Opini

Tersesat di Majelis Taklim Online

Rabu, 29 Januari 2025 | 15:15 WIB

Tersesat di Majelis Taklim Online

20 situs web keislaman populer (Foto: Islami.co)

Malam-malam seorang teman menghubungi saya. Ia meminta dibuatkan semacam kurikulum untuk belajar tentang Islam mulai dasar. Di usianya yang mulai kepala empat, ia ingin belajar lebih serius tentang Islam, katanya. 


Menurut pengakuannya, ia sudah mulai membaca buku-buku keislaman dan menonton banyak video majelis taklim melalui internet. Tapi bukannya mendapatkan penjelasan yang terang tentang Islam, ia justru merasa terperosok ke dalam kegelapan yang membingungkan. Limpahan informasi itu  ia rasakan begitu rumit, berbelit, tak jarang bahkan saling menegasikan.


Perasaan itu barangkali muncul karena ia tidak pernah belajar Islam secara sistematis seperti di sekolah-sekolah formal berbasis agama atau pesantren. Untuk itulah ia memerlukan sebuah peta agar bisa keluar dari lingkaran kegelapan itu melalui proses belajar dengan urutan yang tepat.


Saya belum bisa menggambarkan peta yang diharapkan. Belum tahu kebutuhan yang diprioritaskan, apakah materi terkait akidah dan akhlak, fikih, ushul fikih, Al-Qur'an dan hadits, sejarah Islam atau lainnya, kalau menggunakan pengelompokan mata pelajaran di madrasah dulu.


Sebagai awalan, rencananya saya akan merekomendasikan buku Islam antara Cita dan Realitas. Buku karya Seyyed Hossein Nasr yang dialihbahasakan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Hasyim Wahid (Gus Im) itu sepertinya bisa menjadi pengantar yang baik untuk mengenal Islam. 


Buku tersebut menyajikan masalah-masalah pokok yang menjadi perhatian umat Islam, dimensi-dimensi pemikiran yang berkembang, perbedaan ajaran antar-"aliran", juga perkembangan Islam dalam kenyataan sejarahnya yang panjang akibat perjumpaan atau konfrontasinya dengan unsur-unsur baru di tempat baru. Dengan begitu buku itu ia punya bekal untuk memahami dinamika serta warna-warni Islam dengan hati dan pikiran lebih tenang. 


Namun soal buku, prioritas dan "kurikulum" akan saya didiskusikan waktu kami ketemu saja. Persoalan terkait pengalaman buruknya dengan majelis taklim itu menarik untuk dibahas. Ia bercerita bagaimana ia menemukan banyak materi yang saling serang di video-video keagamaan. Satu majelis menyebutkan bahwa perbuatan A sunah dan baik dilakukan, sementara di majelis lain perbuatan itu dituduh bidah atau syirik dan harus dijauhi. 


Saya kira pengalaman serupa juga dialami oleh banyak orang. Ada ratusan konten yang isinya mempersoalkan masalah furu' (cabang) dan khilafiyah. Perbedaan pandangan tersebut kemudian tak jarang membuat orang mengeluarkan saudaranya dari agamanya. Bagi yang baru belajar tentang Islam dan butuh kepastian, hal itu tentu merisaukan.


Saya menemukan masalah yang sama dalam sejumlah konten. Seorang ustadz punya materi ceramah menarik. Ia kerap menggunakan istilah "mengalami" Al-Qur'an untuk menunjukkan pentingnya menghadirkan pesan Kita Suci dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasannya tentang ayat-ayat Al-Qur'an pun terdengar relate dengan kenyataan sekitar.  


Ketika menjelaskan tentang surat al-Fil, misalnya, ia tidak sibuk dengan peristiwa perang gajah. Baginya Al-Qur'an bukan buku sejarah. Sebaliknya, ia mengelaborasi simbol gajah dan burung sambil mengaitkannya dengan potensi manusia. Begitu juga penafsirannya tentang setan, jin, siksa kubur, syafaat, kiamat atau hal-hal yang sering dikategorikan sebagai gaib. Semua diuraikan secara empirik sambil sesekali mencibir pemahaman tradisional.


Namun model tafsir seperti itu menimbulkan masalah lain. Misalnya, ketika ia mengkritik penerjemahan kata al-qari’ah sebagai hari kiamat. Terjemahan itu keliru dan tidak berdasar. Menurutnya arti kata al-qari'ah adalah "pembaca", yakni pembaca diri. 


Sanggahan sang ustadz sendiri tidak didasarkan pada analisis linguistik. Ia tidak peduli (atau tidak paham?) bahwa keduanya berakar dari kata yang berbeda. Ia hanya mengajukan contoh pemakaian di masyarakat ketika menyebut orang yang bertugas membaca Al-Qur'an sebagai qari'. Lantas disimpulkan bahwa arti qari' adalah pembaca. Nah, tambahan 'ah pada al-qari'ah merupakan bentuk feminin artinya adalah pembaca perempuan.


Pemaksaan tafsir juga muncul dalam kritik sang ustadz terhadap cara orang membaca Al-Fatihah. Tepatnya pada ayat Alhamdulillahirabbil 'alamin yang terdengar seperti tersambung pada lillahi rabbil. Cara membaca yang benar adalah ada jeda yang jelas antara kata lillahi dan rabbil 'alamin.


Sampai di sini tidak ada masalah. Kata lillahi dan rabbi (al-alamin) memang bukan satu kata. Masalahnya adalah alasan yang ia sampaikan. Bacaan yang 'terdengar' disambung itu tidak hanya salah tapi juga berbahaya karena di sana muncul kata hirab yang berarti perang. "Pantas saja kita ini suka perang karena baca Fatihahnya salah," katanya memberikan analisis. Padahal, di kamus bahasa Arab mana pun tidak bakal kita temukan penjelasan bahwa hirab berarti perang.


Perkara-perkara kecil semacam ini masih sering kita temui dalam konten keagamaan. Bahkan dari penceramah dengan pengikut yang besar. Kesalahan itu diunggah di media sosial dan menjadi konsumsi publik. Bagi yang paham akan melontarkan kritik balasan, tapi bagaimana dengan yang awam?


Di sinilah pentingnya panduan untuk mengenali identitas konten-konten yang ada; ke mana afiliasinya dan bagaimana metode berpikirnya. Dengan begitu kita bisa menimbang atau mengetahui model-model pemahaman keagamaan. Atau setidaknya kita harus tetap menjaga kesadaran dan sikap kritis di tengah banyaknya orang yang mendadak merasa menjadi pakar untuk hal-hal yang tidak sebetulnya tidak ia kuasai. 


Muhammad Zaid Su'di, penulis isu-isu aktual di berbagai media