Opini

Politik Kebangsaan Ulama

Kamis, 28 Maret 2019 | 13:30 WIB

Politik Kebangsaan Ulama

Ilustrasi (ist)

Oleh Fathoni Ahmad

Politik bukan dunia kelam bagi seorang ulama maupun hamba-hamba ‘alim lainnya. Politik bagi para ‘alim dan ulama merupakan ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan dan dijadikan washilah menyejahterakan rakyat lewat kepemimpinan. Para ulama mengembangkan ilmu pengetahuan politik lewat literatur fiqih siyasah, kaidah fiqih, dan sejarah Islam (tarikh).

Mereka dalam artian para ulama tidak melepaskan diri dari kaidah-kaidah hukum Islam, baik dalam melihat praksis politik maupun berkecimpung langsung dalam dunia politik. Ulama memikirkan kemaslahatan yang lebih luas dari hanya sekadar rebutan kekuasaan dalam ranah politik praktis. Kalau pun terjun langsung dalam ranah tersebut, idealisme politik para ulama tidak berubah dan tidak bergeser dari prinsip kebangsaan dan kerakyatan.

Dalam konteks Nahdlatul Ulama, jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah ini telah melepaskan diri dari percaturan politik praktis sejak 1984. NU pernah menjadi partai politik setelah keluar dari Masyumi pada 1950. Partai NU dideklarasikan pada 1952 dan mengikuti pemilu pertama kalinya pada 1955. Meskipun menjadi partai, NU tidak terlena dengan praktis politik. Peran-peran kebangsaan para ulama justru memberikan sumbangsih besar atas eksistensi negara hingga saat ini.

Produk pemikiran ulama NU seperti Indonesia sebagai Darul Islam (1936), pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyyul 'amri ad-dharuri bissyaukah (1954), hingga pembentukan Trikora sebagai solusi Papua Barat, merupakan bukti bahwa para kiai memegang peranan penting sebagai aktornya dan kaidah fikih sebagai senjatanya.

Sebuah kaidah fiqih berbunyi Al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana (hukum asal sesuatu adalah berlakunya kondisi sebelum terjadinya perubahan) yang awalnya dirumuskan guna menyelesaikan problem praduga tak bersalah dalam hukum Islam, di tangan para kiai, menjadi cara pandang visioner yang melegitimasi Indonesia sebagai Darul Islam.

Sikap tegas NU terkait darul Islam dibahas melalui Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ini menunjukkan bahwa ketegasan NU menolak darul Islam Kartosoewirjo mempunyai dasar, tidak dilakukan secara srampangan. Hal ini juga menggambarkan bahwa para ulama NU selalu mendasarkan diri dengan pijakan syariat. Apalagi konsep negara bangsa (nation state) Soekarno sama sekali tidak mengekang agama Islam sehingga negara bangsa merupakan perwujudan aspirasi Islam.

Salah seorang ulama NU, KH Achmad Siddiq (1926-1991) memberikan penjelasan terkait darul Islam yang dibahas dalam Muktamar NU 1936 di Banjarmasin. NU mengakui darul Islam karena di wilayah Nusantara pernah hidup kerajaan-kerajaan Islam. Namun, umat Islam saat itu hidup lestari dengan umat agama lain sehingga Islam adalah sistem nilai, bukan sistem negara.

KH Achmad Siddiq menegaskan, pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU 1936 tersebut. Kata darul Islam bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam) yang lebih tepat diterjemahkan wilayatul Islam (daerah Islam), bukan negara Islam. (Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011)

Hilmy Firdausy dalam Politik Maslahat Berlandaskan Kaidah Fiqih (2017) mencatat bahwa kaidah-kaidah fiqih pijakan para ulama pun bergerak, menyatu dan seringkali menjadi sarana pembentuk jalan tengah bagi persoalan-persoalan yang menyentuh isu kedaulatan, integritas politik, dan kesatuan bangsa Indonesia. Fakta sejarah yang paling jelas dari cara kerja kaidah fiqih dalam lokus perpolitikan di Indonesia juga bisa kita lihat dalam diri Gus Dur.

Dalam tulisan-tulisannya, sulit atau bahkan mustahil menemukan langsung kutipan-kutipan ayat al-Qur’an ataupun hadis. Yang banyak ditemukan justru kaidah-kaidah fiqih. Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah (kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kesejahteraan rakyat) adalah satu dari sekian banyak kaidah yang sering Gus Dur kutip. Melalui kaidah tersebut, Gus Dur mampu merumuskan relasi antara agama, negara dan kebudayaan. Melalui kaidah itu juga, Gus Dur rajin mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi kaum minor dan lain sebagainya.

Ketika duduk di kursi kepresidenan, jalan pedang perpolitikan Gus Dur banyak dinilai sebagai jalan politik kontroversial. Bagi kalangan yang tidak terbiasa dengan mekanisme kerja kaidah fiqih, sulit untuk memahami jalan pikiran dan strategi politik Gus Dur. Maka orang-orang ribut ketika di tahun 2000 Gus Dur setuju untuk menjadi anggota Simon Perez Foundation Israel di tengah konflik berkepanjangan Palestina-Israel.

Karena bagi Gus Dur, percuma berusaha mendamaikan kedua negara yang sedang konflik jika juru damainya menjadi musuh bagi salah satu dari keduanya. Jalan pikiran Gus Dur ini tidak berbeda misalnya ketika KH Wahab Chasbullah dengan Partai NU-nya selalu berada dalam kabinet bentukan Soekarno. Bahkan, konon Mbah Wahab banyak disindir sebagai Kiai Nasakom karena apapun kebijakan Soekarno, NU dipastikan ada.

Pergerakan Kiai Wahab dalam setiap percaturan dan pergolakan politik dinilai sebagai langkah Politik Jalan Tengah. Langkah politik ini tidak mudah dilakukan oleh siapa pun, karena bukan hanya membutuhkan langkah nyata, tetapi juga menuntut argumentasi memadai terkait persoalan yang terjadi. Tercatat, Kiai Wahab tak jarang berbeda pandangan dengan ulama dan kiai-kiai lain, baik kala memimpin Masyumi dan NU. Seperti saat para kiai menolak ajakan Hatta pada 1948 untuk duduk di kabinet dikarenakan Kabintet Hatta menyetujui Perjanjian Renville, sedangkan para kiai menolak hasil perjanian tersebut karena merugikan rakyat.

Bagi Kiai Wahab, dulu Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan perbuatan. Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama untuk melakasanakan misi tersebut (memahamkan pemerintah terkait buruknya Perjanjian Renville untuk Indonesia). Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya duduk di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. “Mungkin, bahkan dituduh sebagai pengacau,” tegas Kiai Wahab. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)

Begitu juga saat Kiai Wahab menerima konsep Nasakom Soekarno pada 1960. Ide Nasakom Soekarno terlihat jelas pada Amanat Presiden 17 Agustus 1960 yang kemudian terkenal dengan rumusan “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek). Menerima konsep Nasakom tidak mudah bagi partai Islam lain seperti Masyumi sehingga Kiai Wahab dituduh macam-macam, di antaranya dituduh tidak konsisten, oportunis, bahkan dituduh ‘Kiai Nasakom’ pada masaera Demokrasi Terpimpin Soekarno.

Dalam pandangan Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (2018), bagi pengkaji fiqih, strategi politik Kiai Wahab tidak salah karena berpijak pada prinsip fiqih yang fleksibel dan elastis. Fleksibel tidak dapat disamakan dengan oportunis. Fleksibel mampu masuk di berbagai ruang dengan tetap mempertahankan ideologi, sedangkan oportunis berpihak pada siapa pun asal diberi keuntungan materi. Sejak dahulu kala, bahkan saat NU menjadi partai, para kiai konsisten menjalankan politik kebangsaan dan politik kerakyatan dengan pijakan norma agama dan etika, bukan politik kekuasaan yang oportunis.

Ketika Bung Karno menyatukan kaum agama, nasionalis, dan komunis dalam bingkai Nasakom, Kiai Wahab mendukung konsep tersebut dengan cara bergabung dalam sistem pemerintahan. Komitmen Kiai Wahab dan ulama-ulama pesantren tidak berubah terhadap gerak-gerik PKI dengan komunismenya, yaitu tetap melawan dan menentang karena ideologi politik PKI bertentangan dengan prinsip Pancasila. Sebab itu, Kiai Wahab memilih bergabung dalam Nasakom bertujuan untuk mengawal kepemimpinan Bung Karno supaya perjalanan pemerintahan tetap bisa dikendalikan oleh NU sebagai perwakilan umat Islam dan tidak dimonopoli oleh PNI atau pun PKI.

Ditegaskan oleh Kiai Wahab, untuk mengubah kebijakan pemerintahan tidak bisa dengan berteriak-teriak di luar sistem, tetapi harus masuk ke dalam sistem. Kalau Cuma berteriak-teriak di luar, maka akan dituduh makar atau pemberontak. Prinsip dan kaidah yang dipegang oleh Kiai Wahab dalam tataran fiqih ialah, kemaslahatan bergabung dengan Nasakom lebih jelas dan kuat daripada menolak dan menjauhinya, taqdimul mashlahah ar-rajihah aula min taqdimil mashlahatil marjuhah (mendaulukan kemaslahatan yang sudah jelas lebih didahulukan dari kemaslahatan yang belum jelas). Karena jika tidak ada NU sebagai perwakilan Islam, PKI akan lebih leluasa mempengaruhi setiap kebijakan Soekarno.

Simpul jelas bisa ditarik dari dinamika politik ulama yang teguh dalam memegang prinsip kemaslahatan bangsa dan negara berdasarkan kaidah-kaidah fiqih. Para ulama memposisikan politik bukan sebagai ghayah (tujuan), tetapi sebagai washilah (perantara) mencapai tujuan baldatun thayibatun wa rabbun ghaffur, yaitu kondisi negeri yang subur dan makmur, adil dan aman di bawah rahmat dan ampunan Allah.


Penulis adalah Redaktur NU Online


Terkait