Opini

SKB dan Hak Kebebasan yang Terampas

Ahad, 22 Juni 2008 | 23:00 WIB

Oleh Heri Kurniawan

Senin, 9 Juni 2008, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3/2008, Nomor Kep-03/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008, tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan masyarakat.

Sontak, keputusan ini membakar kembali api amarah sejumlah kalangan. Setelah tragedi Monas yang diprakarsai massa Front Pembela Islam (FPI) menyerang para aktivis Aliansi Kebebasan untuk Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) 1 Juni 2008 sempat membakar emosi seluruh lapisan masyarakat. Kembali, gejolak emosi itu berkobar-kobar. Walaupun itu hanya terjadi pada sebagiaan kecil lapisan masyarakat. Kobaran emosi itu kini dirasakan betul para pengikut JAI.<>

Ya, ada semacam luka yang menyayat-nyayat di tubuh mereka, sehingga emosi harus diletupkan sebagai jalan perlawanan. Luka itu berupa kebebasan (freedom) dan hak-hak kemanusiaan (human right) yang dirampas paksa oleh pemerintah.

JAI dan para penganutnya dilarang keras melakukan kegiatan yang dianggap melanggar aturan, seperti yang tertuang dalam poin kedua SKB; “Pemerintah memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam umumnya, seperti pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad.

Terampas

Ditetapkannya SKB telah memberi pertanda, bahwa pemerintah telah merampas kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam berkeyakinan dan beragama. Pemerintah telah gagal menjaga dan memelihara pluralisme kebangsaan. Dan, pantas jika lalu muncul sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Kelompok Kerja Hak Asasi melaporkan SKB tentang Ahmadiyah dalam Sidang Pleno ke-8 Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, seperti dilansir Koran Tempo On The Web (11/06).

Lihatlah kembali Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU itu memberi satu landasan normatif yang begitu mendasar dan tegas, "bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat." Ditambah lagi pasal 22 yang menegaskan: “1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".” Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan.".

UU itu semakin mengukuhkan bahwa SKB adalah bentuk dari perampasan HAM. Karena itu, sangat pas jika saat ini pemerintah diposisikan sebagai pihak yang dipersalahkan, karena telah melanggar UU HAM. Di atas disebutkan, setiap orang bebas memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Dan, pemerintahlah yang seharusnya menjadi satu institusi yang berdiri di garda paling depan. Bukan malah menodainya sendiri.

Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan internasional sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.

Secara tidak langsung, Indonesia sebagai bagian ICCPR, yang terikat dengan semua aturan yang telah ditetapkan. Jadi, dapat dimaknai, pelanggaran ini bukan lagi menjadi pelanggaran pemerintah dalam satu kawasan kecil, melainkan dalam ranah yang begitu luas, yakni seluruh dunia. Karena Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Di Indonesia sendiri, jauh hari, pemerintah telah menetapkan UU-nya kepada seluruh warga masyarakat untuk menjamin kebebasan beragama. Lihat pasal Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen disebutkan: “1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali"; “2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya." Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29, “(1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", “(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu." Tapi, mengapa, SKB itu harus dikeluarkan? Ini satu bentuk ketidakkonsekuennya pemerintah dalam memegang aturan yang dibuatnya sendiri.

Tidak sekali ini saja pemerintah melakukan pemasungan terhadap eksistensi sebuah agama. Perlakuan seperti itu juga pernah menimpa kelompok Lia "Eden" Aminuddin. Mereka di vonis 2 tahun karena dituduh telah melakukan penodaan terhadap agama. Vonis itu didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 156a yang berbunyi "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakuan perbuatan; a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

Indonesia adalah negara yang sejak lahir menganut Pancasila sebagai ideologi. Dan UUD 1945, sebagai landasan hukum. Hukum yang telah ditetapkan harus dapat diaplikasikan secara maksimal dan sempurna pada masyarakat. Menyeluruh tanpa dibarengi diskriminasi terhadap golongan tertentu.

Mengapa tidak agama atau ideologi lainnya yang dipakai? Karena Indonesia adalah negara yang sangat pluralis-multikulturalis. Di dalamnya memiliki beragam warna ras, suku, budaya, dan termasuk agama. Selain Islam, ada agama Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Ini kemudian yang melandasi lambang ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia.

Sudah saatnya segala ketetapan yang dikeluarkan pemerintah dibarengi sifat arif, bijak, dan dan adil, bukan dengan kesewenang-wenangan, dan penindasan seperti ini.

Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Politik pada The Hasyim Asy'ari Institute, Yogyakarta


Terkait