Oleh Muhamad Dopir
Ceramah Oki Setiana Dewi tempo lalu menunai banyak kritik, tak kurang pihak yang juga turut mencemoohnya. Alangkah elok, peristiwa ini menjadi momentum menghangatkan kembali diskursus kesetaraan gender yang kurang membumi. Di awal reformasi, salah satu agenda perubahan penting kala itu adalah isu kesetaraan gender. Sejumlah aktivis perempuan giat menyuarakan pentingnya pengakuan hak kesetaraan di berbagai sektor antara laki-laki dan perempuan.
Lahirlah sejumlah lembaga kajian, NGO, komunitas-komunitas yang memperjuangkan hak dasar perempuan agar sepadan dengan kaum laki-laki. Salah satu keberhasilan agenda reformasi itu adalah dibentuknya Komnas Perempuan dan kementerian yang membidangi peranan perempuan. Juga, Undang-Undang Pemilu yang mengamanatkan keterwakilan perempuan sebesar tiga puluh persen sebagai calon legislatif dari masing-masing partai politik.
Lebih dari dua dekade jalannya reformasi, sejumlah perempuan menempati posisi strategis di sejumlah bidang. Terbaru, organisasi masyarakat terbesar, NU, menempatkan kader-kader perempuan hebat dalam jajaran tanfidziah yang lazim diduduki oleh ulama laki-laki.
Sayangnya, isu kesetaraan gender dirasa kurang menyentuh pemahaman awam. Apakah karena kemunculan peran-peran perempuan yang sudah semakin membaik? Atau, apakah karena isu kesetaraan gender ini bersifat elitis, kurang menyentuh akar rumput? Secara faktual, eksistensi perempuan yang berprestasi sudah biasa kita saksikan. Padahal, boleh jadi watak patriarki kita masih ajeg.
Menurut saya, peristiwa ceramah Oki yang tampak permisif terhadap KDRT ini membuktikan bahwa ideologi patriarki masih kental. Sangat disayangkan memang, seorang yang terpelajar, terjebak pada pilihan tema dakwah yang 'menormalkan' kekerasan dalam rumah tangga.
Tiga Dosa Pendidikan
Dampak negatif yang paling nyata dari cara pandang patriaki adalah kekerasan terhadap perempuan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun perguruan tinggi. Tak kurang kekerasan di lingkungan kerja dan ruang-ruang publik.
Dalam sebuah kesempatan, Nadiem mengakui bahwa tiga dosa besar pendidikan adalah perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Kekosongan aturan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi diakomodasi dalam Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021. Namun, upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan tak boleh berhenti pada konteks Peraturan Menteri dan atau Perundang-Undangan.
Karena diakui sebagai dosa besar pendidikan, maka sangat mendesak, Kemendikbudristek perlu memasukkan isu ini pada wajah kurikulum pendidikan. Berhenti pada aturan Perundang-Undangan tak menjamin hilangnya kejahatan ini, sebab wacana yang harus menyentuh relung kesadaran ini tak lepas dari peran orang tua dan guru dalam mendidik anak-anak. Jika dalam benak orang dewasa, dalam hal ini orang tua dan guru terpatri pemahaman bias gender, seperti khotbahnya Oki maka potensi kemunculan kekerasan tak bisa dihindari meski ada aturan yang mengancam keras pelaku.
Jika seorang menteri mengakui bahwa kekerasan seksual adalah dosa besar pendidikan, ini berarti kita sedang mengalami kondisi darurat. Dan menurut saya, ini merupakan undangan bagi para akademisi yang fokus dalam isu gender dan para aktivis perempuan untuk kembali turun gunung membawa isu kesetaraan dengan bahasa yang lebih membumi masuk dalam ruang-ruang keluarga yang awam terhadap wacana ini. Juga membantu Mendikbudristek menyusun kurikulum yang memuat isu kesetaraan gender menjadi bagian penting dari tema-tema pembelajaran.
Sebaliknya, inisiatif menjemput bola harus dilakukan oleh Mendikbudristek mengundang pakar isu kesetaraan gender untuk menerjemahkan prinsip kesetaraan ke dalam kurikulum pendidikan. Hal ini sangat krusial sebagai upaya aktif mencegah kekerasan terhadap perempuan yang merupakan dampak turunan dari cara pandang yang nirkeadilan.
Tafsir keagamaan yang patriarkis kawin dengan tradisi yang lekat dengan ideologi patriarki akan menguatkan paradigma bias gender. Dalam agama islam, tafsir kitab suci yang bias gender sudah banyak ditafsir ulang dengan pembacaan yang mengarusutamakan prinsip keadilan gender. Perlu kiranya, tafsir tersebut mudah dicerna oleh pembaca awam. Dan, cara dini untuk meretas ideologi patriarki adalah pendidikan. Jika ini dilakukan, ke depan, dakwah seperti Oki Setiana Dewi diharapkan tak terulang. Lebih dari itu, tak ada lagi kekerasan terhadap perempuan.
Kita tentu tak ingin lagi ada berita pilu terkait kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di rumah atau sekolah. Juga tak ingin lagi ada kekerasan seksual di perguruan tinggi, di ruang-ruang publik, di tempat kerja, dan lain sebagainya. Semoga.
Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Nihadlul Qulub, Pemalang, Jawa Tengah.