Opini

Puasa dan Tradisi Keilmuan Pesantren

Ahad, 26 Mei 2019 | 19:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Puasa tahun ini telah berlalu separuhnya. Bagi kalangan santri di berbagai pesantren akan merasa gembira karena liburan dan lebaran. Sebetulnya tidak hanya bagi para santri, tapi semua orang Islam. Namun, bagi santri, ada hal lain, mereka lulus menjalani penempaan diri dengan beragam pengajian selama Ramadhan. 

Dalam tradisi pesantren, pengajian Ramadhan disebut dengan pasaran, yaitu menamatkan sebuah atau beberapa kitab. Pada saat puasa, mereka bukan mengendorkan kegiatan, malah melipatgandakannya. 

Para santri, selepas sahur dan melaksanakan Shalat Subuh, ketika orang di luar pesantren berangkat kerja atau tidur, mereka mengaji kitab tertentu. Misalnya di Pondok Pesantren Al-Tsaqofah yang diasuh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, tahun ini, para santri mengaji kitab Burdah. 

Di pesantren lain, biasanya aktivitas mengaji dimulai pukul 08.00. durasinya hingga mendekati lohor. Kemudian selepas Shalat Dhuhur, mereka mengaji lagi. Ada yang sampai beduk asar. Kemudian mengaji lagi. Setelah berbuka puasa dan Shalat Maghrib, mereka melaksanakan Shalat Isya disusul Shalat Tarawih. Selepas itu, mereka bukan istirahat atau nongkrong di tepi jalan atau kafe, tapi mengaji lagi. Di sebagian pesantren, pengajian malam ini ada yang selesai hingga waktunya sahur. 

Mungkin bagi orang di luar pesantren padatnya kegiatan di pesantren dianggap mustahil. Namun, sebagaimana dialami penulis saat menimba ilmu di Pondok Pesantren Assalafiyah Nurul Hikmah, Sukabumi, hal itu merupakan rutinitas tiap tahun para santri. Terutama santri salafiyah. Bagi santri yang rajin, di sela istirahat malah digunakan untuk tadarus Al-Qur’an atau i’tikaf atau tahajud di malam hari. Waktu tidur hanya beberapa jam saja. 

Memang ada santri yang ndableg, misalnya tidur saat pengajian di majelis ta’lim atau absen. Namun yang jelas, selama Ramadhan, hampir tiap pesantren sarat dengan kegiatan keilmuan. 

Menjelang tanggal 25 puasa, biasanya pengajian hampir atau telah selesai. Para santri mengadakan acara khataman Al-Qur’an atau tasyakuran atas selesainya kajian kitab selama Ramadhan tersebut. 

Pasaran Fokus Kajian Pesantren
Bagi orang Sunda pada umumnya, makna pasaran hanya satu, yaitu keranda untuk usungan mayat ke kuburan. Bagi santri Sunda, kata itu memiliki makna kedua, yaitu pengajian kilat selama Ramadhan. 

Menurut Ensiklopedia NU, pasaran memiliki tiga hal perbedaan dengan ngaji lainnya. Pertama, dari sisi waktunya, pasaran terjadi pada bulan Ramadhan atau puasa. 

Kedua, dari sisi kecepatannya, mengaji pasaran dilakukan dengan cara cepat. Umumnya para kiai menamatkan satu kitab atau lebih selama bulan puasa. 

Ketiga, pasaran merupakan momentum bertemunya para santri dengan pesantren lain. Dalam tradisi pasaran, biasanya kiai membolehkan para santri mengaji di pesantren lain untuk mendalami satu cabang ilmu. Pada saat yang sama pesantren tersebut membuka diri kepada santri dari pesantren lain untuk mengaji di pesantrennya.

Terkait dengan yang ketiga ini, perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa pesantren memiliki 12 cabang ilmu yang terurai dalam berbagai kitab. Dari 12 cabang tersebut, ada sebagian pesantren yang dikenal ahli dalam satu atau dua cabang ilmu. Hal ini bukan berarti cabang ilmu lain tidak dikaji, melainkan fokus dalam cabang yang paling dikuasai atau disukai oleh kiai atau ajengannya.  

Di Jawa Barat misalnya, Pesantren Darul Hikam Sukabumi, terkenal dengan kajian ilmu manthiq dan falaqnya. Di Garut, yaitu di Pondok Pesantren Riyadul Alfiyah, terkenal dengan ilmu alatnya (ilmu nahwu dan sharaf). Di Cikole, Tasikmalaya, terkenal dengan kajian fiqihnya. Di Karawang terkenal dengan kajian tauhidnya. Di Siqoyaturrohmah, Sukabumi terkenal ilmu balaghahnya. 

Namun demikian, sekali lagi, pesantren-pesantren tersebut bukan berarti tidak mempelajari ilmu-ilmu lain dan tidak berarti tidak mengerti ilmu lain. Fokus di pesantren alat, misalnya, kiainya bukan tidak mengerti ilmu fiqih, tauhid, dan lain-lain, tapi mereka lebih fokus cabang ilmu yang digelutinya.     

Di Jawa Timur, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari misalnya terkenal sebagai ahli hadits, tapi ia bukan berarti tidak mengerti ilmu fiqih atau tauhid dan yang lainnya.

Pada zaman dahulu, ada kalanya seorang kiai “mengusir” seorang santri dari pesantrennya. Bukan karena santri itu melakukan kekeliruan berat, melainkan disuruh berguru kepada kiai lain yang fokus terhadap sebuah cabang ilmu tertentu.

Nah, pada bulan Ramadhan, pesantren-pesantren yang memiliki fokus terhadap satu cabang ilmu membuka pengajian umum yang terbuka dihadiri santri dari pesantren lain. Pada saat itulah terjadi pertukaran pengalaman, ilmu, tradisi, antarsantri dan antarpondok pesantren. Kemudian terjalinlah jejaring pesantren yang kuat hingga hari ini. 

Sebetulnya, selain ketiga yang disebut di Ensiklopedia NU di atas, ada satu lagi yang biasanya dicari para santri saat pasaran, ngalap berkah. Berkah inilah sebetulnya yang dicari agar ilmu yang selama ini dicari menjadi bermanfaat di masyarakat. 


Penulis adalah Nahdliyin yang tinggal di Bandung
 


Terkait