Momen seperti ini adalah momen emas, saat sang kiai ‘terbebas’ dari tamu-tamunya yang mengular. Tak pikir panjang, aku langsung nyelonong menemui sang kiai yang sedang di dalam kamarnya. Di dalam kamar, kiai kelahiran Lamongan ini sedang santai. Sambil mengenakan kaos dan sarung putih, Kiai Muwafiq sedang berselonjor mengistirahatkan badan dalam keadaan setengah tidur. Barangkali beliau kelelahan setelah berminggu-minggu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghadiri undangan jamaah untuk memberikan ceramah.
Dalam keadaan setengah tidur seperti itu, aku meraih kakinya untuk kupijat. Sejak dulu, cara itu yang kulakukan untuk membangunkan kiai berambut panjang ini dengan halus. Selain itu, sudah menjadi sebuah kebiasaan, saat sowan kepada beliau, kami para santrinya memijati kaki untuk membuatnya tambah relaks saat bersantai setelah dari perjalanan pengajiann.
Relatif, sejak pindah dari Jogja, aku sudah jarang ngancani beliau ngaji. Sehingga kesempatan memijat beliau kali ini seperti melepas kerinduan pada kiai yang membimbingku selama menempuh aktivisme di Jogja dulu.
Momen itu sangat berharga. Selain karena kesempatan eksklusif untuk ngobrol berdua dengan beliau di kamarnya, ada pesan yang sangat dalam yang secara khusus diberikan padaku.
"Misalnya gini; kalau kamu kerja, kerja saja, ndak usah punya keinginan untuk kaya. Kerjakan saja pekerjaanmu sebagaimana manusia pada umumnya, tanpa berharap kaya. Jadi, bekerja itu, sekedar untuk pantes-pantes-nya manusia hidup. Sedangkan masalah kamu ditakdirkan kaya atau tidak, itu takdire Gusti Pengeran," lanjutnya.
Gus Muwafiq paham ketidakterimaanku pada penjelasannya. Kali ini dia duduk dari tidurnya, sambil tetap meluruskan kaki untuk kupijat.
"Dengan begitu, maka hidupmu tidak habis untuk mengejar harta, sebab kamu letakkan harta 'di belakangmu'. Jika harta ada di depanmu, maka selamanya kamu termasuk orang miskin. Tapi jika kamu bekerja ala kadarnya tanpa niat mengejar dunia, dan meletakkan harta di belakangmu maka kamu tidak akan disibukkan mengejar dunia," jelasnya.
Saat itu, sekitar 20 tahun yang lalu, dan tak banyak yang mengenal beliau. Saat itu, beliau adalah sosok kiai muda NU yang rajin mengamalkan ibadah puasa hingga tujuh tahun secara kontinyu, sembari melakukan aktivitas aktivisme seperti demonstrasi dan kegiatan menguras tenaga lainnya. Tak banyak kemewahan hidup duniawi yang dimiliki Gus Muwafiq muda. Namun, Gus Muwafiq tetap konsisten berada di jalur dakwah hingga saat ini.
Aku yang mengenal beliau sejak tahun 2005, mengalami masa-masa perubahan beliau yang tak jarang naik turun. Namun di tengah semua kondisi yang dialaminya, Gus Muwafiq tetap konsisten berada di jalur dakwah. Misalnya, saat teman aktivis sebayanya mulai merambah di jalur politik dan dielu-elu sebagai generasi sukses di Jakarta, beliau tetap saja berdakwah dari satu tempat ke tempat lain secara senyap tanpa kemeriahan. Sehingga bagiku, Gus Muwafiq merupakan percontohan dari keberhasilan sebuah keistiqomahan atau konsistensi. Mungkin itulah yang dipegang Gus Muwafiq sehingga beliau konsisten hingga saat ini.
Semoga apa yang disampaikan Gus Muwafiq akan menjadi bagian kaca refleksi untuk mengukur unsur keduaniawian yang kita jalankan setiap hari. Wallahu A’lam.