Pesantren Ciganjur Gelar Pelatihan Menulis Ilmiah Populer
Sabtu, 1 Oktober 2016 | 20:00 WIB
Pesantren Ciganjur yang berada di bawah naungan Yayasan Abdul Wahid Hasyim menyelenggarakan Pelatihan Menulis Ilmiah Populer di SDIT AWH Ciganjur yang terletak satu kompleks dengan rumah Gus Dur, di kawasan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (1/10).
Kali ini pihak penyelenggara mengundang penulis kaliber nasional, Damhuri Muhammad, sebagai pemateri. Pelatihan menulis ini diikuti 21 peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa hingga guru, yang lolos seleksi.
Acara dibuka pada pukul 09.30 WIB dengan sambutan dari ketua panitia penyelenggara, Daniel Fahmi Rizal. Diteruskan sambutan dari Maftukhan, mewakili kepala SDIT AWH untuk menyambut para peserta.
Didampingi Em Farobi Afandi sebagai moderator, Mas Dam, sapaan dekat Damhuri, tidak berbicara perihal kiat sukses menjadi penulis besar hanya dengan sekali duduk. Pria yang pernah diamanahi sebagai ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) ini lebih memfokuskan materi pada pengolahan keterampilan artistik peserta dalam menulis, yaitu kemampuan mengolah pengetahuan konseptual beserta data-data menjadi sebuah tulisan ilmiah popular nan dalam, kaya, dan enak dibaca.
“Keterampilan artistik merupakan seni menyederhanakan pengetahuan konseptual atau pengetahuan ilmiah, beserta data-data yang dikumpulan penulis, menjadi sebuah opini yang ditulis pada ruang terbatas, dan harus mampu dipahami oleh semua kalangan pembaca,” tutur lelaki berkacamata kelahiran Payukumbuh, Sumatera Barat ini.
Dalam sesi pertama, Mas Dam mengajak para peserta untuk berlatih memperkaya prespektif dalam memandang sebuah persoalan yang akan ditulis. Ia memberi contoh bagaimana memandang kasus “Dimas Kanjeng” dari berbagai pengetahuan konseptual berdasar latar belakang pendidikan yang ditempuh para peserta.
Setelah itu, ia juga memberikan gambaran, bagaimana judul tulisan yang baik dan menarik. Mas Dam juga memaparkan cara bagaimana menutup sebuah tulisan dengan “paragraf yang pedas”, yang tidak datar.
Pria yang pernah didapuk menjadi Dewan Pengarah pada acara Festival Sastra Asia Tenggara ini juga menegaskan bahwa tidak ada teori menulis, yang ada hanyalah teori untuk berlatih, karena menurutnya, “menulis adalah keseringan berlatih.”
Perihal keseringan berlatih, alumnus Filsafat UGM ini mencontohkan dirinya yang sejak mahasiswa rutin menulis, hingga saat ini ia masih terus rutin menulis apa saja setiap pagi, sebelum mengantarkan istrinya berangkat ke tempat kerja.
Mas Dam berpesan kepada para peserta, agar senantiasa menghadirkan pihak yang harus disapa atau diajak berbicara dalam sebuah tulisan. “Dalam menulis opini, kita tidak bisa bermonolog,” tambahnya.
Penulis yang sekarang aktif sebagai redaktur sastra harian Media Indonesia ini membeberkan sejumlah nama penulis opini yang tulisannya bisa dijadikan sebagai media untuk belajar memahami konsep dan gaya dalam menulis sebuah opini. Tersebut banyak nama mulai dari Ariel Haryanto hingga Nurkholis Ridwan.
Tepat pukul 14.00, acara ditutup dengan pembagian doorprize kepada tiga tulisan peserta terpilih, lalu dilanjut dengan doa dan swafoto bersama. (Em Farobi Afandi/Mahbib)