Oleh Halimi Zuhdy
“Ustadz, kuburan Nabi Ibrahim kok kecil sekali ya?” ungkap salah seorang jamah Umrah ketika baru pulang dari Makkah.
“Kuburan yang mana Pak? Apakah Bapak ke Kuburan Nabi Ibrahim?” saya bertanya kembali.
“Yang dekat Ka’bah itu ustadz, bukankah itu kuburan Nabi Ibrahim?” jawabnya dengan polos.
“Kuburan Nabi Ibrahim itu di kota Hebron Palestina, Bapak. Hebron (Hebrew) itu bahasa Ibrani yang berarti al-Khalil, sebuah gelar yang disematkan kepada Nabi Ibrahim,” sedikit saya jelaskan di mana Nabiyuna Ibrahim dikuburkan.
“Itu maqam bukan kuburan, Bapak. Maqam artinya tempat Nabi Ibrahim berpijak ketika membangun Ka’bah,” saya coba menjelaskan, tapi ia masih bengung.
***
Beberapa bulan yang lalu, penulis berkunjung ke Qal’ah (Benteng) Salahuddin al-Ayyubi yang berada di Daerah ‘Ajlun Yordania, orang-orang juga menyebutnya dengan Qal’ah Ajluan. Sebelum menaiki tangga pertama ada tulisan Maqam Nabi Khidir ‘alaihissalam. Ketika penulis berkunjung ke dekat tempat tersebut, salah seorang pengunjung yang dari Indonesia bertanya,
“Ustadz, apakah di tempat ini Nabi Khidir dikuburkan?” pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban, karena Nabi Hidir dalam sejarah kenabian tidak pernah ditemukan kuburannya, karena beliau termasuk manusia yang ditangguhkan ajalnya oleh Allah (banyak iktilaf tentang ini).
“Bapak, ini bukan kuburan, tetapi jejak Nabi Hidir. Ia pernah hadir di sini, dan juga mungkin hadir dan menjejakkan kakinya di tempat lainnya,” jawab saya sambil tersenyum.
“Maqam yang di belakang kita itu, bukan kuburan tetapi tempat istirahat sejenak atau tempat Nabi Khidir pernah di sini.”
***
Selama ini bapak tersebut atau beberapa jamaah umrah/haji, atau pula masyarakat umum menganggap bahwa maqam (makam) Ibrahim adalah kuburan. Dalam bahasa Arab istilah kuburan sinonim yaitu, maqbarah, dharih, marqad, lahd, syaq, jadst, masyhad, dan beberapa kosa kata lainnya.
Beberapa kosa kata Arab tersebut memiliki beberapa perbedaan, misalnya antara lahd (اللحد) dan syaq (الشق). Lahd di Indonesia kita kenal dengan liang lahat, atau orang menyebutnya dengan pekuburan “lubang landak”, sedangkan syaq adalah kuburan yang mayatnya diletakkan di tengah, dan yang kedua ini banyak digunakan oleh orang Indonesia. Dalam hadits Nabi, keduanya diperbolehkan, tapi lahd (liang lahat) yang digali kesamping lebih utama sebagaimana hadits “Al-lahd lana wa al-syaq li gahirina”.
Kuburan dalam KBBI daring adalah tanah tempat menguburkan mayat; makam. Sedangkan pekuburan adalah tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan mayat; tanah pemakaman. Makam dalam KBBI daring memuat lima makna; (1) kubur, (2) tempat tinggal; kediaman, (3) jalan panjang yang berisi tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi, yang penuh dengan berbagai kesulitan dan memerlukan usaha yang sungguh-sungguh sehingga tercapai keadaan yang tetap menjadi milik pribadi orang sufi, (4) pahatan bekas telapak kaki Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Ka’bah, terdapat dalam Masjidilharam, (5) kedudukan mulia (tinggi).
Dalam bahasa Arab, kuburan (القبر) adalah mengebumikan jenazah, memendam, melupakan, memasukkan, menyembunyikan. Sedangkan tempatnya adalah maqbarah (مقبرة). Dan ini sesuai dengan istilah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, hanya saja tempatnya tidak disebut “makbarah” tetapi pekuburan. Dan dalam bahasa Indoensia antara kubur dan kuburan memiliki makna yang sama, tempat menguburkan mayat.
Selain Kuburan ada istilah makam, dan yang menimbulkan banyak kesalahpahaman, bahkan bisa salah memaknai. Makam dalam bahasa Arab adalah maqam (مقام), menggunakan huruf “qaf” bukan “kaf”, bila menggunkan “kaf” tidak ditemukam kosa katanya. Maqam berarti, ‘tempat berpijaknya dua kaki, kedudukan seseorang, berdiri, bangkit, bangun, berangkat’. Dalam kamus bahasa Arab tidak ditemukan arti ‘kuburan’. Sedangkan dalam bahasa Indonesia (KBBI), makam (yang sebenarnya adalah maqam) diartikan dengan ‘kuburan’ walau juga memiliki makna yang lainnya (seperti yang tersebut di atas).
Saran penulis, bila ‘makam’ akan diartikan ‘kedudukan mulia, pahatan bekas kaki Ibrahim, jalan panjang bertingkat seorang sufi’ maka hendaknya ditulis dengan ‘maqam’. Karena kata ‘makam’ itu sendiri dari asalnya tidak memiliki makna kuburan, kecuali sudah diserap dan memiliki makna lain (kuburan) maka ditulis dengan Makam. Itu pun juga memiliki makna sendiri bila makam disebut makam, bukan seperti pekuburan umum, tapi lebih kepada pekuburan auliya' para wali atau orang-orang yang dimuliakan.
Namun dalam beberapa keterangan yang lain, bisa juga makam disebut pekuburan bila makam (maqam) berarti al-dharih, kuburan yang megah. Dan istilah Al-dharih ini penulis banyak ditemukan di Petra (al-Batra’), ada Al-Dharih (pekuburan) Tentara Rumania, Ular, Jin dan kuburan lainnya.
Penulis adalah Dosen Bahasa dan Sastra Arab (BSA) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang; Wakil Ketua RMI PCNU Kota Malang