Pesantren

Pondok Aswaja Lintang Songo Bantul

Kamis, 4 April 2013 | 06:33 WIB

Pondok pesantren yang satu ini sangat berjasa dalam menguatkan karakter ke-NU-an santri dan masyarakat sekitarnya. Bahkan dari nama pesantrennya pun, masyarakat akan langsung bisa menebak bahwa pesantren tersebut adalan pesantren NU.
<>
Pondok pesantren yang beralamat di Pagergunung, Sitimulyo, Piyungan, Bantul ini secara terang-terangan melabeli nama pesantrennya dengan pondok pesantren Islamic Studi Center Aswaja Lintang Songo. Suasana yang terbangun di pondok ini sangat kental NU-nya, penuh dengan segala aktivitas relijius yang tenang dan nyaman, meski dengan latar belakang masyarakat yang beragam.

Sejarah Berdiri
Cikal bakal berdirinya pesantren ini dimulai sejak tahun 1991 oleh Pak Heri, panggilan akrab dari H. Heri Kuswanto bin KH Muhammad Zaidan. Pada bulan Mei 2006, oleh H. San Afri Awang seorang kawan dosen & Ketua Jurusan Fakultas Kehutanan UGM, bersama Pak Heri meluncurkan nama ISC (Islamic Studies Centre) yang kemudian oleh masyarakat disebut sebagai pondok pesantren yang diberi nama Aswaja Lintang Songo, sehingga nama lengkapnya adalah Pondok Pesantren ISC Aswaja Lintang Songo.

Pesantren dengan nama ini, diharapkan menjadi lembaga pendidikan Islam yang menjadi pusat kajian ilmu-ilmu agama Islam bermanhaj Ahlussunnah wal Jamaah dan berkarakter "Lintang Songo". Songo (sembilan) merupakan angka terbesar dan lintang (bintang) sembilan merupakan bagian dari simbul Nahdlah atau kebangkitan para ulama.

Pada tahun 2006, Pek Heri bersama KH Haris Gufron (pesantren Al Imam Wonokromo), KH Fairuzi Afiq (Pesantren Nurussalam Krapyak) dari RMI, dan KH Habib Masyhur Ridlo Al Hasny mengupayakan berdirinya gedung untuk pesantren ini. Survei AIP (Australia-Indonesian kemitraan Indonesia dan Australia) oleh Mr. Andrew, Mr. Allan, dan Mr. Bill) pun akhirnya menghasilkan bantuan gedung senilai 580 juta, berupa 5 lokal gedung (2 ruang kelas, 1 kantor, 1 perpustakaan dan 1 dapur) berikut perabotnya serta 4 unit toilet yang diresmikan 3 November 2007 oleh Kedutaan Australia dan Bupati Bantul.

Hingga saat ini, pesantren yang berlokasi di 15 km ke timur laut pusat kota Yogyakarta ini terus mengalami perkembangan, baik dari sisi kuantitas santri, bangunan, maupun program yang ditawarkan. Menurut paparan Pak Heri, visi dan misi yang diusung oleh pesantren ini adalah agar santri bisa menjadi insan berkualitas, mandiri, dan bermanfaat bagi masyarakat.

“Diharapkan juga agar santri mempunyai pemahamaan tentang Islam yang mendalam, santri mempunyai keterampilan sehingga dapat hidup mandiri, dan santri mempunyai kepedulian sosial yang tinggi. Hal yang juga tak kalah penting adalah mengupayakan generasi sholih-sholihah dan bekualitas, serta berguna bagi pribadi, keluarga, masyarakat, nusa, bangsa, dan agama”, sambungnya.

Aktivitas Pesantren
Pondok Pesantren ICS Aswaja Lintang Songo mempunyai beberapa program yang ditawarkan. Selain ilmu agama, Pondok Pesantren ICS Lintang Songo juga menawarkan ilmu-ilmu umum seperti kehutanan, pertanian, perikanan, peternakan, perkoperasian, dan lain sebagainya. Semua program tersebut dijalankan secara rutin oleh lebih dari 300 santri dan 500 orang binaan di seputar lokasi pesantren.

Dalam hal penanganan pesantren ini, Pak Heri menggandeng beberapa ustadz-ustadzah lulusan dari UIN, UNY, UGM, dan beberapa pesantren di Yogyakarta. Untuk program pendampingan, mantan DPR PKB Bantul ini bekerjasama dengan pemerintah dalam pelatihan dan pengawasannya. Dari kegiatan ini, pesantren ini beberapa kali mendapat penghargaan termasuk dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ngaji Jadi Benteng Santri
Pondok Pesantren ICS Aswaja Lintang Songo tidak melupakan ruh pesantren yang menjadi rutinitas inti dari pesantren, yaitu jamaah dan ngaji. Ngaji di pesantren ini tidak jauh berbeda dengan pesantren-pesantren yang lain, baik dari sisi kurikulumnya maupun kajian kitabnya. Sistem pembagiannya terbagi atas lima kelas berdasarkan kajian kitab yang diajarkan seperti fiqh, tajwid, Al-Quran, hadis, dan tasawuf.

Selain rutinitas harian, di pesantren ini juga terdapat program ngaji selapanan yang diadakan setiap malam Selasa Kliwon. Setiap malam tersebut, ratusan orang melakukan wirid berjamaah, majlis tausiyah, dan doa.

Di setiap kesempatan yang ada, majlis ini menjadi momen penting bagi pesantren dalam upaya memberikan pencerahan kepada masyarakat terhadap isu-isu yang berkembang dan menyesatkan di tengah mereka. Terlebih lagi dengan munculnya isu-isu agama yang sudah basi dan tidak perlu diperdebatkan kembali seputar masalah furu’iyyah yang akhir-akhir ini kembali menggejala.

Masalah bid’ah kembali diangkat ke permukaan oleh sebagian kelompok agama, masalah sholawat kembali diungkit, masalah qunut, dan rutinitas serupa yang biasa dilakukan oleh jamaah NU dianggap bid’ah. “Dengan adanya majlis seperti ini, diharapkan mampu menjadi benteng akidah dan dakwah sebagaimana yang sudah dituntunkan agama lewat para nabi, wali, ulama, dan kiai sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah”, tutur Pak Heri selaku pengasuh pesantren. (Rokhim dan Karim)


Terkait