Belanda jengkel, politik pecah-belah, devide et impera-nya mendapat hambatan. Ini terjadi di wilayah Mandailing Ankola, Tapanuli Utara-Sumatra Utara kisaran tahun 1849. Waktu itu, A.P Godon, Asisten residen Mandailing ngotot atas kuasanya mengkotak-kotakkan agama, utamanya Kristen-Islam-Pelebegu. Gampangnya, Islam-Kristen dikondisikan terpisah dan mengkristenkan warga penganut Pelebegu, agama atau kepercayaan pra Islam-Kristen.
Saat pensiun di 1857, Godon bilang dalam momen diskusi:
“Dalam laporan umum tahun 1849 selaku Asisten Residen Mandailing Angkola, saya menyatakan bahwa guru agama Kristen pada saat itu masih bisa bekerja dengan dengan baik. Saya sarankan agar antara suku Melayu-Batak Islam dan Batak harus dipisahkan dengan jelas. Metode yang paling baik adalah menyeru orang-orang Batak pelebegu agar masuk Kristen." (Lihat O.J.H. Graaf van Limburg Stirum, hal. 126).”
Pemerintah pusat kolonial mendukung penuh gagasan ini. Tahun 1889, Gubernur Jenderal Belanda keluarkan surat isi pentingnya kepala desa atau pegawai Muslim dilarang memimpin penduduk non-Islam. Ada tambahan, kebiasaan yang mendukung Islam pun tidak dibenarkan (lihat: Beslit Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889).
Di tingkat bawah, ketidaksukaan pada Islam terasa nyata. Dua orang Residen Tapanuli, Westenberg dan Barth nyata-nyata pecat kepala desa yang mualaf, pemecatan itu disambut sumringah pemerintah pusat karena sejalan dengan beslit rahasia 1889 tersebut. (M. C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands Indie, 1906-1942, (Arnheim, 1966) Hal. 112).
Nyatanya, lelaku Belanda ini tak mulus. Mereka lupa berhitung, ada tokoh masyarakat yang digdaya melawan itu semua, beliaulah Syekh H. Ibrahim Sitompul bergelar Patuan Longgom Syah. Ia tak sendiri, berdiri tegak berdampingan, saudaranya yang lain Janji Angkola Pabean Sitompul. Kedua bersaudara ini mempertahankan kehormatan bapaknya, Aman Jahara Sitompul, sang kepala desa dalam sebuah kasus. Sang Bapak dipecat Belanda lantaran jadi Muslim, ikut anaknya tahun 1903. Jadi jelas, Beslit Rahasia dijalankan terang-terangan.
Syekh Ibrahim lakukan perlawanan secara intelektual. Ia ikhtiar lakukan aksi politik berdiskusi dengan Dr. Haze dari Adviseur voor Islandsche zaken. Lembaga ini semacam konsultan yang beri nasehat pada Pemerintah, berdiri 1899.Boro-boro ditanggapi cepat, hasil diskusi ini baru disimak 6 tahun kemudian, 1909-bayangkan!
Sesuai tupoksinya, meneer Hazeu lakukan imbauan pada pemerintah terkait protes Syekh Ibrahim. Feedbacknya, ditolak mentah-mentah oleh residen Westenberg. Kaum kolonial di tanah Batak ini keukeuh: pegawainya sudah lakukan tugas dengan baik, tidak melenceng dari yang digariskan, kebijakan tahun 1889. Berlapis makin kuat, sikap residen diperkuat penjajah lewat Frijling, Penasehat Urusan Luar Jawa. Kebijakan pemecatan sang kepala desa wajib dilaksanakan.
Perjuangan pun makin berat. Apa sebab? Muncul surat keputusan pimpinan tertinggi penjajah di Indonesia, Gubernur Jenderal Penjajah tanggal 5 Juni 1919. Mereka tegas melicinkan pemecatan ini (Christelijke Zending en Islam in Indonesia- Koleksi GAJ. Hazeu, No. 42, KITLV, Leiden).
Skenarionya dibuat halus seolah-olah demokratis. Pada Maret 1919, dibuat pemilihan kepala desa baru di Janji Angkola, kandidat Syekh Ibrahim Sitompul dan lawannya Aristarous. Perhatikan komposisi warga disana, warga Kristen ada 400 orang sedang Muslimnya 60 orang. Ini bukan soal agama, tapi kredibilitas, dalam pemilihan demokratis Syekh Ibrahim Sitompul menang. Artinya, warga Kristen pun respect atas kualitas leadership Syekh.
Belanda kalang kabut. Residen Vorstman maklum. Instruksi rahasia 1889 harus jalan. Jalan pintas, dilakukan pemilihan ulang. Harapannya, warga Batak pindah haluan untuk tak sokong Syekh jadi kepala desa. Faktanya, warga bergeming, tetap pada pendirian Syekh Ibrahim Sitompul paling pas memimpin mereka. Putaran kedua menang tipis, 218 untuk Syekh dan 204 untuk lawannya. Belanda kalah, mau tak mau terima nasib.
Leadership Syekh menorehkan tinta emas toleransi beragama di wilayah ini. Walau di sana mayoritas Kristen Protestan, suasana damai, menerima keberagaman sangat terasa. Ini semua ikhtiar Syekh dan menjadi ladang amal beliau, gambaran Islam rahmatan lil aalamin. Tokoh Tarekat Naqsyabandiyah ini dikenal insan inspiratif, nasionalis terang-terangan melawan Belanda. Kedamaian beragama di wilayah ini, terinspirasi oleh kepemimpinan beliau.
”Sosok sang pendamai, menyatukan seluruh umat dalam bingkai keberagaman,” komentar Brigjen (Purn) H. Albiner Sitompul, tokoh masyarakat, mantan ketua Jami’ah Batak Muslim Indonesia dan penulis buku Sang Pendamai-Syech Haji Ibrahim Sitompul.
Kini, makam dan rumahnya banyak diziarahi santri. Rumahnya terasa sederhana, ada beberapa peninggalan beliau, jubah, surban dan beberapa koleksi piringan hitam. Adalah secuil barang-barang keramik dan mesin tua pengolah karet. Sebagai saksi sejarah, artefak sang ulama masih kurang dirawat apik pemerintah daerah, padahal jasanya bagi persatuan antaragama di Nusantara khususnya tanah batak teramat besar. Beliau wafat pada 8 Oktober 1956.
Isfandiari MD, Wasekjen PBNU, pendiri klub motor Outsider