Sejarah Terbunuhnya Sumodiningrat, Singobarong yang Memimpin Perang Sepehi
Senin, 2 September 2024 | 18:00 WIB
Kutipan Foto Babad Sepehi yang menceritakan peristiwa Geger Sepehi 18-20 Juni 1812. (Foto: manuskrip dokumen Perpusnas)
Makam Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat berada di Pasarean Kagungan Dalem Keraton Yogyakarta. Disebut ‘pasarean kagungan dalem’ karena kompleks pemakaman itu memang milik keraton. Seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, Sumodiningrat adalah tokoh yang gugur pada Perang Sepehi (18-20 Juni 1812), peristiwa penting dalam sejarah yang terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono II.
Sebagaimana diungkap sejarawan Peter Carey dalam The Archive of Yogyakarta, Volume I: Documents Relating to Politics and Internal Court Affairs (1980: 191), Sumodiningrat pernah menjabat sebagai Bupati Jaba kedua pada 1794 dan Wedana Jero pertama pada 1797. Sehari-hari ia juga bertindak sebagai penasihat militer Keraton Yogyakarta. Di tengah medan Perang Sepehi, ia ditugaskan menjadi panglima utama yang berdiri di garis terdepan menjaga wilayah Yogyakarta. Sosok inilah yang dijuluki ‘Singobarong’ oleh masyarakat Yogyakarta sebagaimana terabadikan di dalam Babad Ngayogyakarta (1876) karya Pangeran Suryanegara dan Raden Adipati Danureja V. Tidak ada sosok lain berjuluk Singobarong pada masa itu selain dirinya.
Dari Kedu hingga Bantul
Sumodiningrat dilahirkan pada 1760-an di Remame, Kedu Selatan. Ia merupakan anak Kanjeng Raden Tumenggung Jayaningrat, bupati Kedu Selatan. Berdasarkan catatan dalam Serat Salasilah Para Loeloehoer ing Kadanoeredjan (1899: 207), Jayaningrat menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat, anak keempat Sultan Hamengkubuwono I. Jadi, Sumodiningrat merupakan cucu pendiri Keraton Yogyakarta itu.
Nasab Sumodiningrat menyambung ke atas hingga ke Kiai Ageng Penjawi, salah satu dari tiga tokoh pembuka Kerajaan Mataram Islam di selatan Jawa pada permulaan abad ke-16. Sedangkan ke atasnya lagi, nasab ini bersambung hingga Kiai Ageng Ngerang.
Diurutkan dari atas, nasab Sumodiningrat adalah: Kiai Ageng Ngerang I → Kiai Ageng Ngerang II (Kiai Bodo Pajang) → Kiai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kiai Ageng Panjawi (Kiai Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kiai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kiai Kriyan) → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (hlm. 163-164 & 201-208).
Dari jalur lain, menurut catatan Sejarah Ratu (t.t.: 64), Sumodiningrat juga merupakan keturunan Kiai Jejer, Tumenggung Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kiai Juru Kiting—tiga tokoh penting pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah pada 1613-1645. Singaranu adalah patih kedua Mataram di masa Sultan Agung, Juru Mayem adalah wedana jaksa dan anggota dewan ulama penasihat Sultan Agung, sedangkan Kiai Jejer adalah guru sekaligus mertua Sultan Agung yang juga menjadi tokoh cikal bakal wilayah Jejeran, Bantul.
Seperti Hewan yang Tak Punya Hutan
Sumodiningrat meninggal pada pagi hari terakhir Perang Sepehi, 20 Juni 1812. Peristiwa ini diceritakan dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Pada I-VII. Babad Sepehi adalah karya sejarah primer yang ditulis Pangeran Mangkudiningrat, anak Hamengkubuwono II, yang langsung berada di tengah-tengah pertempuran. Babad ini ditulis pada Selasa, 20 Rabiul Awal 1228 H tahun Ehe atau bertepatan dengan 23 Maret 1813. Dengan kata lain, naskah ini muncul hanya setahun setelah Perang Sepehi.
Diceritakan di dalam Babad Sepehi bahwa Sumodiningrat bertempur di sisi barat Kali Code dan menjaga pos pertahanan bagian tenggara keraton bersama Tumenggung Wiryawinata, adiknya sendiri. Pertempuran pasukan Sepehi dengan Sumodiningrat diceritakan dalam tembang bermetrum Durma, Pupuh II, mulai Pada atau bait ke-6 dan ke-7 (hlm. 55–56). Meski Sumodiningrat sempat mengalahkan pasukan Inggris, pasukan Pangeran Prangwedana mendesak sang panglima dan pasukannya. Hingga akhirnya Sumodiningrat dibunuh di kediamannya (kawasan Tirtodipuran saat ini). Babad Sepehi menceritakannya dalam Pupuh III, Pada atau bait ke-3 sampai ke-7 (hlm. 65–66).
Babad Panular atau disebut juga Babad Ngengreng juga menceritakan terbunuhnya Sumodiningrat. Babad Panular selesai ditulis pada 16 Mei 1816 atau 4 tahun setelah Perang Sepehi. Pangeran Arya Panular (1771-1826) adalah putra Hamengkubuwono I yang menjadi penasihat sekaligus mertua Hamengkubuwono III. Ia menuliskan kesaksiannya di tengah-tengah peristiwa Perang Sepehi. Bahkan, di dalam peristiwa itu, ia termasuk tokoh yang menyelamatkan Adipati Anom atau Surojo, yang kelak menjadi Hamengkubuwono III, dengan membawanya ke Taman Sari. Arya Panular menceritakan terbunuhnya Sumodiningrat di dalam tembang bermetrum Asmaradhana, Pupuh XI, Pada atau bait ke-21 sampai ke-33 (hlm. 40–41).
Sebuah koran kolonial yang terbit 14 hari setelah Geger Sepehi, Java Government Gazette (Vol. 1, No. 19, 4 Juli 1812), juga menceritakan terbunuhnya Sumodiningrat yang ditulis dengan ejaan ‘Toomogong Semood Deningrat’. Peristiwa meninggalnya Sumodiningrat ini juga ditulis Major William Thorn, Deputi Quarter-Master General Angkatan Darat Inggris yang ikut dalam ekspedisi pasukan Inggris-India dalam penaklukan atas Jawa, dalam catatan hariannya. Tiga tahun setelah Perang Sepehi, ia menerbitkan catatan harian itu dengan judul Memoir of the Conquest of Java with the Subsequent Operations of the British Forces in the Orient (1815). Thorn menuliskan nama Sumodiningrat dengan ejaan ‘Toomoogong Senoot Diningrat’ (hlm. 187).
Jenazah Sumodiningrat dikubur pada pukul 22.00. Dikisahkan dalam Serat Salasilah, para pengikut Sumodiningrat mengambil jenazahnya untuk dikuburkan di desa Jejeran (hlm. 207). Desa ini secara administratif masuk dalam wilayah Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta. Wilayah ini adalah permukiman religius yang didirikan Kiai Jejer, leluhur Sumodiningrat, hampir 500 tahun lalu. Sepeninggal Kiai Jejer, wilayah Jejeran dirawat dan dijaga oleh Kiai Kriyan yang juga leluhur Sumodiningrat.
Arsip berbahasa dan beraksara Jawa berupa surat-surat Keraton Yogyakarta, yang termaktub dalam The Archive of Yogyakarta, menyebutkan kedukaan para pengikut Sumodiningrat (konca sumodiningratan) ketika mengetahui meninggalnya junjungan mereka. Dalam surat yang dikirimkan kepada Mas Ngabehi Prawirawijaya dan Kiai Ngabehi Danukrama, mereka menyatakan perasaan kesedihan itu: “[…] raosa konca sumodiningratan punika, kaupamaaken kewan waten ing wana, baten waten ingkang gadhah wana (perasaan orang Sumodiningratan ini, seperti hewan di hutan, tapi tidak punya hutan lagi)” (hlm. 433-434).
M. Yaser Arafat, peneliti makam-makam kuno dan kebudayaan Jawa; dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta