga telah dikelola melalui keberadaan beberapa otoritas pangan Nasional. Tetapi, fakta lapangan mengesankan bahwa Negara atau tepatnya Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu ke-II sepertinya abai dan tidak peduli dengan kepentingan mayoritas warga bangsa yang berkepentingan menjaga kekhusukan ibadah Puasa Ramadlan. Harga pasar beberapa komoditas pangan terpenting justru semakin tidak terjangkau publik.
<>
Fakta Lapangan
Realitasnya, nyaris keseluruhan harga komoditas pangan utama yang dibutuhkan oleh mereka yang berpuasa telah menari semakin tinggi sepanjang hari-hari terakhir ini.  Lihat saja beberapa komoditas utama, nyaris semuanya berubah harga.  Telur ayam sudah naik dari 14 menjadi 17 ribu per kilogram, ayam pun sudah ikut melompat dengan kenaikan harga 3-4 ribu rupiah per kilogram. Daging sapi juga sudah lari terbirit tidak terbeli. Begitu pula kacang tanah, gula putih, gula merah, dan aneka komoditas pangan lainnya yang tidak pernah mau ketinggalan, termasuk beras.


Beras, meski disebutkan terakhir, merupakan komoditas paling menarik karena sifatnya sebagai pangan pokok utama dan posisinya sebagai penyangga tegaknya Puasa Ramadlan. Sayangnya, pengelolaan komoditas paling stratgeis ini dari waktu ke waktu tidak pernah seksama. Surplus produksi 2010 sebesar 3,9 juta ton beras, justru dibalas dengan import 2 juta ton. Akumulasi surplus 2011 yang mencapai 11.9 juta ton, termasuk 6 juta ton surplus produksi 2011 menurut ARAM-II BPS, telah dijawab pula dengan rencana impor. Tentu dasarnya adalah data dan angka ramalan, ARAM BPS yang diakui memiliki legitimasi.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Fakta lebih lanjut dalam perberasan nasional, ketika ARAM yang diakui kebenaran atau legalitasnya menghadapi gejala kenaikan harga beras semenjak awal Juli 2011, KIB-II kemudian memutuskan akan memperkuat cadangan pangan melalui importasi. Tidak sulit untuk menemukan kritik Jama’ah Nahdliyin pada tingkat akar rumput yang senantiasa mempertanyakan keputusan reaktif KIB untuk importasi karena hal itu sekaligus bermakna ancaman bagi kehidupan mayoritas Nahdliyin sebagai pelaku utama usahatani padi.


Benar adanya bahwa kelompok pelaku usahatani ini senantiasa menolak kebijakan pangan murah KIB-II yang selalu memurah-murahkan harga pangan, dan menginginkan harga mahal yang memberikan keuntungan bagi keberlanjutan dan keuntungan usahatani padinya. Mereka bahkan telah lama menuntut dinaikkannya HPP, Harga Pembelian Pemerintah menurut Inpres 7/2009 yang teramat rendah dan kedaluarsa itu.   Akan tetapi, tuntutan kemahalan adalah tuntutan kewajaran, bukan kemahalan spekulatif seperti sekarang. Realitas merisaukan berbau spekulatif ini bukanlah kemahalan harapan petani.

Kinerja Pangadaan Dalam Negeri
Kritik Nahdliyin yang tidak kalah pentingnya dalam perberasan adalah mandulnya kinerja pengadaan Dalam Negeri (ADA-DN). Lambannya BULOG memenuhi cadangannya melalui ADA-DN adalah sumber malapetaka perberasan. Sementara, berbagai alasan menjadi basis apologi BULOG. Keberadaan surplus yang tidak jelas menjadi alasan yang dibesar-besarkan BULOG bagi terbatasnya ADA-DN dan KIB-II pun mendukung untuk perbesaran cadangan melalui impor. Besaran HPP menurut Inpres 7/2009 sering pula menjadi alasan terbatasnya ADA-DN karena harga pasar yang jauh lebih tinggi dari HPP. ‘Haram hukumnya membeli lebih tinggi dari HPP’. Begitu kira-kira dalih para pembesar.


Celakanya, ketika pembelian lebih mahal dari HPP itu tidak lagi diharamkan sebagaimana diamanatkan oleh Inpres 8/2011, ADA-DN tetap saja tidak pernah beranjak dari sekitar angka 40% dari targetnya, meski sudah memasuki bulan ke-empat semenjak inpres tersebut diundangkan 15 April 2011. Lebih mengejutkan lagi bahwa keterbatasan mencapai prognosa pengadaan justru dihibur dengan rencana importasi.

Ketersesatan Importasi
Importasi memang kegiatan lumrah dalam tataniaga. Akan tetapi untuk sebutir beras, mustinya keputusannya tidak boleh semata berbasis ekonomis belaka, apalagi finansial dengan memandang lebih murahnya import. Prinsip ini sungguh sangat menyesatkan, karena dalam sebutir beras terdapat pula berbagai urusan politik, kedaulatan, keadilan, hak azasi manusia, budaya, dan bahkan sampai spiritual bagi mereka yang sedang berpuasa.


Ketersesatan ini niscaya lebih terasa lagi ketika dunia sedang menghadapi beragam ancaman keterbatasan pangan global. Pertama, naiknya kepentingan menjaga keberlanjutan pangan negara manapun cenderung menuntut menguatnya level proteksi petani dan pertanian domestik dengan harga petani yang lebih mahal yang ditujukan terutama untuk menjaga gairah produksi dan keberlanjutan domestik. Hal ini sudah dimainkan oleh Thailand dengan berasnya, Rusia dengan terigunya, Amerika, Australia dan beberapa negara Eropa dengan ternak sapinya, serta Jepang dengan berasnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Kedua, perubahan iklim telah merubah peta produksi dan distribusi. Pengamanan internal setiap negara pasti akan menjadi tendensi, dan pada gilirannya teramat berpengaruh terhadap eksportasi dan ketersediaan pada pasar pangan global. Ketiga, konflik peruntukan produk pertanian untuk pangan-pakan-enersi merupakan tekanan kuat pada pasar pangan global dalam ketidakpastian harga BBM. Dan keempat: semakin langkanya pangan dunia akan melahirkan kecenderungan protektif dan pengamanan pangan internal. Perang pangan sudah mulai. China dan India dalam penguatan cadangan multiyears adalah contohnya. Semua itu mendorong setiap negara untuk makin protektif dan pelit eksport demi internal safety first, demi kedaulatan pangan (food sovereignty) dan kedaulatan negaranya.

Reorientasi Segera
Sudah waktunya PBNU mengingatkan KIB-II bahwa kasus beras adalah hidayah nyata akan perlunya benah segera kebijakan pangan nasional untuk menjamin keberlanjutan neraca pangan domestik. Orientasi harga wajar harus diupayakan berbasis kesetimbangan domestik bukan berbasis import. Bahwa daya beli rakyat terbatas, tentu perlu pemikiran. Solusinya bukan dengan membunuh petani melalui memurah-murahkan harga beras berbasis import. Tetapi menaikkan daya beli publik dan meningkatkan produksi domestik secara konsisten. Inilah kedaulatan pangan dan sekaligus kedaulatan NKRI.


Orientasi importasi semestinya tidak diteruskan karena faktanya: beras dan pangan lain harga dunianya akan membubung terus. Fungsi BULOG dengan demikian harus segera dibenahi untuk tidak mengarah pada impart-import melulu. Hobi import ini menyesatkan.  Benah BULOG mengarah kepada internal food balancing, mengatur kesetimbangan domestik, dengan memasukkan diversikasi, bukan ketahanan pangan berbasis import.


Pilihannya memang tidak mudah. Import atau tidak, dengan segala konsekuensinya. Yang tidak bisa ditawar adalah cenderung makin susah dan mahalnya import. Itupun masih pula harus membunuh petani produsen, majoritas warga Nahdliyin RI. Karenanya, hobbi import sepantasnya diakhiri bertahap. Kecuali menyesatkan, hobbi ini sekaligus menggadaikan kedaulatan NKRI. Urusan NKRI tentu adalah perhatian utama PBNU selama ini.


Gangguan apapun terhadap kedaulatan NKRI dan kekhusukan keberagamaan kaum nahdliyin dalam beribadah adalah dua kepentingan yang tidak pernah terlepas dari perhatian utama NU semenjak berdirinya 85 tahun silam. Insya Allah.

Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Terkait