Pesantren Musthafawiyah, Pesantren NU Tertua di Sumatera
Ahad, 24 November 2019 | 02:30 WIB
Tapi jangan lupa. Salah satu pesantren tertua di Indonesia terletak di Sumatera, tepatnya di Mandailing Natal, Sumatra Utara. Nama pesantrennya Musthafawiyah. Saat ini, pesantren yang mempunyai santri berjumlah ribuan tersebut berusia lebih dari seratus tahun
Pesantren Musthafawiyah didirikan Syekh Musthafa Husein Al-Mandili, seorang ulama besar yang pda masa hidupnya berperan sebagai penggerak persatuan dan keharmonisan kehidupan sosial bangsa.
Putera Sumatera ini lahir di Tanobato, Kabupaten Mandailing Natal, pada tahun 1886 atau 1303 Hijriah dengan nama Muhammad Yatim, jabang bayi yang dilahirkan dari pasangan H. Husein Nasution dan Hj. Halimah.
Muhamad Yatim kecil tumbuh dalam asuhan keluarga pedagang. Ayahnya berniaga hasil bumi. Lingkungan keluarga seperti inilah yang kelak membentuknya menjadi pribadi moderat di kemudian hari, saat ia menjadi ulama besar.
Pada tahun 1900 ia berangkat ke Mekkah sewaktu musim haji. Pada tahun-tahun awal belajar di Masjidil Haram, Muhammad Yatim mendapatkan perhatian khusus dari guru-gurunya. Oleh gurunya itu pula, namanya kemudian diubah menjadi Musthafa, yang berarti sang terpilih.
Ketika orang tuanya meninggal, Musthafa dipanggil pulang. Di kampung halamannya inilah ia kemudian mendapat julukan syekh karena kealimannya. Oleh ulama setempat yang bernama Syekh Muhamad, Syekh Musthafa diberi kepercayaan untuk mengisi majelis pengajian yang telah diasuhnya belasan tahun lamanya.
Di bawah bimbingannya, peserta pengajian bertambah pesar dari wilayah sekitar. Ia kemudian mendirikan pondok pesantren pada 1912. Lebih dari seratus tahun yang lalu. Pesantren itu berkembang pesat, muridnya ribuan.
Orang-orang menyebut pesantren yang bernama Musthafawiyah ini dengan sebutan Pesantren Purba, mengingat lokasinya yang berada di Purba Baru. Lokasi ini dipilih karena lokasi pesantren sebelumnya pesantren pernah diterjang banjir besar.
Pesantren Purba dikenal dengan ciri khasnya yang unik. Murid-murid pesantren ini akan mendirikan gubuk kecil yang jumlahnya ribuan.
Santri Belajar Menjadi Pengusaha, Pedagang dan Petani
Ajaran untuk tidak bergantung pada orang lain dan berusaha dengan tangan sendiri dipraktikan langsung oleh Syekh Musthafa. Ia membuka kebun karet, kebun nanas dan pengalengan buah. Salah satu nasihatnya yang terkenal adalah, "Tuan kecil lebih baik daripada jongos besar”.
Beliau juga menekankan pentingnya menjadi pribadi mandiri. Dengan bahasa Batak Mandailing ia pernah menyampaikan, “Baen na tuho, borkatan dei” (usaha sendiri lebih baik dan lebih berkah). Hal ini mengingatkan, bahwa dia berasal dari keluarga yang cukup. Tapi itu tidak membuatnya bergantung pada keluarganya.
Syekh Musthafa juga dikenal sebagai ulama yang dihormati oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu bisa dilacak dari sejarah. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia pernah mengumpulkan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah se-Tapanuli Selatan.
Pada tanggal 9 Februari 1947, Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara resmi berdiri di Kota Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi Rais Syuriah pertama. Sedangkan Syekh Baharuddin Thalib Lubis terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah pertama.
Pesantren ini sekarang dipimpin oleh KH Musthafa Bakri bin Abullah bin Musthafa Bin Husein bin Umar Nasution, dan salah satu Dewan Pembinanya adalah Arnes Lukman Nasution, seorang profesional yang sukses di Jakarta dan pernah menjadi pengurus PP Muhammadiyah bidang ekonomi.
Saat ini, di usianya yang lebih dari seabad, Pesantren Purba Musthafawiyah tetap bertahan sebagai tonggak islam moderat di Sumatera Utara dan juga Indonesia.
Editor: Abdullah Alawi