Langit di Bandara Silampari, Lubuk Linggau, tampak bersih ketika pesawat Batik Air yang saya tumpangi mendarat dengan mulus. Ini adalah satu-satunya penerbangan menuju gerbang kecil yang menjadi pintu masuk ke Musi Rawas. Sambutan meriah dari kader Pagar Nusa, tokoh masyarakat, dan aparat kepolisian menyambut saya dengan penuh kehangatan. Dalam senyum mereka, saya melihat harapan besar yang akan menjadi momen bersejarah bagi Pagar Nusa Musi Rawas.
Ini adalah kali pertama Ketua Umum Pagar Nusa hadir langsung di Musi Rawas. Bagi saya, ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ada tanggung jawab besar untuk memastikan perjuangan kader Pagar Nusa di sini mendapatkan dukungan penuh.
Semangat yang Membara di Malam Pembukaan
Malam itu, di Pondok Pesantren Walisongo, ratusan kader dan tokoh telah berkumpul untuk mengikuti khataman Al-Qur’an dan tasyakuran, membuka rangkaian acara Tasyakuran dan Pembaiatan Anggota Baru Angkatan Ke-6. Ketika saya berdiri di hadapan mereka, saya merasakan energi yang luar biasa, semangat yang menyala untuk terus memperkuat organisasi.
Dalam sambutan saya, saya mengajak seluruh kader untuk memulai langkah besar: membangun Padepokan dan Sekretariat Pagar Nusa Musi Rawas. “Padepokan ini adalah rumah perjuangan kita. Dengan niat berjuang di jalan Allah dan semangat gotong royong, saya yakin kita bisa mewujudkannya,” ucap saya.
Saya meminta setiap kader berdonasi dua sak semen per bulan selama tiga bulan. Sebagai langkah awal, saya menyerahkan 500 sak semen. Sambutan kader begitu luar biasa, menegaskan bahwa gotong royong adalah kekuatan sejati organisasi ini.
Namun, momen paling menggetarkan malam itu datang di akhir acara pembukaan. KH Usman Syafei, Ketua PCNU Musi Rawas, berdiri dan mengumumkan hibah tanah pribadinya seluas 2.500 meter persegi untuk pembangunan padepokan. Suasana seketika riuh oleh takbir dan tepuk tangan.
“Hibah ini adalah wujud dukungan kami untuk Pagar Nusa. Semoga tanah ini menjadi awal lahirnya generasi pendekar yang menjaga agama, bangsa, dan budaya,” ujar KH Usman dengan nada penuh keyakinan.
Saya terharu mendengar pengumuman itu. Hibah ini bukan sekadar tanah, tetapi simbol kepercayaan, dukungan, dan semangat kebersamaan yang luar biasa.
Pagi yang Penuh Inspirasi
Ahad pagi, suasana menjadi lebih semarak. Acara dilanjutkan dengan ijazahan oleh KH Badrul Huda Zainal Abidin (Gus Bidin). Dalam pesannya, Gus Bidin mengingatkan pentingnya menjaga niat yang tulus dan kedisiplinan sebagai pendekar.
Setelah itu, prosesi pembaiatan 300 anggota baru berlangsung khidmat. Wajah-wajah muda penuh semangat itu adalah masa depan Pagar Nusa. Saya merasa bangga bisa memimpin mereka menjadi bagian dari keluarga besar Pagar Nusa.
Penutup dengan Energi Pencak Dor
Acara ditutup dengan pertandingan Pencak Dor, dipimpin oleh K. Abdul Lathif (Mbah Lathif) dan atlet nasional Johny Hunter. Setelah Mbah Lathif membuka pertandingan, para pendekar naik ke genjot—panggung khusus pencak dor—untuk menunjukkan keahlian dan menguji kemampuan mereka. Mental menjadi modal utama bagi siapa pun yang naik ke genjot, karena di sana setiap gerakan adalah pertaruhan keberanian, keahlian, dan kehormatan.
“Pencak Dor adalah bagian dari tradisi pencak silat yang harus terus kita lestarikan,” ujar Mbah Lathif di sela-sela pertandingan. Tradisi ini, katanya, memiliki makna mendalam. Bukan hanya adu fisik, tetapi juga upaya untuk mengurangi pertarungan jalanan dan menggantinya dengan ajang yang penuh sportivitas.
Dengan slogan “di atas lawan, di bawah kawan”, Pencak Dor mengajarkan pendekar untuk tetap menjunjung tinggi persahabatan meskipun berhadapan sebagai lawan di atas genjot. Penampilan para pendekar malam itu menjadi bukti bahwa seni bela diri tradisional ini masih memiliki tempat istimewa dalam budaya dan kehidupan masyarakat.
“Jadikan pencak silat sebagai cara hidup, bukan sekadar pertarungan. Di atas genjot, kita bertarung untuk melatih diri. Di bawah, kita tetap bersaudara,” pesan Mbah Lathif menutup pertandingan.
Pertunjukan itu memukau semua yang hadir. Setiap gerakan penuh tenaga dan presisi mengingatkan kami bahwa pencak silat bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga soal filosofi hidup—mengendalikan diri, menghormati lawan, dan menjaga persaudaraan.
Refleksi dan Harapan
Menjelang keberangkatan kembali ke Jakarta, saya menyempatkan diri berbincang dengan beberapa kader. Mereka bercerita tentang perjalanan panjang membangun Pagar Nusa di Musi Rawas sejak 2019. Dari cerita mereka, saya memahami bahwa perjuangan ini tidak mudah, tetapi semangat mereka yang tak pernah padam adalah kunci keberhasilan.
“Musi Rawas adalah rumah perjuangan kita. Dari tanah ini, kita bangun masa depan Pagar Nusa yang lebih kokoh, lebih mandiri, dan lebih bermartabat,” ucap saya kepada mereka.
Pesawat yang membawa saya meninggalkan Bandara Silampari perlahan mengudara, tetapi hati saya tetap tertinggal di Musi Rawas. Ada keyakinan bahwa dari tanah ini, perjuangan besar akan terus tumbuh dan menyebar ke seluruh Indonesia. Laa ghaaliba illa billah. (*)
Muchamad Nabil Haroen, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, anggota DPR RI 2019-2024, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa