Opini

Setelah Soeharto Pahlawan: 18 Logika Terbalik Reformasi 1998

Senin, 17 November 2025 | 19:10 WIB

Setelah Soeharto Pahlawan: 18 Logika Terbalik Reformasi 1998

Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional tahun ini oleh Presiden Prabowo Subianto (Foto ilustrasi: NU Online/Aceng Darta)

"Apa yang dilakukan karena cinta selalu terjadi melampaui baik dan jahat."

— Friedrich Nietzsche

 

Setelah hampir tiga dekade terombang-ambing dalam himpitan sejarah dan kehidupan, keluarga Cendana kini bisa bernapas lega dan berbahagia. Bagi Keluarga Cendana Pasca-’98 adalah momen tragis, setelah sebelumnya momen penuh senyum-tawa. Seminggu lalu, tepat di peringatan hari besar 10 November, Hari Pahlawan, Soeharto “The Smiling General” dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Yang menobatkan adalah mantan menantunya yang kini presiden. Sungguh mantan menantu yang penuh bakti pada mantan mertuanya. 


Bagi keluarga Cendana, pasca ‘98 tak ubahnya perang psikologis dan historis. Perang yang melelahkan urat nadi. Tentu, mereka tidak tahu bagaimana Herakleitos memandang perang. "Perang (polemos) adalah ayah dari segala sesuatu dan raja dari segala sesuatu; ia telah menyatakan sebagian sebagai dewa, sebagian sebagai manusia; ia telah menjadikan sebagian budak dan sebagian bebas.” Herakleitos, filsuf Yunani pra-Sokrates dari Efesus, menyebutkan ini dalam risalahnya yang dianggap semi-sakral dan semi-publik nan disimpan di Kuil Artemis. 


Begitulah, kemarin perang Keluarga Cendana telah usai. Bapak mereka, Sang Bapak Pembangunan, kini telah sempurna menjadi pahlawan nasional. Pahlawan nasional adalah bahasa modern untuk dewa. 


Penjahat dan pahlawan bisa setipis kulit bawang. Du sublime au ridicule, il n'y a qu'un pas. Dari yang sublime (agung) ke yang konyol hanyalah selangkah. Ucapan Napoleon ini sering ditambah-tambahi para penafsirnya: “Dari yang jahat ke yang hebat hanyalah skala.”  

 

Kekata ini diucapkan oleh Napoleon kepada Duta Besar Prancis untuk Warsawa, Abbé de Pradt, pada Desember 1812, saat melarikan diri dari kehancuran Kampanye Rusia yang merupakan bencana besar buatnya. Dalam hitungan bulan, ia beralih dari sosok nan memimpin Grande Armée yang tak terkalahkan (puncak keagungan/sublime) menjadi figur nan melarikan diri secara diam-diam dan melihat pasukannya hancur oleh musim dingin (jurang kekonyolan/ridiculous).


Bagi Napoleon ia tidak jahat. Sama sekali tidak. Orang akan melihatnya jahat hanya karena ia gagal. "Apa itu kejahatan? Kejahatan adalah kegagalan.” Seorang pemimpin yang ambisius akan melihat tindakan yang dianggap "kejahatan" oleh masyarakat (seperti invasi, kudeta, atau pembunuhan massal) akan dibenarkan oleh keberhasilan.

 

Jika saja Napoleon berhasil mempertahankan Kekaisaran Prancis-nya, semua pertumpahan darah akan diabadikan sebagai "kepahlawanan" dan "tujuan mulia.". Sebaliknya, kegagalan adalah "kejahatan" terbesar, karena kegagalan menghancurkan kekuatan dan menyebabkan pelakunya diadili oleh pemenang dan sejarah.


Napoleon menghabiskan umurnya di pengasingan setelah kalah perang melawan Inggris di Waterloo. Dia diringkus Inggris dan diasingkan ke Saint Helena, sebuah pulau terpencil yang sangat sulit dicapai. Sebelum meninggal, ia menuliskan surat wasiatnya. Kata-kata terakhirnya yang dilaporkan adalah "France, armée, tête d'armée, Joséphine" (Prancis, tentara, kepala pasukan, Joséphine).

 

Pikiran Napoleon dipenuhi keagungan Perancis, kejayaan tentaranya, dan kebesarannya masa memimpin pasukan, ditutup rasa cintanya yang besar pada mantan istrinya, Josephine. Meskipun saling mencintai, mereka bercerai karena alasan politik—Joséphine tidak dapat memberikan Napoleon seorang ahli waris laki-laki yang diperlukan untuk mengamankan dinasti kekaisaran. 


"Kematian satu orang adalah sebuah tragedi; kematian jutaan adalah sebuah statistik." Kalam ini sering dikontekskan ucapan Joseph Stalin. Mungkin tak harfiah, tapi menangkap inti dari ambiguitas moral skala pembunuhan. Tidak heran, Winston Churchill sering kali terkejut dan jijik dengan sikap dingin Stalin terhadap kematian massal.

 

Dalam memoarnya, The Second World War, Churchill menggambarkan salah satu pertemuan mereka di mana Stalin membahas kebutuhan untuk melenyapkan jutaan "musuh rakyat" tanpa menunjukkan emosi. Hal ini menguatkan kesan bahwa Stalin memandang nyawa manusia dalam skala besar sebagai biaya yang abstrak dan terukur. Demikian sejarah bertutur.


Terkait sejarah pula, penganugerahan Soeharto menjadi pahlawan nasional bagi pihak yang mengobarkan bendera reformasi adalah tamparan sejarah yang mengejutkan dan menyakitkan. Tapi, bukan sejarah namanya bila tak menyimpan di balik bajunya manis asin dan getir asam keringat kehidupan.

 

Secara fundamental penganugerahan pahlawan nasional pada Soeharto bisa saja dipandang kontras dengan semangat Reformasi 1998 dan nilai-nilai keadilan. Pemberian gelar ini menciptakan serangkaian logika terbalik yang tidak hanya merombak narasi sejarah, tetapi juga memberikan preseden moral yang tak mengenakkan bagi demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.


Apa saja logika terbalik yang mencolok?


Aspek pertama. Pembatalan Historis Terhadap Nilai-Nilai Reformasi. Logika terbalik ini menempatkan gerakan Reformasi sebagai kesalahan sejarah, bukan sebagai penyelamat bangsa dari otoritarianisme dan korupsi.

 
  1. Aktivis '98 adalah bajingan nasional karena menurunkan pahlawan Nasional. (Perjuangan demokrasi dianggap pengkhianatan).
  2. Mahasiswa dan rakyat yang menuntut Reformasi adalah durhaka terhadap jasa besar bangsa karena menolak/menurunkan tokoh yang diakui berjasa. (Kritik terhadap kekuasaan menjadi tindakan "tidak setia").
  3. Pelanggaran HAM berat, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) selama 32 tahun masa Orde Baru adalah kebohongan atau hal kecil yang bisa diabaikan demi "jasa pembangunan". (Kejahatan moral dan sistemik dianggap tidak relevan).
  4. Hukum dan keadilan bagi korban kekerasan Orde Baru menjadi tidak relevan karena yang bersangkutan adalah Pahlawan Nasional. (Proses rekonsiliasi dan penegakan HAM terhambat).
  5. Pengunduran diri Soeharto pada 1998 adalah pengorbanan suci seorang negarawan, bukan akibat tekanan rakyat yang menuntut pertanggungjawaban. (Kekalahan politik diubah menjadi narasi kebesaran hati).
  6. Gerakan perlawanan dan perubahan sistem yang didorong oleh rakyat adalah suatu kesalahan sejarah, dan stabilitas otoriter adalah bentuk terbaik dari "nasionalisme". (Demokrasi dianggap kurang penting dibandingkan ketertiban Orde Baru).

    Aspek kedua: Normalisasi Impunitas dan Otoritarianisme. Aspek ini memperlihatkan bagaimana gelar pahlawan akan membenarkan metode represif dan sistematis dalam mempertahankan kekuasaan.
     
  7. Pembubaran Orde Lama (1966) oleh Soeharto menjadi tindakan paling heroik dan tanpa cacat, sedangkan Tragedi 1965/1966 (pembantaian massal) menjadi konsekuensi yang sah dari penyelamatan bangsa. (Pelanggaran HAM masif dianggap "pengorbanan yang diperlukan").
  8. Penindasan terhadap pers dan kebebasan sipil (otoritarianisme Orde Baru) adalah cara yang benar untuk menjaga stabilitas dan pembangunan, dan bukan merupakan tindakan antidemokrasi. (Sensor dan pembatasan hak berpendapat dianggap sebagai kebijakan bijak).
  9. Utang luar negeri dan praktik KKN yang membuat negara bangkrut pada 1997/1998 adalah "kecelakaan kecil" dalam sejarah pembangunan ekonomi yang sukses. (Kegagalan sistemik dan moral dianggap hanya sebagai hambatan sesaat).
  10. Tuntutan untuk Mengadili Soeharto (TAP MPR No. XI/1998) yang mendorong pengusutan kekayaan Soeharto dan antek-anteknya menjadi tidak berdasar atau gugur secara moral. (Tuntutan akuntabilitas dibatalkan oleh gelar pahlawan).
  11. Gugatan perdata terhadap Soeharto (Yayasan Supersemar) atas penyalahgunaan dana menjadi tindakan penghinaan terhadap kehormatan bangsa. (Upaya penegakan hukum dan pengembalian aset negara dicap cacat).
  12. Pendukung Orde Baru, yang menolak Reformasi dan merindukan masa lalu otoriter, menjadi pihak yang paling benar dan patriotik secara historis. (Pihak pro-demokrasi dicap sebagai perusak "stabilitas").

    Aspek ketiga: Pengaburan Etika Publik dan Standar Internasional. Aspek ketiga logika terbalik ini menunjukkan dampak buruk pemberian gelar terhadap standar etika kenegaraan dan pandangan dunia.
     
  13. Laporan-laporan internasional dan temuan Komnas HAM mengenai pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Aceh, Papua, dan Tragedi Mei 1998 secara implisit dianggap tidak valid atau sebagai campur tangan asing yang tidak relevan. (Fakta-fakta yang diakui secara global tentang kekerasan negara menjadi tidak penting).
  14. Para tokoh Reformasi, seperti B.J. Habibie, yang mengambil langkah progresif untuk menyelesaikan masalah Timor Timur melalui referendum, dapat dianggap kurang patriotik dibandingkan Soeharto yang mempertahankannya melalui kekerasan. (Penegakan hak asasi dinilai rendah dibandingkan mempertahankan teritori secara otoriter).
  15. Peraih penghargaan internasional untuk hak asasi manusia atau anti-korupsi yang vokal mengkritik Orde Baru akan terkesan melebih-lebihkan atau keliru dalam pandangan sejarah resmi negara. (Suara nurani global dan etika publik dianggap sepele).
  16. Peran sentral militer (ABRI/TNI) dalam politik sipil (Dwifungsi ABRI) adalah model kepemimpinan yang ideal, dan tuntutan Reformasi untuk mengembalikan TNI ke barak adalah kesalahan historis. (Militerisme dan intervensi politik dianggap sebagai jasa kepahlawanan).
  17. Indeks persepsi korupsi yang rendah pada masa Orde Baru bukan masalah, karena kekayaan yang terkumpul di tangan keluarga dan kroni dianggap sebagai hasil wajar dari pembangunan ekonomi yang terpusat. (Penjarahan kekayaan negara dianggap bagian dari "keberhasilan").
  18. Semua negara yang mengalami transisi demokrasi dari rezim otoriter harusnya belajar dari Indonesia untuk tidak mengkritik atau menghukum pemimpin otoriter mereka setelah berkuasa. (Indonesia memberikan preseden buruk secara global).
 

Kalakian, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar pengakuan jasa, melainkan perombakan nilai-nilai inti Reformasi. Hal ini menciptakan ambiguitas moral yang membenarkan otoritarianisme, menormalisasi impunitas, dan menempatkan "stabilitas" di atas demokrasi, akuntabilitas, dan penegakan HAM. Dampaknya adalah penulisan ulang sejarah yang secara efektif mendiskreditkan perjuangan rakyat untuk keadilan dan kebebasan.


Sebagai penutup, mungkin aforisme berikut bisa menutup pikiran kita. "Manusia adalah seutas tali, terentang antara binatang dan Uebermensch (Overman/Superman)—seutas tali di atas jurang. Yang berbahaya adalah menyeberang, yang berbahaya adalah melihat ke belakang, yang berbahaya adalah gemetar dan berhenti."

— Friedrich Nietzsche

 

Riza Bahtiar, peminat studi kebudayaan