Siapakah sosok ulama? Tokoh Sufi dari Maroko abad 13 H, Syekh Muhammad bin 'Ajibah, menerangkan bahwa seorang ulama memiliki tiga macam karakter sekaligus.
Pertama,
‘alim, yakni mewarisi ilmu dan pengajaran Nabi dengan landasan keikhlasan.
Kedua,
‘abid, mewarisi Nabi dalam hal ahli ibadah dan mujahadah kepada Allah.
Ketiga,
‘arif yakni meneladani amal Rasulullah serta akhlak (mental) beliau berupa: zuhud (tidak mempunyai ketergantungan kepada dunia),
wara' (sangat menjaga kehormatan dirinya),
hilm (
lapang hati dan toleran), serta
mahabbah (rasa kecintaan kepada Allah dan segala yang dicintaiNya).
Dari penggambaran Ibnu Ajibah tersebut, izinkan saya mengagumi sosok Syekh Muhammad Idrus, salah satu tokoh ulama yang dimiliki bumi Nusantara ini. Beliau adalah raja Kesultanan Buton (daerah Sulawesi Tenggara) yang ke-28, memerintah tahun 1824-1851. Syekh ditahbiskan sebagai Sultan Buton ketika umurnya 40 tahun. Di masa mudanya dikenal sebagai ksatria panglima perang, ahli strategi pertahanan. Ketika masa kepemimpinannya, Buton mulai menyusun peraturan tertulis kesultanan, membuktikan bahwa Muhammad Idrus ulung dalam hal tata-negara dan tata pemerintahan. Beliau berhasil mengawinkan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kearifan lokal. Pada era kekuasaannya, Buton mengalami masa kejayaan.
Mengagumkan, karena meski menduduki jabatan tertinggi, beliau termasuk sufi besar pada zamannya. Penganut tarekat Khalwatiyah, budi pekertinya agung, berwibawa, dan diakui kealimannya. Banyak karya ilmu keagamaan lahir dari tangannya, baik kitab-kitab dalam bahasa Arab maupun bahasa lokal. Singkat kata, beliau adalah panutan dalam hal kepemerintahan sekaligus keagamaan. Hidup tidak silau oleh dunia, meskipun berada di singgasana pemerintahan. Kecintaan terhadap agamanya seiring rasa cinta terhadap negerinya. Raja yang mengayomi di hadapan rakyatnya, sekaligus hamba yang tunduk di hadapanSang Pencipta.
Itulah gambaran seorang ulama sejati. Seperti yang telah digambarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin:
وكل واحد منهم كان عابدا و زاهدا وعالما بعلوم الآخرة وفقيها فى مصالح الخلق ومريدا بفقهه وجه الله تعالى
"Para ulama adalah orang-orang yang tekun ibadah, zuhud, berilmu tentang akhirat, mengerti kemaslahatan umat (berilmu duniawi), dan ilmunya tersebut ditujukan untuk mengabdi kepada Allah SWT. "
Waktu terus berjalan, hingga kita hidup di zaman sekarang dengan bermacam masalah dan tantangan yang lebih kompleks. Ajaran agama dan tatanan negara tetap dianut dan ditaati oleh masyarakat. Ulama hadir di tengah-tengah kita. Tapi tampaknya, identitasnya mengalami gugatan akibat sebagian mereka yang terlibat perseteruan politik. Hingga otoritas ulama terasa mulai pudar.
Tak heran jika mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang ulama yang pernah mencicipi jabatan kepala negara dan pemerintahan layaknya Syekh Muhammad Idrus Buton itu, dalam pencariannya terhadap sosok ulama, akhirnya sempat jatuh cinta kepada sosok Kiai Kampung. Dalam sebuah pidato, Gus Dur menyampaikan:
“..Siapa yang perilakunya menjadi contoh bagi kita, tidak lain tidak bukan adalah ulama secara keseluruhan. Walaupun zaman sekarang ada ulama politik dan sebagainya, tapi ulama-ulama yang betul-betul masih ikhlas itulah yang kita pegangi. Kalau pakai istilah saya: “kiai kampung”, itulah: yang menghidupi pesantren, mengisi pengajian-pengajian, mempertahankan madrasah, mengisi masjid-masjid dengan pengajian, dan sebagainya. Mereka itulah yang harus kita perhatikan.”
Kesimpulannya, seorang ulama adalah cerminan dari sikap ikhlas. Lalu, masih adakah ulama yang benar-benar ikhlas sekarang ini? Jawaban atas pertanyaan ini jelas tidak bisa ditemukan melalui ceramah televisi, portal website atau video Youtube, melainkan merasakan langsung pengalaman dan praktik hidup keseharian mereka.
Penulis adalah aktivis Gusdurian