Opini

Pemikiran Gus Dur adalah Telaga Tak Bertepi: Catatan Seorang Tionghoa dari Generasi Z

Rabu, 28 Desember 2022 | 06:00 WIB

Pemikiran Gus Dur adalah Telaga Tak Bertepi: Catatan Seorang Tionghoa dari Generasi Z

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sosok kiai, humanis, humoris, dan pahlawan yang pertama kali merangkul orang-orang peranakan Tionghoa yang sejak RI merdeka tidak dianggap “orang Indonesia”. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Saya berjumpa pertama kali dengan Gus Dur sebagai pribadi yang hidup persis di hari ia wafat, 30 Desember 2009. Sebagaimana galibnya agenda akhir tahun sebelum Engkong wafat, ketiga saudara Papa saya berkumpul dan membawa keluarga masing-masing di rumah Engkong di Setiabudi, Jakarta Selatan. Papa, yang berumah paling dekat dari dua saudaranya, datang terakhir sesudah ia merampungkan pekerjaan di kantor. 


Rencananya, kami berkumpul tanggal 30 sore, kemudian pagi hari tanggal 31 akan masak bersama untuk malam pergantian tahun 2010, dan tanggal 1 bisa pulang ke rumah masing-masing. Dengan rencana itu, berangkatlah Papa, Mama, dan saya—yang saat itu berusia 6,5 tahun—menjelang magrib.


Dari ujung jalan rumah Engkong, mobil kedua Engku (paman muda) sudah parkir di depan pagar. Saya membantu Papa menurunkan dus camilan. Omah menyambut kami, membawa masuk lewat pintu samping, dan saya naik ke kamar lantai atas. Roti yang saya santap sebelum berangkat masih mengganjal perut. Alhasil, saya hanya berbaring-baring dan membaca komik Agen Polisi 212 yang dibawa dari rumah. Karena tidak betah sendirian, saya turun ke bawah dan melihat semua anggota keluarga, kecuali dua adik sepupu yang masih balita, menonton televisi di ruang tengah. Hanya televisi yang berbunyi dan semua perhatian mengarah ke sana. 


Dari mata anak kelas 1 SD, saya membaca headline televisi: “Gus Dur Meninggal Dunia”. Satu pertanyaan yang hampir keluar dari mulut saya hanyalah, “Ini siapa?” Saya tidak pernah tahu, apalagi mengenal nama itu sebelumnya. Tapi saya melihat mata Engkong berkaca-kaca dan beberapa kali menyeka matanya dengan sapu tangan. Tidak lama, Engkong masuk kamar. Hanya Omah dan Papa, Engku, Encek, serta para tante yang terus mengobrol dengan melihat siaran sekali-sekali. Dari pendengaran saya, nama Gus Dur sepertinya jadi tema obrolan malam itu.


Keesokan paginya, rencana masak-masak kami batal. Engkong, yang biasanya paling heboh dan bangun paling pagi, murung dan tak mau keluar kamar sampai jam makan siang. Ketika Omah meminta saya ke kamar Engkong untuk mengajaknya makan siang, saya melihat Engkong membolak-balik sebuah map besar dan kertas-kertas yang menguning. Saya tidak tahu apa yang ia lihat, tetapi sesekali ia masih menyeka mata.


Belakangan, sesudah ia terserang stroke dan map itu dipindah ke rumah kami, barulah saya tahu itu adalah “museum” pribadi yang disimpan Engkong, khusus untuk saya dan sepupu-sepupu. Macam-macam isi map ini: akte kelahiran “Golongan Tionghoa” tahun 1948 dan 1951, surat pernyataan bebas G30S/PKI, surat pernyataan “melepas kewarganegaraan RRT” dari tahun 1961, surat ganti nama tahun 1967, dan tentu tujuh lembar dokumen sakti “Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia” alias SBKRI milik Engkong, juga istri dan kakak-adiknya. Surat-surat ini di kemudian hari saya sadari sebagai arsip yang ingin Engkong tunjukkan pada kami sebagai pengingat bahwa pada suatu masa kami pernah dianggap orang asing di tanah kelahiran sendiri. 


Kami merayakan tahun baru 2010 tanpa kemeriahan dan ini semua gara-gara Gus Dur, orang yang baru meninggal dunia, tetapi begitu hidup dalam ingatan keluarga Cina Betawi seperti kami. Kejadian itu tertahan lama di kepala saya, sebelum saya benar-benar mengenal Gus Dur tiga tahun kemudian: Presiden keempat, kiai, humanis, humoris, dan pahlawan yang pertama kali merangkul orang-orang peranakan Tionghoa yang sejak Indonesia merdeka tidak dianggap “orang Indonesia”. Secara anekdotal, tidak sekali saya mendengar Engkong menggumam, “Kalau bukan lantaran Gus Dur, kagak mau gua ngibarin merah putih saban 17 Agustus!”


“Perkenalan” lewat Greg Barton

Pak Anton, guru pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) saya di kelas 4, adalah orang yang pertama kali meminjamkan saya buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton terbitan LKiS Yogyakarta tahun 2003. Dia merekomendasikan buku itu karena mutu isinya dan pembawaannya tidak berat untuk bacaan anak kelas 4 SD. Inilah “perkenalan” pertama saya dengan Gus Dur sesudah mengalami “perjumpaan” pertama pada 30 Desember malam itu. Lewat biografi yang cukup tebal itu, saya dapat melihat pribadi yang tumbuh di dua dunia: dunia pesantren yang preskriptif dan dunia intelektual yang kosmopolitan atau, dalam istilah Barton, “antara Jombang, Jakarta, Kairo, dan Baghdad”.

Pengalaman tumbuh dan berkembang sama baiknya di dua dunia itu menjadi pemicu bagi Gus Dur untuk mempertemukan keduanya dalam perjumpaan dialogis tanpa maksud membanding-bandingkan, apalagi memperhadapkan satu sama lain. Tidak mengherankan bahwa dia—cucu Hadratussyekh pendiri Nahdlatul Ulama dan anak sulung Menteri Agama di dua kabinet—mempunyai jejaring di mana-mana, membaca buku tanpa batas, dan bersedia merangkul orang-orang dari spektrum politik kiri ujung sampai kanan mentok, serta karib dengan mereka yang memiliki status sosial ekonomi dari paling atas sampai terbawah. 


Barangkali Gus Dur menjadi tokoh Indonesia paling awal yang saya idolakan—terutama karena Papa terlebih dulu menyuplai saya dengan bacaan tentang sejarah revolusi Amerika Serikat, revolusi Prancis, dan dongeng Raja Arthur. Sekaligus juga saya mengenal Islam sebagai sebuah keyakinan maupun sebagai suatu semesta budaya dengan mengenal Gus Dur dan menikmati perjalanan hidupnya yang berwarna.
 

Menyelami telaga pemikiran Gus Dur

Perkenalan saya dengan semesta Gus Dur kelak menjadi tongkat yang turut menuntun saya keluar dengan selamat dari krisis identitas menjelang pubertas di usia 13-14 tahun. Sekitar 2016 dan 2017 adalah tahun-tahun yang membuat saya frustrasi. Bukan hanya karena perubahan hormon dalam diri yang terjadi secara alamiah, tetapi juga lantaran perubahan politik dengan bangkitnya kelompok Islam-populis-iliberal yang menamakan diri “Aksi Bela Islam 212” yang melancarkan demonstrasi dengan tuntutan yang—bagi saya waktu itu dan sampai hari ini—amat tidak rasional. Fragmentasi tercipta, diikuti perkubuan yang serba beracun.


Istilah “cebong-kampret” bertebaran di media sosial. Ada tendensi kecurigaan pada orang-orang Islam yang sampai batas tertentu menunjukkan religiusitasnya secara performatif. Intervensi agama ke domain politik praktis menjadi bahan bakar meraih dukungan elektoral dengan identitas yang dinomorsatukan. Barangkali saya dan generasi sebaya menjadi satu-satunya generasi dalam sejarah Indonesia yang menguak kesadaran politik di awal usia remaja kami dengan pertama-tama berurusan dengan remah-remah “cebong”, “kadrun”, dan “kampret” yang mengotori ranah publik dan menciptakan ambivalensi. Di satu sisi, remah-remah itu menumbuhkan antipati sangat mendalam terhadap politik identitas, sementara di sisi lain, ia memicu skeptisisme tentang retorika kemajemukan yang terbukti gagal menangkal arus politik di akar rumput. Jika mengingat masa-masa itu dan dampaknya terhadap karakter politik Indonesia saat ini, sulit bagi saya untuk menahan perasaan gusar dan kecewa. 


Dalam keadaan itu, saya kembali bertemu Gus Dur. Tidak dari biografinya, tetapi dari bunga rampai tulisannya: Melawan Melalui Lelucon (2000) yang memuat kolom-kolom di majalah Tempo dan Prisma Pemikiran Gus Dur (1999) yang memuat artikel-artikelnya di jurnal Prisma. Kedua buku itu, tanpa melebih-lebihkan, menyelamatkan saya dari rasa frustrasi yang melunturkan kepercayaan saya akan masa depan Indonesia. Jika mengingat pengalaman membaca dua buku itu, saya mengenang Gus Dur sebagai telaga pemikiran di mana saya berenang-renang dan berkecipak menikmati air yang tenang, sejuk, tetapi tidak berarti dangkal.


Olah pikiran Gus Dur dalam Melawan Melalui Lelucon dirumuskan oleh Syu’bah Asa pada pengantar buku ini dalam satu kata: amot. Dalam bahasa Jawa, berarti muat. Pas. Tidak berlebihan dan tidak berpretensi mereduksi fakta. Komentar-komentar Gus Dur terhadap beragam fenomena sosial (dari “Islam kaset”, rombongan ibu-ibu pengajian, nasionalisme Arab, terjemahan Al-Qur’an H.B. Jassin, fatwa Natal, sampai Piala Dunia) tidak disampaikan dalam posisi seorang ahli, yang memahami lanskap kejadian dari depan ke belakang, tetapi sebagai seorang penonton yang mampu menangkap gejala kegelisahan dalam setiap peristiwa itu. Ia membahasakannya dalam kolom ringan yang tidak selalu mendalam, namun jelas tidak membuang waktu orang karena membaca rangkaian omong kosong. Di kemudian hari, teknik retorika Gus Dur untuk memadatkan kalimat sedemikian rupa dan membahasakan fenomena kompleks dengan ungkapan yang sederhana amat membantu saya belajar menulis esai.


Sementara kolom-kolom Melawan Melalui Lelucon mengomentari potret sosial yang aktual, Prisma Pemikiran Gus Dur menghadirkan pergulatan Gus Dur tentang interseksi negara, agama, kebangsaan, dan ideologi. Artikel-artikel Gus Dur di Prisma cenderung menunjukkan kegelisahan tersirat tentang praktik intervensi negara dan penetrasi “asas tunggal” dalam semesta hidup beragama. Alih-alih berupaya mengambil sikap arif dan memberi ruang gerak yang leluasa bagi organisasi keagamaan, negara (dan perangkat ideologi yang disandangnya) berusaha mendikte organisasi keagamaan agar menjadi semacam miniatur yang diberi ornamen religius. Tentu saja, konteks sejarah kediktatoran Orde Baru tidak dapat dilepaskan untuk membaca artikel-artikel Gus Dur dalam Prisma.


Aktualitas mungkin bisa berubah karena perubahan konteks, tetapi tidak berarti relevansinya berkurang. Saat saya membaca bunga rampai ini di tengah kebangkitan politik populisme iliberal berbaju “gerakan Islam”, yang terlihat adalah persis kebalikan dari gambaran kejadian dalam artikel Gus Dur: usaha segelintir orang yang mengatasnamakan organisasi keagamaan untuk mendikte kehidupan bernegara agar sesuai dengan preferensi mereka, sehingga negara diposisikan sebagai instrumen mencapai tujuan agama yang terbatas dengan cara-cara politis. Perbedaan aktor dan konteks dalam rangka kejadian yang sama inilah yang meninggalkan kesan bagi saya, tentang kemampuan Gus Dur memandang permasalahan hingga jauh ke depan.


Waktu saya berenang-renang dan berkecipak di telaga pemikiran Gus Dur, tidak sekalipun saya terpikir mencari tepi telaga ini. Ia membiarkan saya terbawa sampai tengah, menikmati arus air yang nyaman dan menghanyutkan. Sebagai pahlawan, Gus Dur pernah membuat Engkong saya hanyut dalam kesedihan melepas kepergiannya. Sebagai pemikir dan cendekiawan, Gus Dur juga membiarkan saya hanyut dalam pemikirannya yang tak lekang. Apakah kenyataan ini menandakan pemikiran Gus Dur yang visioner, atau jangan-jangan karena bangsa yang ia pikirkan memang kepala batu dan tidak mau berubah?


Chris Wibisana, penulis dan mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI