Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 2)
Virus, bakteri, dan mahluk renik sejenisnya tanpa kita ketahui dari mana asal mereka, tiba-tiba menjadi penyebab bencana nonalam yang mematikan. Jika mau jujur, meskipun sampai saat ini, tidak sedikit manusia yang masih memercayai teori konspirasi, melalui penalaran akal sehat, kehadiran virus dan wabah-wabah yang menyertai kehidupan manusia tidak terlepas dari peran serta manusia. Lingkungan yang disulap oleh manusia seperti sekarang menjadi rahim inkubator kelahiran virus-virus tersebut.
Sampai medio abad pertengahan, mayoritas manusia masih memercayai bahwa beragam wabah dan penyakit disebabkan oleh makhluk-makhluk gaib jahat merasuki manusia, segalanya dapat disembuhkan dengan merafalkan ayat-ayat dari kitab suci. Itulah yang menjadi sebab, jutaan nyawa manusia tidak dapat diselamatkan saat terjadi wabah. Kemunculan Al-Biruni, seorang filsuf di dunia Islam telah menyadarkan manusia bahwa berbagai penyakit seperti flu, batuk, dan demam disebabkan oleh masuknya kuman, bakteri, dan virus ke dalam tubuh manusia, penanganannya tentu memerlukan cara-cara rasional bagaimana melemahkan dan mematikan mahluk-mahluk ini melalui pengobatan.
Mencermati sejarah epidemi yang pernah menerjang kehidupan manusia, rata-rata wabah besar yang telah merenggut hingga ratusan juta nyawa manusia terjadi di wilayah Eropa. Di wilayah lain sampai abad pertengahan, peristiwa wabah yang terjadi tidak separah yang dialami oleh Eropa. Pola hidup tidak sehat diyakini menjadi pemantik kemunculan bakteri dan virus yang berkembang di Eropa. Misalnya di Inggris, Charles Creigton dalam A History of Epidemics in Britain yang ditulis pada 1891 memaparkan rangkaian peristiwa wabah di Inggris dari tahun ke tahun. Dalam opini ini, akan dipaparkan salah satu wabah yang pernah terjadi di Inggris, melanda Kota London pada 1665.
Tidak ada kekhawatiran dari siapa pun ini memang beralasan mengingat selama empat bulan, penularan wabah sampai minggu terakhir bulan April 1665 cukup lambat. Asumsi kedua yang dikemukakan oleh Daniel Defoe yaitu wabah yang selanjutnya menjadi epidemi di London dibawa oleh para tentara Inggris saat kepulangan mereka dari Prancis. Seperti telah ditulis sebelumnya, Avignon salah satu kota di selatan Prancis merupakan episentrum wabah selama tiga abad, sejak maut hitam menyisir Eropa.
Otoritas London sebetulnya menyadari dalam waktu dekat akan muncul kembali wabah seperti yang pernah dialami beberapa tahun sebelumnya pada 1605 dan 1636 di kota yang sama. Meskipun demikian, otoritas kota tidak mengumumkan kepada warga kota ancaman besar mengintai London, dengan alasan informasi yang disampaikan sangat sensitif, benar atau tidaknya masih samar. Lagi pula, jika informasi disampaikan kepada warga London yang mayoritas ditempati oleh warga miskin akan menimbulkan gejolak yang tidak diinginkan oleh pihak berwenang. Kerajaan bersama gereja juga lebih memokuskan perhatian pada bidang lain yang mereka anggap lebih krusial daripada wabah, yaitu perang.
Dari awal Mei hingga September 1665, kondisi London semakin kritis. Kota kecil ini terpaksa menghentikan aktivitas perekonomian, pabrik pemintalan tutup sampai wabah benar-benar reda. Otoritas berwenang dari mulai tingkat kerajaan hingga kota sama sekali tidak memiliki cara ampuh menangani epidemi. Bagi kerajaan yang sedang berkompetisi dengan negara-negara Eropa lainnya dalam mengeksploitasi wilayah koloni lebih mementingkan penyediaan senjata, serbuk mesiu, pembuatan kapal, dan perlengkapan militer lainnya daripada melakukan realokasi anggaran untuk menangani wabah.
Kelaparan yang disebabkan resesi ekonomi dialami oleh 30 ribu lebih warga London kelas menangah bawah. Total kematian yang tercatat selama Wabah London sebanyak 97 ribu lebih, 30 ribu di antaranya disebabkan oleh kelaparan, anak-anak menjadi korban terbesar akibat kelaparan ini. Rata-rata kematian sampai 8 ribu orang per-minggu selama empat sampai lima bulan. Nathaniel Hodges, salah seorang dokter dari London, menyebutkan berdasarkan kesaksiannya sendiri, sebanyak 4000 orang dimakamkan dalam sehari semalam. Bahkan dalam satu minggu yang sama, lebih dari 12.000 orang dimakamkan. Kematian terjadi karena wabah dan kelaparan.
Kelas menengah atas yang sebetulnya rentan terinfeksi tetapi mereka selamat karena terlebih dahulu meninggalkan London sebelum epidemi mencapai puncak penularan. Kelas-kelas yang lebih miskin dibiarkan terlantar serta menanggung beban terberat akibat wabah. PHK besar-besaran melahirkan keputusasaan massal. Penting dicatat, meskipun kelompok kaya (30% warga London) telah meninggalkan kota, di kota-kota lain muncul solidaritas. Kelompok kaya dari kota lain mengklaim memasok bahan makanan dan uang untuk menyelamatkan London dan warga miskin yang sedang menanggung beban besar akibat wabah.
Seperti halnya Wabah London, skenario terburuk yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 diperkirakan 33 juta orang akan mengalami pemutusan hubungan kerja. Kelompok miskin baru di Indonesia yang terdata sebagai penerima bantuan jaring pengaman sosial selama pandemi tercatat sebanyak 8.5 juta orang. Ini sebanding dengan jumlah upaya penanggulangan atau pengentasan kemiskinan selama satu dekade yang dilakukan pemerintah. Kasus kematian warga negara akibat kepalaran di tengah pandemi merupakan refleksi lemahnya deteksi dini terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di kala wabah menerjang. Seperti apa yang dialami oleh warga London tiga abad lalu, harus menanggung kerugian besar akibat tulah karena ketidaksadaran mereka terhadap dampak yang ditimbulkannya.