Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, inisiator R20, berjabat tangan dengan Sekjen MWL Syekh Muhamad bin Abdul Karim Al Issa. (Foto: themwl.org)
R20 atau Religion of Twenty 2022 adalah forum para pemimpin agama-agama dan sekte-sekte dengan peserta utama dari negara-negara anggota G20 dengan memanfaatkan posisi presidensi Indonesia tahun ini. Meski demikian, R20 juga mengundang para pemimpin agama dari negara lain di luar G20 sehingga total ada 32 negara. Jumlah peserta mencapai 464 undangan dan sebanyak 170 di antaranya dari luar negeri yang berasal dari lima
Peserta R20 adalah para pemimpin agama dan sekte yang di belakangnya berdiri para pengikut jutaan atau puluhan juta orang. Forum R20 didesain secara khas berbeda dengan pertemuan, seminar, atau konferensi internasiolnal lainnya. Para peserta akan mengekspresikan berbagai problem di dalam agama dalam menghadapi berbagai problem kemanusiaan global dan pemecahannya. Pope Francis akan mengirimkan pandangannya melalui rekaman video dari Vatican.
Sebagian dari problem-problem tersebut menjadi perhatian dan pokok pembicaraan dalam KTT G20 di Bali 15-16 November nanti. R20 yang akan diseleneggarakan pada 2-3 November mengambil tagline “Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solusions: an International Movement for Shared Moral and Spiritual Values.” Problem itu, di antaranya adalah kemiskinan, kesenjangan global, polarisasi sosial politik, serta bangkit dari keterpurukan pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukrania yang mengancam krisis energi dan pangan global.
Presiden Joko Widodo berperan signifikan terhadap terselenggarakannya R20 itu yang kini telah resmi menjadi official angagement G20. Sebagai official angagement G20, R20 akan diselenggarakan secara tersinambung sesuai dengan urutan presidensi G20, di India pada 2023 dan Brazil pada 2024 lalu Afrika Selatan pada 2025. Dalam perspektif kepemelukan agama maka R20 tahun ini diselenggarakan di negara yang sangat mayoritas Muslim yaitu Indonesia, tahun depan di negara sangat mayoritas Hindu, dan tahun depannya lagi di negara yang sangat mayoritas beragama Katolik.
Perubahan Global
Forum R20 ini pertama kali digagas oleh KH Yahya Cholil Staquf atau sering disapa Gus Yahya begitu dia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, di akhir Desember 2021. PBNU kemudian menggandeng Muslim World League atau Rabithah Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia sebagai co-host. Sebagian besar peserta forum ini telah terbangun sinergi dengan Gus Yahya sendiri dan PBNU sejak setidaknya 2017 dalam berbagai forum internasional tentang dialog antaragama dan kepercayaan.
Bagi Gus Yahya, kini saatnya agama harus ikut langsung dalam memecahkan berbagai masalah global dari gejala ketegangan, kekerasan, dan polarisasi hingga kemiskinan dan kesenjangan yang menghambat pemecahan krisis global. Tidak seperti selama ini agama ditempatkan di pinggiran dan hanya diminta legitimasi atas pandangan yang berasal dari luar agama. Dengan kata lain, agama dicegah untuk masuk di ruang publik dan dipinggirkan ke ruang privat.
Dalam berbagai analisis, publikasi, dan diplomasi internasional agama mulai dipandang tidak bisa lagi dicegah dari merangsek ke ruang publik dan bahkan kebijakan publik. Meskipun, secara akademik masih banyak yang pesimistis bahwa agama akan memberi andil bagi pemecahan tersebut. Sebagian mereka masih trauma dengan era Eropa abad pertengahan ketika agama berposisi sebagai pendukung kekuasaan atas penindasan dan perang antar agama yang berlarut.
Gus Yahya dengan gerakan R20 ini seperti meloncat ke depan melampaui gejala tersebut untuk mendorong gerakan agama ke ruang publik lebih dalam. Bagi Gus Yahya, R20 bukan hanya sebuah event melainkan gerakan yang berkesinambungan dan menyeluruh. Berbagai kisruh dunia, baginya, bukan hanya ada pada ruang publik melainkan justru pada agama itu sendiri. Menurutnya, agama selama ini tidak jujur terhadap dirinya bahwa di dalam agama ada problem mendasar yang luput dari pembahasan dan keterusterangan para pemimpin agama itu sendiri.
Problem yang dimaksud adalah doktrin tentang klaim kebenaran yang seringkali menolak untuk sharing dengan yang lain (the others). Klaim itulah, dalam pandangannya, yang setiap kali menyiram ketegangan, konflik dan polarisasi, juga kekerasan dan perang. Setiap terjadi ketengan dan krisis, agama muncul sebagai potensi laten penyiraman polarisasi dan ketegangan, kekerasan dan perang. Kini saatnya agama mengakui dengan jujur tentang keadaan dirinya itu dan menghapusnya sejauh mungkin.
Karena itu agama harus merefleksikan dirinya dan menyelesaikan masalah tersebut dengan melampaui doktrin-doktrin eksklusif dan kemudian membangun konsensus dan sharing nilai-nilai bersama. Tidak sebagaimana nilai-nilai universal dalam sekularisme dan liberalisme yang menuntut penyeragaman universal maka konsensus dan sharing nilai bersama keagamaan tetap menghormati tradisi dan keyakinan masing-masing.
Transformasi Agama
Mengutip KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pesiden Indonesia 1999-2001, yang juga ketua umum PBNU 1984-1999: jika agama hendak melakukan transformasi kepada masyarakat maka agama itu sendiri harus melakukan transformasi ke dalam dirinya terlebih dahulu sehingga terjadi tolak angsur antara nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai spiritual. Agama tidak bisa memaksakan idealismenya sendiri tanpa melakukan tolak angsur dengan realitas sosial. Demikian sebaliknya, realitas sosial tidak bisa memaksakan agama untuk hanya mengikuti kemauannya.
Transformasi yang dimaksud, bagi Gus Yahya, adalah dikikisnya doktrin agama dalam politik yang menjadi akar pembedaan, diskriminasi dan kekerasan kepada “the others”. Fiqh siyasah dalam Islam, misalnya, harus dibangun di atas kerangka kesetaraan manusia dan warga negara secara universal dalam konsensus dunia. Agama secara publik dan politik harus menegakkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan universal.
Penghapusan atas doktrin murtad dan kafir bagi setiap agama dalam kehidupan sosial politik, misalnya, harus berangkat dari kesadaran agama itu sendiri dan bukan hanya karena mengikuti pemaksaaan nilai-nilai uiversal sekularistik yang anti agama publik. Maka dalam forum R20 ini setiap pemimpin agama dan sekte yang hadir akan secara terpimpin menyampaikan gagasannya tentang nilai-nilai universalitas yang berbasis pada tradisi dan spiritualitas agama, tradisi dan warisan yang baik dan buruk untuk kemudian mentransformasi diri dari doktrin yang telah terbangun bertahun atau berabad sebelumnya.
Nahdlatul Ulama telah menunjukkan kepeloporannya untuk melarang umatnya menyebut kafir kepada the others non-Muslim melainkan kesetaraan sebagai manusia (al-insan) dan sebagai warga negara (al-muwathin). Keputusan demikian telah diambil oleh NU pada forum tertinggi kedua dalam NU, yaitu Musyawarah Alim Ulama Nasional 2019 di Banjar Patoman, Jawa Barat.
Dengan demikian, NU, dengan basis keilmuan dan metodologinya sendiri telah membangun fiqh siyasah dalam kerangka negara-bangsa keindonesiaan secara tuntas yang didasarkan pada Pancasila dan bhinneka tunggal ika yang syar’iyyah secara agama. Tidak ada konsep dan doktrin sekali jadi tetapi momentum R20 ini diharapkan akan menggelinding menjadi fenomena mainstream global di hari ke depan.
Ahmad Suaedy, Ketua Organizing Committee R20