Kiriman Kepala Babi dan Bangkai Tikus ke Tempo, Pers Hadapi Ancaman Represi dan Pembungkaman
Sabtu, 22 Maret 2025 | 20:00 WIB

Kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo yang terjadi berturut-turut pada Rabu (19/3/2025) dan Sabtu (22/3/2025) dinilai menjadi ancaman serius terhadap kebebasan pers. (Foto: dok. istimewa)
Afrilia Tristara
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ancaman simbolis terhadap jurnalis Tempo berupa pengiriman kepala babi pada Rabu (19/3/2025) lalu dan kiriman bangkai tikus yang dipenggal pada Sabtu (22/3/2025) dinilai menjadi indikasi kuat bahwa represi dan pembungkaman terhadap pers sedang benar-benar terjadi. Rakyat juga menyoroti respons pemerintah yang terkesan meremehkan ancaman terhadap pers tersebut.
Ancaman itu memunculkan kekhawatiran bahwa Indonesia akan kembali ke masa-masa kelam ketika kebebasan pers dibungkam dan dibredel seperti pada era Orde Baru.
Dosen Ilmu Komunikasi UGM Gilang Desti Parahita menyebut ancaman seperti pengiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo menunjukkan bahwa banyak pihak tidak memahami tugas pers.
“Ini bukti nyata bahwa banyak pihak di negeri ini tidak paham dengan tugas-tugas pers. Padahal, pers sangat dibutuhkan untuk menjaga demokrasi,” ujar Gilang dihubungi NU Online pada Sabtu (22/3/2025).
Pengiriman bangkai hewan tersebut, menurut Gilang, adalah bentuk teror terhadap pers. “Ini mirip dengan efek terorisme terhadap pers. Tindakan seperti ini tidak bisa dianggap biasa,” katanya.
Gilang menegaskan bahwa pers memiliki peran krusial dalam demokrasi. “Pers harus mengkritik penguasa dan membela kepentingan publik. Jika tidak, pers hanya akan menjadi alat propaganda,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan respons Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang menanggapi ancaman tersebut dengan candaan "dimasak saja”.
“Ini sangat tidak pantas. Pers seharusnya tidak dianggap remeh,” ujar Gilang.
Senada, Senior Researcher Remotivi Muhamad Heychael juga menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers.
Heychael berpendapat pengiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana (Cica), adalah bentuk represi yang mengingatkan pada masa-masa kelam Orde Baru.
Menurutnya, cara jurnalis dan masyarakat merespons terhadap ancaman ini akan berdampak krusial bagi pihak tidak bertanggung jawab yang melancarkan aksi teror tersebut.
“Kembali atau tidak kita ke masa kelam bergantung pada respons kita terhadap ancaman ini. Jika kita membiarkan, teror membuat kita takut, maka teror akan berkuasa,” kata Heychael.
Heychael menilai bahwa respons Tempo, yang mengunggah gambar karakter babi lucu sebagai bentuk satire, adalah upaya melawan makna negatif dari ancaman tersebut.
“Ini upaya menantang makna dari mereka yang mengirimkan. Seolah ingin mengatakan, ‘jika kalian anggap babi sebagai teror, maka bagi kami merupakan hiburan’,” jelasnya.
Namun, Heychael menyayangkan respons pemerintah yang dinilai tidak serius menanggapi isu ancaman terhadap kebebasan pers di negeri ini.
“Sebagai pejabat negara, semestinya Hasan Nasbi menanggapi hal ini dengan lebih serius, misalnya dengan menekankan komitmen pemerintah pada kebebasan pers,” ujarnya.
Ia menambahkan, respons yang meremehkan justru meninggalkan kesan bahwa pemerintah tidak peduli pada keamanan dan kebebasan jurnalis.
Heychael berpendapat, dengan berbagai hal yang belakangan terjadi dalam realita demokrasi Indonesia, tidak berlebihan jika muncul kekhawatiran meningkatnya tren represi terhadap jurnalistik.
“Dengan adanya UU TNI yang kontroversial, ancaman terhadap jurnalis, dan respons pemerintah yang tidak serius, saya khawatir trend represi terhadap jurnalistik akan meningkat,” ungkapnya.
Sebelum insiden kepala babi terjadi, Istana sempat mengadakan pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi dan juga Rektor Perguruan Tinggi.
Gilang juga menyoroti pemanggilan rektor dan kepala redaksi ke Istana sebagai bentuk hal yang tidak biasa terhadap institusi yang seharusnya independen.
“Pemanggilan seperti ini menimbulkan redundansi. Sebagai dosen, saya sudah tahu apa yang harus diajarkan kepada mahasiswa. Jurnalis juga tahu apa yang harus dilakukan. Ini agak kurang wajar,” ujarnya.
Kedua narasumber sepakat bahwa kebebasan pers sedang di ujung tanduk. Jika tidak ada upaya serius untuk melindungi pers, Indonesia berpotensi kembali ke masa-masa kelam di mana kebebasan berpendapat dibungkam.
“Pers adalah pilar demokrasi. Selain ekskutif, legislatif, dan yudikatif masih ada pers bahkan mungkin juga pihak kampus sebagai pilar demokrasi,” ucap Gilang.
“Jika pers dibungkam, demokrasi tidak akan pernah berjalan utuh,” pungkasnya.
Dengan ancaman yang semakin nyata dan respons pemerintah yang cenderung tidak menganggap serius, nasib kebebasan pers Indonesia benar-benar berada di ujung tanduk? Akankah masa-masa kelam itu terulang?
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tiga Tingkatan Orang yang Berpuasa Ramadhan, Mengapa Puasa Anda Bisa Berbeda?
2
Kultum Ramadhan: Meningkatkan Kualitas Ibadah di 10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan
3
Khutbah Jumat: Sedekah sebagai Peredam Murka Allah dan Amalan yang Mampu Mengubah Takdir
4
Demonstrasi Tolak RUU TNI di DPR Berujung Aksi Kekerasan Polisi, Pengemudi Ojol Kena Sasaran
5
Beasiswa BIB Dibuka 1 April 2025, Berikut Link Pendaftaran dan Persyaratannya
6
Khutbah Bahasa Jawa: Mapag Lailatul Qadar, Wengi Sewu Wulan