Refleksi Hari Amal Bhakti/Ulang Tahun ke-70 Kementerian Agama
Ahad, 3 Januari 2016 | 10:00 WIB
Oleh Ruchman Basori*
Menurut Saiful Muzani Research and Consulting (SMRC) Jakarta, Kementerian Agama RI dinobatkan sebagai Kementerian terbaik ke-3 setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Sementara menterinya, Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dinobatkan sebagai menteri terbaik ketiga setelah Bu Susi Puji Astuti dan Pak Anis Baswedan.<> Dalam bidang keterbukaan informasi dinobatkan sebagai kementerian dengan ranking ke-10. Pada saat yang sama baru saja ditetapkan mendapatkan nilai Laporan Akuntabilitas Kinerja pemerintahan (LAKIP) poin B nilai yang relatif bagus untuk sebuah capaian kinerja oleh Kementerian Menpan dan Reformasi Birokrasi.
Pertanyaan penting yang layak kita ajukan di hari ulang tahun Kementerian Agama RI adalah mau ke mana (quo vadis) Pendidikan Islam? Mempertanyakan ulang arah pendidikan Islam agar masyarakat benar-benar merasakan negara hadir dalam menyediakan akses pendidikan Islam bermutu. Indonesia mungkin sebagai negara yang mempunyai jumlah lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia, sebagaimana sering dikatakann oleh Kamarudin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Tidak heran segudang masalah pendidikan Islam muncul tak kalah seru dan komplek. Semua itu membutuhkan kehadiran kementerian miliknya semua agama ini. Perlu langkah transformatif manajemen pendidikan Islam. Kerja keras, kerja cerdas dengan inovasi dan kreatifitas. Komitmen mutu dan transformasi juga harus dijiwai oleh seluruh keluarga besar kementerian ini.
Penataan paradigmatik pengembangan Pendidikan Islam yang tetap mengedepankan nilai-nilai keragaman etnik, daerah, dan kekhasan lokal (multikultural) harus diupayakan. Penguatan kelembagaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Pendidikan Madrasah dari mulai RA, MI, MTs dan MA, Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) menjadi keharusan. Tak kalah pentingnya adalah kebijakan penganggaran yang cukup dan memadahi bagi berkembangnya pendidikan Islam terus harus diperjuangkan keadilannya. Disadari masih terjadi ketidakadilan penganggaran pendidikan antara sekolah dan madrasah, perguruan tinggi umum dengan PTKI dan lain sebagainya.
Menurut Data EMIS Ditjen Pendidikan Islam terdapat 27.978 Raudlatul Athfal (RA), 23.678 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 16.283 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 7.260 Madrasah Aliyah (MA). Sementara dari sisi pendidikan nonformal terdapat 27.290 pondok pesantren se-Indonesia dengan 3.654.096 santri. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) 73.834 buah dengan 4.345.914 orang dan Taman Pendidikan Al-Quran berjumlah 123.271 buah dengan jumlah santri 7.121.304 orang. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) seperti UIN, IAIN dan STAIN ada 55 lembaga dengan jumlah mahasiswa 355.882 orang. PTKIS berjumlah 621 lembaga dengan mahasiswa 267.830 orang. Data ini menunjukan bahwa potensi pendidikan Islam untuk menjadi “aktor perubahan” di negeri ini sangat besar, jika mampu diberdayakan dan diaffirmasi dengan baik. Indonesia dengan bonus demografi penduduk menurut ramalan The Mc Kensey Institute akan menjadi negara kuat dengan tingkat ekonomi ke-7 dunia tahun 2035 tidak mungkin lepas dari peran Pendidikan Islam.
Akses anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan Islam menjadi penting. Di beberapa daerah minoritas dan perbatasan, kebutuhan akan pendidikan Islam apakah di Madrasah Formal, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Pondok Pesantren perlu diperluas. Karena Indonesia dengan 33 Provinsi dan ribuan pulau sangat membutuhkan layanan pendidikan agama yang memadahi. Mendapatkan layanan pendidikan Islam yang bermutu adalah hak warga negara dan negara wajib memenuhinya sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Karenanya Kementerian Agama harus membuka Unit Madrasah Baru (UMB) yang diikuti dengan pengangkatan guru yang kredibel, sarana dan prasarana yang memadahi dan penganggaran yang memadahi pula. Pondok pesantren juga perlu dibuka di daerah-daerah 3T dan perbatasan dan pada saat yang sama perlunya penukaran ustadz dari Jawa ke Luar Jawa “tadabalul ustadz” dan santri Luar Jawa untuk belajar di pesantren di pulau Jawa (pertukaran pelajar/santri). Selain itu program Pendidikan Kader Ulama (PKU) juga perlu dihadirkan kembali baik melalui pendekatan degree maupun nondegree agar reproduksi ulama terus bergeliat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini Kamarudin Amin mengharapkan agar Indonesia menjadi kiblat pendidikan islam di dunia bukan lagi ke Timur Tengah.
Di beberapa provinsi juga masih sedikit PTKIN yang bermutu dan berdaya saing jika dibandingkan dengan akses usia mahasiswa untuk menempuh studi di perguruan tinggi agama untuk mengkaji dan mendalami agama Islam (kajian keislaman). Belum lagi kebutuhan rasio kewilayahan dengan jumlah penduduk dan kebutuhan akan pembangunan terutama mental spiritual. PTKIN bermutu masih terkumpul di Jawa, perlu kebijakan affirmasi agar pendidikan-pendidikan tinggi Islam di Luar Jawa. Kendatipun membicarakan Jawa dan luar Jawa untuk konteks sekarang ini menjadi sangat riskan.
Selain kebijakan perluasan akses, Kemenag juga dituntut untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam. Dalam hal pondok pesantren misalkan perlu ada affirmasi terhadap Pondok Pesantren Salafiyah yang kian hari kian menurun jumlahnya. Padahal pesantren salafiyah menjadi inti dalam kaderisasi ulama. Trilogi pengembangan pesantren pada aras pertama harus menjadi prioritas, yaitu Pondok Pesantren sebagai lembaga pengembangan keagamaan “tafaqquh fiddin”, pengembangan pendidikan dan pengembangan sosial kemasyarakatan; Ahli agama yang dalam sebutannya sangat variatif seperti Kiai, Tuan Guru, Gurutta, Ajengan, Tengku harus dilahirkan agar mampu menjadi pembimbing umat dan menjadi penyelsai masalah keagamaan dan sosial di masyarakat.
Program-program yang belum substantif menyentuh pada lembaga-lembaga keagamaan Islam dan masih terkesan hanya aksesoris (pendukung) seperti berbagai macam perlombaan yang kurang menyentuh aspek penguatan tafaqquh fiddin, seperti Pekan Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) dan Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (PPSN) dan lain sebagainya perlu ditinjau ulang. Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang bertujuan untuk penguatan sains dan teknologi di pesantren ke Perguruan Tinggi Umum perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan kebutuhan pesantren saat ini. Sebagai bentuk pencitraan sudah berhasil, saat ini perlu dikembalikan lagi pada fingsi sejati Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
Perlu dihadirkan kebijakan dan program-program penguatan tafaqquh fiddin seperti pemberian beasiswa untuk mondok di Pesantren Salafiyah untuk mencetak banyak ahli agama (bukan beasiswa untuk bersekolah dan kuliah). Apresiasi terhadap penemuan-penemuan dalam hal metodologi baca kitab kuning sekaligus dukungan implementasinya, penguatan Pesantren Tahfidz dan sekaligus beasiswanya dan lain sebagainya. Singkatnya pesantren mampu menjadi pusat-pusat keunggulan keilmuan Islam sebagaimana masa awal. Pesantren yang mempunyai keunggulan di bidang tafsir, hadits, ilmu alat, falak harus mampu dihadirkan kembali oleh Kementerian Agama karena masyarakat sangat membutuhkannya. Meminjam istilahnya KH. Tolhah Hasan, mantan Menteri Agama “Saat ini kita sedang mengalami krisis ulama”.
Madrasah berdaya saing
Salah satu hal penting dalam lingkup pendidikan Islam adalah menjadikan pendidikan madrasah mampu berdaya saing dengan lembaga pendidikan sekolah. Secara khusus di hari yang bahagia bagi warga Kementerian Agama ini saya menganggap penting agar Kementerian Agama mampu melakukan terobosan baru dalam pengembangan madrasah. Inovasi-inovasi yang diperlukan agar Madrasah sama kualitasnya bahkan melebihi sekolah di tanah air menjadi keniscayaan. Inilah momentum yang tepat dan strategis untuk mempertanyakan ulang mau dibawa kemana Pendidikan Islam wabil khusus madrasah?
Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, dibawah Komandan M. Nur Kholis Setiawan telah dan sedang melakukan berbagai pembenahan dan terobosan dalam pengembangan pendidikan madrasah. Salah satunya dengan kebijakan, mengembangkan madrasah dengan empat katagori sebagai daya pembeda (distingsi) dengan lembaga pendidikan lainnya : Pertama, Madrasah Akademik, pengembangan madrasah yaitu dititikberatkan pada akademik dan riset. Para siswa diharapkan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan dengan capaian akademik, kapasitas intelektual dan riset-riset. Muncul profil madrasah yang mampu bersaing dalam even-even olimpiade sains baik dalam dan luar negeri, ekspos karya-karya akademik dan bentuk-bentuk pengembangan intelektual lainnya;
Kedua, Madrasah Vokasional (ketrampilan). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 20/2003 telah mengamanatkan berdirinya Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), namun sampai beberapa tahun tak kunjung lahir Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Agama (PMA) dan produk-produk turunannya lainnya. Namun saat ini sedang mulai disiapkan regulasi-regulasi dimaksud; Saat ini tercatat 279 madrasah yang menyelenggarakaan pendidikan ketrampilan melalui kegiatan ekstra kurikuler dan telah mempunyai produk-produk unggulan yang membanggakan. Tahun anggaran 2016 akan dibangun MAK di 5 Provinsi diantara di Dumai Riau, Kaur Bengkulu, Bolango Mangondo Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan di Pulau Jawa.
Ketiga, Madrasah Keagamaan, yaitu pengembangan madrasah dengan fokus pada pengembangan keagamaan (tafaqquh fiddin). Mencetak anak-anak yang dipersiapkan menjadi ahli dan terampil beragama. Dulu ada Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada zaman Menteri Agama H. Munawir Sadzali yang kemudian berkembang masif menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK); MAPK yang pernah jaya di masa lalu perlu direvitalisasi agar menjawab tantangan kekinian di bidang pengembangan keagamaan. Pada saat yang sama madrasah-madrasah berbasis pondok pesantren perlu dikuatkan. Kini telah banyak madrasah yang mengembangkan program tahfidz, penguasaan kitab kuning dan pengetahuan serta ketrampilan keagamaan lainnya; Seperti Madrasah Yanbuul Quran di Kudus, Madrasah di Pesantren Sarang Rembang, Madrasah di Sunan Pandanaran Yogyakarta dan masih banyak lagi yang tersebar di Indonesia.
Keempat, Madrasah Reguler, yaitu pengembangan madarsah reguler yang jumlahnya mayoritas di tanah air ke arah keunggulan kompetitif didekatkan pada tiga katagori di atas. Madrasah yang telah ada dikembangkan berdasarkan kecenderungan dan kebutuhan masyarakat di samping kebutuhan akan pembangunan bangsa.
Perjalanan memberdayakan madrasah tidak semulus yang diharapkan. Banyak kendala dan tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Agama RI. Anggap saja sebagai bunga-bunganya berkhidmah. Mulai dari persoalan dikotomi pengelolaan pendidikan, keadilan pendidikan baik dilihat dari kaca mata regulasi, kebijakan dan pengakuan serta penganggaran pendidikan yang dirasa masih timpang. Praktek di lapangan sering terjadi tindak diskriminasi antara madrasah dengan sekolah. Misalkan pembatasan atau pengebirian siswa Madrasah untuk ikut berpartisipasi dalam ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang dimenangkan oleh siswa MI di Kabupaten Semarang, namun akhirnya tidak bisa melaju ke Tingkat Provinsi karena oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam hal kesenjangan penganggaran antara sekolah dan madrasah perlu duduk bareng antara DPR, Kementerian Agama, Kemendikbud, Kemenkeu dan Bappenas agar perlakuan yang belum setara atau belum adil dapat segera di putus. Pada saat yang sama Pemerintah Daerah juga perlu mempunyai komitmen pengaggaran untuk madrasah, karena mereka juga aset-aset Pemda yang harus diperlakukan secara adil. Semangat demokrasi dengan basis keterbukaan menjadi saat yang tepat memutus rantai kekurang adilan ini.
Lima tahun terakhir ini kita disibukan dengan munculnya Buku-buku Pelajaran Agama Islam (Aqidah Akhlak, Fiqih, Quran Hadits, SKI dan Bahasa Arab) yang dinilai disusupi oleh paham Salafi Wahabi dan Gerakan Transnasional lainnya. Disinyalir juga terdapat buku yang merugikan paham keagamaan tertentu yang telah mapan di masyarakat. Sementara masyarakat kita lagi sangat sensitif sejalan dengan maju pesatnya sosial media (sosmed) yang kadang sering emosional, berpikir pendek dan main hantam kromo. Lagi-lagi Kementerian Agama yang dipersalahkan. Rentetan dari itu adalah masalah pembuatan soal yang juga dinilai menggiring ke arah Islam radikal atau menyinggung paham keagamaan tertentu. Tiap Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) bahkan Ujian Nasional (UN) masalah ini muncul silih berganti. Lagi-lagi Kementerian Agama yang dipersalahkan dan harus bertanggung jawab. Apakah kondisi ini akan kita biarkan terus dan kita hanya menyelesaikan secara sporadis kasus per kasus?
Ini masalah serius terkait dengan kebijakan pengadaan buku-buku ajar di MI, MTs dan MA. Saya mengusulkan ada baiknya Kementerian Agama mendirikan semacam Pusat Kurikulum dan Perbukuan atau setidaknya semacam Badan atau Kepanitiaan (Ad Hoc) yang bertugas melakukan verifikasi kelayakan buku-buku ajar dan agama yang layak beredar di sekolah dan madrasah. Dan juga memperkuat model pelaksanaan evaluasi pembelajaran termasuk pembuatan soal yang dari tahun ke tahun ada masalah. Jadi sebelum buku-buku itu beredar ke masyarakat harus melewati verifikasi (pentashihan) baik secara konten maupun aksesorisnya. demikian juga masalah soal ujian yang dibuat oleh Tim MGMP atau kelompok masyarakat lain harus benar-benar telah diuji kelayakannya sebelum diujikan.
Problem lainnya adalah sertifikasi dan tunjangan sertifikasi guru yang belum terbayarkan atau kadang mengalami keterlambatan. Masalah ini tidak berdiri sendiri karena ada kaitannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus duduk bareng agar jelas. Sebagaimana kita ketahui Tahun Anggaran 2016 ada beberapa mata anggaran yang harus terkurangi untuk membayar kekurangan tunjangan sertifikasi dan Inpassing Guru Bukan PNS dari kebutuhan yang seharusnya 1,2 Trilyun baru terpenuhi 800 Milyard. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang terlambat juga menambah masalah pendidikan Islam yang harus segera dicarikan solusinya agar tidak terulang lagi. Identifikasi masalah-masalah pendidikan di madrasah menjadi penting mana yang menjadi masalah ansich Kementerian Agama dan mana-mana yang ada keterkaitan dengan pihak lain.
Pada sisi lain Kementerian Agama melalalui Ditjen Pendidikan Islam dituntut untuk membenahi kualitas varian madrasah yang berkembang di masyarakat. Sudah banyak madrasah yang dinilai unggul, berkualitas dan sekaligus unik. Madrasah Amanatul Ummah di Surabaya dan Pacet asuhan Dr KH. Asep Saefuddin Halim misalkan dinilai unggul dengan sistem akselerasi. Untuk menempih jenjang MTs di sana hanya membutuhkan waktu 2 tahun dan MA 2 tahun. Lulusannya mampu bersaing dengan SMA dan MA unggulan di Jawa Timur dan banyak alumninya diterima di perguruan-perguruan terbaik di negeri ini. Ada lagi madrasah unggul nan unik yaitu Madrasah Techno Natura di Depok yang merupakan madrasah perpaduan antara teknologi dan alam di Depok.
MAN Insan Cendekia di Serpong, Gorontalo dan Jambi juga tergolong madrasah unggul dengan segudang prestasi. Siswanya banyak menjuarai kejuaraan nasional dan internasional semacam olimpiade sains dan lain sebagainya. Bahkan dalam 2 tahun berturut-turut MAN IC Serpong menempati ranking II perolehan nilai UN tertinggi se-Indonesia. Beberapa waktu yang lalu siswa MAN IC Serpong berhasil menjadi Juara II Lomba Olimpiade Indonesia Cerdas (OIC) yang disiarkan langsung oleh RTV setelah SMA Karang Turi Semarang. Belum lai output lulusan MAN IC yang hampir 100% diterima di PTN papan atas di negeri ini. Ini prestasi yang cukup membanggakan bagi komunitas madrasah. Karena masih banyak anggapan bahwa madrasah adalah pendidikan nomor dua dan kurang bergengsi.
Kisah sukses 3 MAN IC di atas oleh Direktorat Pendidikan Madrasah hendak didesiminasikan menjadi 20 MAN IC lagi se-Indonesia. Tahun Pelajaran 2015 telah beroperasi menerima siswa baru MAN IC Aceh Timur Aceh, Siak Riau, OKI Sumatera Selatan, Bangka Tengah Kepulauan Bangka Belitung, Paser Kalimantan Timur dan Kota Pekalongan Jawa Tengah. Pada Tahun Pelajarran 2016 direncanakan akan ada 6-8 MAN IC lagi yaitu (1). MAN Insan Cendekia Sorong Papau Barat, (2). Tanah Laut Kalimantan Selatan, (3). Batam Kepulauan Riau, (4). Bengkulu, (5). Kota Kendari Sulawesi Tenggara (6). Padang Pariaman, (7). Sipirok Sumatera Utara dan (8). Palu Sulawesi Tengah.
Pendirian MAN IC masuk dalam katagori Madrasah Akademik dengan memakai teori “Timbo Moro Sumur” sementara yang lazim adalah “Sumur Moro Timbo”. Selama ini Madrasah/Sekolah unggul ada di kota-kota besar sehingga masyarakat pengguna yang harus hijrah mendekatan madrasah unggul tersebut. Kementerian Agama membalik dengan mendirikan madrasah unggul mendekati masyarakat pengguna.
Madrasah-madrasah yang ada di pondok pesantren juga sedang mengalami geliat yang kuat ke arah mutu dan daya saing. Berjibun prestasi telah mereka torehkan dan mampu duduk sama rendah dan berdiri dengan sekolah-sekolah unggulan lainnnya di tanah air. Ada Madrasah Aliyah Tebuireng, Madrasah di lingkungan PP. Tambak Beras Jombang, Madrasah Aliyah Banat NU di Kudus, MA Raudlatul Ulum PP. Raudlatul Ulum Pati Jawa Tengah, madrasah di PP. Al-Hikmah Benda Brebes, Madrasah di PP. Krapyak Yogyakarta, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu per satu di sini. Madrasah berbasis pesantren merupakan kekayaan historis yang sampai hari ini diakui kehebatannya sebagai pencetak anak bangsa yang tidak saja cerdas tetapi juga shalih.
Umumnya pendidikan madrasah pembiayaannya relative murah dan terjangkau oleh masyarakat jika dibandingkan dengan sekolah unggulan lainnya. Semoga ke depan makin banyak layanan sekolah dan madrasah yang baik, unggul, berkualitas tetapi mampu dijadikan tempat bertambat anak-anak kita yang miskin namun pintar. Semakin banyak varian madrasah yang unik, yang menyediakan layanan pendidikan bermutu akan semakin banyak. Kalau madrasah mahal berkualitas sudah biasa yang menjadi luar biasa adalah bagaimana membangun madrasah dengan biaya murah namun bermutu itu baru luar biasa. Ini juga menjadi tantangan Kementerian Agama RI di hari ulang tahunnya ini.
Di hari ulang tahunnya atau tepatnya Hari Amal Bhakti (HAB) ke-70 semoga Kementerian Agama mampu menjawab atas pertanyaan quo vadis, mau dibawa kemana pendidikan Islam? Pendidikan Islam (madrasah) sebagai core utama, setelah sebelumnya dalam lima tahun yang lalu membenahi Haji dan Umroh dan masalah KUA dengan berbagai variannya. Pak LHS diharapkan konsen menjadikan madrasah sebagai pilihan dan rujukan masyarakat. Sehingga sesuai dengan slogan Madrasah lebih baik dan lebih baik madrasah. Madrasah yang ada perlu ditransformasikan menjadi madrasah unggul melebihi kualitas sekolah di tanah air. Insya Alloh bisa. Selamat HAB Kementerian Agama ke-70 yang diawali dengan Tahun Baru 2016, semoga perjalanan satu tahun ke depan lebih baik, lebih progresif, inovatif dan bermanfaat untuk masyarakat. Wallahu a’lam bia al-shawab.
* Aktivis GP Ansor, Pegawai Kemenag, sedang menyelesaikan S3 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ)