Oleh Aris Adi Leksono
Santri bukan sesuatu yang aneh bagi masyarakat Indonesia, apalagi bagi kalangan pesantren. Sejarah santri bahkan sudah ada sejak zaman sebelum Islam berkembang di Indonesia. Dengan segala ke-khas-an yang dimiliki, santri telah menempati sudut pandang tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Bisa dipastikan bahwa sudut pandang terhadap santri mayoritas selalu menepatai ruang sosial yang “positif”.
Tulisan ini bermaksud mengahadirkan kembali nilai dan karakter ke-santri-an yang memiliki korelasi positif dalam peran keperibadian dan peran sosial. Menghidupakan kembali karakter positif santri diharapkan mampu sebagai teladan bagi generasi millenial, penerus bangsa, pewaris hari santri, yang akan diperingati setiap tanggal 22 Oktober.
Kata santri menurut kamus besar bahasa Indonesia, memiliki dua pengertian, yakni; orang yg mendalami agama Islam; dan orang yangg beribadah secara sungguh-sungguh; orang yang saleh. Pada definisi lain, makna santri adalah bahasa serapan dari bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu SUN dan THREE yang artinya tiga matahari.
Matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi di siang hari. Matahari adalah sumber energi tanpa batas, matahari pula sumber kehidupan bagi seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara ikhlas. Namun maksud tiga matahari dalam kata SUNTHREE adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Semua ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan islam. serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.
Pada pengertian lain menyebutkan bahwa santri diambil dari bahasa ‘tamil’ yang berarti ‘guru mengaji’, ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci’. Selain itu, pendapat lainya meyakini bahwa kata santri berasal dari kata ‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lainya menganggap kata ‘santri’ sebagai gabungan antara kata ‘saint’ (manusia baik) dan kata ‘tra’ (suka menolong).
Karekater Santri yang Khas dan Unik
Karakter terbentuk atas kebiasaan dan pembiasaan tertentu, dapat diamati dalam sebuah prilaku yang “ajeg”, istiqomah, terus menerus. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter tertentu, mulai dari nilai intrinsik dan ekstrinsik. Lingkungan tentu faktor yang sangat besar mempengaruhi karekter tersebut. Santri identik dengan lingkungan pesantren, maka kehidupan pesantren adalah karakter yang melekat pada santri. Jiwa yang religius, sikap sosial yang akomodatif adalah bagian dari karakteristik lingkungan pesantren. Tetapi secara invidu yang santri juga memiliki keunikan yang berbeda-beda, dampak dari dialektika faktor intrinsic dan ekstrinsik.
Karakter santri yang unik diataranya; Pertama, Theocentric; Theocentric yaitu sebuah nilai dalam karakter diri santri yang didasarkan pada pandangan yang menyatakan bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah Swt. Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah Swt, dan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan. Dalam praktiknya mengutamakan sikap dan perilaku yang kuat beroreintasi pada kehidupan ukrawi dalam kehidupan sehari-hari. Semua perbuatan dilaksanakan dengan hukum agama demi kepentingan hidup ukhrawi (Mastuhu, 1994:62).
Karakter yang demikian membuat santri lebih hati-hati membawa dirinya untuk tidak terjerumus pada perbuatan yang subhat, apalagi bathil atau haram. Spritualitas yang tinggi, membuat dirinya selalu merasa diawasi sang penciptanya. Sehigga diri, amal, dan perilakukan kehiduapannya semata-mata oleh,dan akan kembali bada Allah SWT.
Kedua, karakter sukarela dalam mengabdi. Hal itu tercermin dari kepasrahan seorang santri dalam belajar di pesantren. Secara sukarela dalam melakukan setiap aktifitas pembelajaran dan pembiasaan lainnya, meskipun tanpa diawasi oleh seorang kiai atau ustadz. Bahkan pada pesantren tertentu terdapat santri yang sengaja mengabdikan dirinya secara terus menerus kepada sang kiai. Totalitas ini dilakukan karena santri meyakini, terdapat berkah yang akan didapat setelah melakukan pengabdian secara sukarela, secara sempurna kepada sang kiai atau ustadz. Berkah itu berupa kesuksesan hidup dalam bermasyarakat kelak, menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat yang juga rela berkorban dan mengabdi kepada sesamanya.
Ketiga, santri identik dengan karekater kearifan, yakni bersikap sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama. Menghormati perbedaan dan keberagaman. Dalam setiap keputusan yang diambil mempertimbangkan lokalitas dimana dia hidup. “di mana bumi diijak, disitu langit dijunjung”, inilah kemudian membuat santri mudah diterima oleh semua kalangan.
Keempat, kesederhanaan dan kemandirian; adalah karekter khas santri, tidak tinggi hati dan sombong walau berasal dari orang kaya atau keturunan raja sekalipun. Fasilitas pesantren yang serba terbatas berberan dalam membentuk karakter kesederhanaan dan kemandirian santri. Sederhana dan mandiri bukan karena tidak mampu, tapi lebih menunjukkan piribadi yang peduli sesama, pribadi yang menyadari bahwa dunia adalah sementara. Bukti dari karakter tersebut, bahwa santri melakukan aktifitas domestik mereka sendiri-diri, seperti; mencuci, mamasak, dan lain sebagainya. Kesederhanaan dilambangkan dengan kesamaan dalam berpakaian dan benda yang dimilki tanpa bermewah-mewah.
Perspektif lain tentang karakter santri bisa difahami dengan pendekatan harfiyah. Kata Santri jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf, yaitu (سنتري). Yang mana setiap hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian yang luas.
Pertama, Sin (س) adalah kepanjangan dari سَافِقُ الخَيْرِ yang memiliki arti Pelopor kebaikan
Oleh sebab itu, setiap santri mesti memiliki jiwa pemimpin dalam melaksanakan kebaikan. Ia mesti menjadi pelopor dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Kedua, Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَاسِبُ العُلَمَاءِ yang memiliki arti Penerus Ulama.
Ulama atau di Indonesia lebih dikenal dengan Kiyai/Ajengan tidak bisa muncul begitu saja kecuali ia telah melalui tahapan-tahapan rumit, sebelum kemudian Allah SWT meninggikan derajat keilmuannya ditengah-tengah masyarakat. Tentunya ia harus menjalani masa-masa menuntut ilmu serta penggemblengan dalam pembiasaan beribadah. Oleh sebab itu wajar jika santri dikatakan sebagai penerus ulama.
Ketiga, Ta (ت) adalah kepanjangan dari تَارِكُ الْمَعَاصِى yang memiliki arti Orang yang meninggalkan kemaksiatan. Maksiat adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Sedangkan santri adalah orang-orang yang mendalami dan mempelajari agama secara menyeluruh. Oleh sebab itu, keduanya sangat bertolak belakang dari segi makna. Maka wajar jika santri dikatan sebagai orang yang meninggalkan maksiat.
Keempat, Ra(ر) adalah kepanjangan dari رِضَى اللهِ yang memiliki arti Ridho Allah.
Santri adalah orang yang sepatutnya mendapat ridlo Allah SWT (amin). Sebab ia berada dalam jalan pencarian ilmu agama. Yang mana dalam beberapa keterangan, orang yang menuntut ilmu berada dalam ridlo Allah SWT.
Kelima, Ya (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti Keyakinan.
Keyakinan adalah sebuah keharusan bagi santri. Sebab ia berada dalam koridor ilmu yang tidak diragukan lagi keuntungannya. Ia tidak boleh menyerah dalam proses tholabul ilmi. Karena apa yang ia usahakan akan berbuah manis bila disertai keyakinan.
Selain lima filosofi kata santri diatas, beberapa sumber menyebutkan bahwa kata santri hanya berasa dari empat huruf, yang antara lain terdiri dari sin, nun, ta, ra. Dan dari segi pemaknaan pun memiliki beberapa perbedaan sebagaimana berikut:
► Sin : Satrul al aurah (menutup aurat)
► Nun : Naibul ulama’ (wakil dari ulama’)
►Ta’ : Tarku al ma’shi (meninggalkan kemaksiatan)
► Ra’ : Raisul ummah (pemimpin ummat)
Bahkan, yang lainnya malah menyebutkan bahwa kata santri sebagai sebuah singkatan dari bahasa indonesia. Yang kepanjangannya, sebagai berikut:
S : satir al-'uyub wa al-aurat
Artinya menutup aib dan aurat. Yakni aib sendiri maupun orang lai
A : aminun fil amanah
Artinya bisa di percaya dalam megemban amanat.
N : nafi' al-'ilmi.
Artinya bermanfa'at ilmunya. Dan inilah yang sangat diidamkan oleh semua santri. Ketika ia telah melalui masa-masa menimba ilmu, pasti harapan akhirnya adalah mampu mengamalkan ilmu tersebut.
T : tarik al-maksiat.
Artinya meninggalkan maksiat.
R : ridho bi masyiatillah.
Artinya Ridho dengan apa yang diberikan Allah
I : ikhlasun fi jami' al-af'al.
Artinya ikhlas dalam setiap perbuatan.
Sesuguhnya karakter tersebut masih sangat sedikit untuk memahami konsep kedirian dan peran sosial seorang santri. Tetapi paling tidak bisa digambarkan bahwa santri adalah sebagai pribadi yang memiliki karakter yang patut diteldani. Apalagi sebagai bagian dari kehidupan sosial, tentu karakter santri telah memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat, yang punya korelasi kuat terhadap nilai dan norma positif masyarakat. Memang sacara umum karater santri selalu berkonotasi positif, tetapi tidak menafikan ada oknum santri yang memiliki karakter sebaliknya.
Meneladani karakter santri di era milenial, serta kondisi bangsa yang sedang dilanda krisis karakter, bahkan sampai pada ranah domestik-keluarga, tentu memiliki dampak terhadap kemanjuan bangsa dan negara. Perilaku korup semakin merajalela, karakter individualis semakin mempertajam jarak antar sesama, sehingga dampaknya menjadikan kemewahan hanya untuk individu dan golongannya, toleransi dan gotong royong semakin terkikis karena ego sektoral yang menguat. Dialog kultural dalam setiap kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak menjadi langkah, sehingga sering kali kebijakan hanya sebagai alat “pencitraan” yang tidak memiliki efek perubahan untuk kemajuan masyarakat umum.
Moment hari santri nasional, 22 Oktober 2018, merupakan babak baru bagi santri dan pesantren. Peran besar pesantren sejak pra kemerdekaan hingga kini, akan semakin dikenang oleh masyarakat. Momentum hari santri nasional tentu bukan sekedar romantisme sejarah, tetapi hadirnya hari santri dapat menjadi “cambuk” menghidupkan kembali karakter santri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana jiwa spiritual yang tinggi dapat “diejawentahkan” dalam peran sosial yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan lingkungan dia berkembang, sehingga dapat terwujud kembali tatanan individu masyarakat yang jujur, tanggung jawab, mandiri, sederhana, gotong-royong, mengutakan kepentingan umum, dan lain sebagainya.
Selamat hari santri, teladan karaktermu adalah harapan untuk membangun peradaban baru Indonesia di era disruptif, abad millenial, yang lebih bermartabat, berdaulat, adil, makmur dan sejahterah.
Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama