Pramoedya Ananta Toer dan Gus Dur pada acara bertajuk Pram dan Kita, di Yogyakarta pada 2003 (Foto: repro buku Gus Dur Sang Kosmopolit, 2020)
Februari 2003, dua lelaki berkacamata hadir di sebuah acara yang diselenggarakan oleh salah satu penerbit buku di Yogyakarta. Dalam sebuah momen, keduanya tampak berjabat tangan dengan senyum merekah.
Kedua lelaki yang usianya tak lagi muda tersebut, yakni Presiden RI keempat, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer (Pram).
Usia Gus Dur kala itu hampir memasuki angka 63 tahun, sedangkan Pram, beberapa hari sebelum acara pertemuan tersebut, baru merayakan bertambah usianya yang ke-78 (lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Hari ini tepat satu abad kelahiran Pram, pen).
Bila melihat kedua tokoh tersebut berjabat tangan atau salaman tentu menjadi sebuah hal wajar. Bertemu orang kemudian bersalaman sembari saling menanyakan kabar atau membincang sesuatu. Namun, dalam konteks beberapa tahun sebelumnya, di mana Pram pernah mempermasalahkan soal salaman ini, maka salaman Gus Dur dan Pram tentu memiliki banyak makna.
Pada tahun 2000, Gus Dur yang masih menjabat sebagai Presiden RI, menyampaikan permintaan maaf kepada orang-orang yang menjadi korban dalam pembantaian massal menyusul peristiwa G30S. Gus Dur juga mengatakan siap membuka kembali kasus itu.
Namun, saat diwawancarai Majalah Forum Keadilan di bulan Maret 2000 terkait permintaan maaf Gus Dur tersebut, Pram mengatakan:
"Memang, masalah itu harus diselesaikan secara hukum. Gus Dur sendiri sowan kepada Soeharto. Itu mengecewakan. Rekonsiliasi bagaimana yang diinginkan? Kok, sepertinya gampang amat. Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa. Omong kosong saja rekonsiliasi.."
Selain upaya meminta maaf dan rekonsiliasi, Gus Dur juga mengeluarkan gagasan untuk mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 Pembubaran PKI dst, yang sayangnya gagasan tersebut urung dilaksanakan, karena mendapat penentangan berbagai pihak.
Menurut Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Abdurrahman Wahid, Prof Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam (AS Hikam) mengatakan, alasan Gus Dur mencabut TAP MPR tersebut adalah untuk melakukan rekonsiliasi. Sementara landasan rekonsiliasinya adalah Pancasila dan konstitusi yaitu UUD 1945.
"Jadi TAP MPR no 25 tahun 66 tentang pelarangan PKI meski dicabut. Karena berlawanan dengan spirit Pancasila yang tak tertulis (Bhineka Tunggal Ika) yang sudah dilaksanakan bangsa Indonesia 7 abad sebelum proklamasi kemerdekaan. Tak hanya itu, teks UUD 45 mengamanahkan agar negara melindungi segenap bangsa Indonesia," (NU Online, 8 Oktober 2020)
Ditambahkan Hikam, justru jika Tap MPR tersebut masih berlaku bangsa Indonesia telah mengkhianati kesepakatan dimana semua menyetujui bahwa NKRI ini akan diisi oleh bermacam-macam suku, agama, ragam pemikiran dan lain-lain.
"Inilah satu fondasi yang sangat luar biasa yang membuat Gus Dur menerobos ruang dan waktu sampai membuat satu ide atau gagasan mencabut Tap MPR yang menurut sebagian orang tak bisa dicabut lagi," katanya.
Baca Juga
Pramoedya Ananta Toer Tutup Usia
Prinsipnya, Gus Dur tidak ingin negara melindungi satu kelompok saja. Gus Dur menekankan semua elemen bangsa terlindungi sama dengan kelompok mayoritas yang ada. Lagi pula, kata dia, rekonsiliasi yang dilakukan Gus Dur menekankan aspek kewarganegaraan.
"Bagi saya statement Gus Dur bukan hanya statement guyon, tapi itu filosofi ground atau dasar filosofi yang serius. Kalau mau betul rekonsiliasi dasarnya harus Pancasila, UUD 45 dan prinsip kewarganegaraan sebagai landasan operasional yang praktis,"
Pak Pram
Kembali kepada momen pertemuan Gus Dur dan Pram di Univercity Club (UC) UGM Yogyakarta tahun 2003. Kala itu Gus Dur hadir menjadi salah satu narasumber acara bertajuk "Pram dan Kita". Gus Dur memanggil Pramoedya dengan sapaan Pak Pram. Barangkali ini cara Gus Dur menghormati Pram yang usianya lebih sepuh.
Selain soal usia, Gus Dur menilai dari seluruh bacaan tentang Pak Pram, hal yang tidak pernah berubah dari dia ialah pandangannya tentang kemanusiaan dan perikemanusiaan, yang sangat tinggi. (Kompas, 2003)
“Seumur hidup Pak Pram, dia selalu menentang kekerasan, walaupun yang digambarkan Pram, tokoh-tokoh bersenjata pula,” kata Gus Dur.
Pembelaan terhadap orang-orang kecil inilah yang selalu tampak dalam novel-novelnya sejak yang pertama. Itulah gambaran orang-orang kecil yang kesepian, dan sendiri, yang harus menghadapi kenyataan hidup yang sangat keras melindas si tokoh.
Demikian pula kecintaannya kepada rakyat kecil, yang menurut Gus Dur tidak pernah luntur. Bila Prof Hikam, menyebut gagasan Gus Dur soal pencabutan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 seperti menerobos ruang dan waktu, maka Gus Dur menyebut karya Pram mampu menerobos pintu-pintu kungkungan penguasa.
“Karya-karya Pak Pram, menerobos pintu-pintu yang dibuat manusia. Menerobos kungkungan yang dibuat aristokrat dan penguasa yang dalam bahasa sekarang penguasa gombal,” ujar Gus Dur disambut tawa hadirin.
Di lain kesempatan, ketika Gus Dur diwawancarai majalah Matra pada tahun 1992, ia menyebut karya Pram, Romo Mangun, dan juga Ahmad Tohari pekat dengan warna kemanusiaannya. Sangat dalam. Luar biasa dalamnya.
"Mangun dan Pram sama-sama berbicara tentang keinginan membentuk masyarakat baru. Mangun berhenti pada penggambaran gagasan itu, sementara Pram melanjutkannya dengan mencoba memberikan jalan untuk mewujudkan gagasan itu. Dua-duanya sama memikat." (Tabayun Gus Dur, 1998)
Kini, keduanya telah berpulang menghadap keharibaan Tuhan. Meski demikian, keduanya akan selalu dikenang. Baik sebagai pejuang kemanusiaan maupun sebagai penulis kenamaan. Sebagai generasi penerus, kita bisa ikut meneladani dan meneruskan laku hidup Gus Dur dan Pak Pram. Setidaknya untuk menghapus dendam dan kebencian tak berkesudahan. Perjuangan belum berakhir kawan.
Ajie Najmuddin, pegiat Gusdurian dan Lakpesdam PCNU Boyolali