Melihat kompleksnya keberagaman yang ada di Indonesia menyebabkan persoalan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tetap menarik untuk dibahas. Pembahasan ini bisa memunculkan solusi alternatif dalam mengembangkan konsep-konsep pendidikan Islam yang akhirnya akan melahirkan potensi dan kualitas sumber daya manusia yang tasamuh (toleran) dan arif dengan budaya lokalitasnya.
Inilah yang menjadi satu alasan Ahmad Muzakki, mantan pengurus PC Lakpesdam NU Kabupaten Lampung Tengah, Lampung menulis buku Gus Dur Pembaharu Pendidikan Humanis Islam Indonesia Abad 21.
Buku ini terdiri dari lima bab besar. Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan keberadaan pendidikan Islam sebagai salah satu wadah untuk mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam, dan juga sebagai landasan teologis serta kebutuhan manusia akan kepercayaan (human of belief) terhadap adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Sisi ini di akui atau tidak memberikan dampak logis yang cukup signifikan terhadap perkembangan pemikiran pembaruan Islam dalam konteks pendidikan Islam dewasa ini. Sehingga pemahaman terhadap Islam sangat beragam baik secara teoritis maupun aplikatif.
Maka pendidikan diharapkan mampu memiliki peran, fungsi, dan tujuan untuk membentuk manusia yang berevolusi atau berkembang menjadi insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang mempunyai kapasitas yang mampu menyeimbangkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual (Halaman 8).
Bab II berisi tentang biografi KH Abdurrahman Wahid yang mengulas sosok Sang pendobrak yang dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Pasca kelahirannya ia diberi nama Abdurrahman Ad Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy'ari. Dalam kesehariannya ia dipanggil dengan sebutan Gus Dur. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama di Indonesia dan salah satu penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang merupakan putra Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, pendiri pesantren Tebu Ireng Jombang.
Sementara itu, ibu Gus Dur adalah Hj Siti Solekhah merupakan keturunan dan titisan langsung para Kiai besar di Jawa, yaitu KH Bisri Sansuri. (Halaman 32).
Masa kanak-kanak Abdurrahman Wahid dihabiskan di dalam lingkungan pesantren milik kedua kakek yakni di Pesantren Tebu Ireng dan Pesantren Denanyar. Kemudian ia tumbuh dan berkembang atas bimbingan dan arahan dari kedua kakek beserta ibunya. Di dalam tradisi pesantren yang unik tersebut, Abdurrahman Wahid digembleng dan dibiasakan dengan kitab-kitab kuning berbahasa Arab tanpa sakal serta arti Indonesia maupun Jawa. Sehingga pada saat berusia 4 tahun ia telah mampu membaca Al Quran beserta ilmu tajwidnya.
Di ambang usianya yang masih sangat muda, 12 tahun, ia telah ditinggalkan oleh ayahnya, KH Wahid Hasyim. Ia menyaksikan wafat ayahnya dalam kecelakaan mobil untuk suatu pertemuan NU di Sumedang. KH Wahid Hasyim yang merupakan harapan banyak orang di Indonesia menghembuskan nafas terakhir dalam usia 38 tahun. (Halaman 37).
Sebagian jenjang pendidikan formal KH Abdurrahman Wahid banyak dihabiskan di sekolah-sekolah sekuler. Pasca kepergian ayahnya menghadap Sang Khalik, ibundanya mengambil alih komando keluarga dalam membesarkan enam anaknya. Masa remajanya dihabiskan di Yogyakarta dan di Pesantren Tegalrejo, Magelang.
Pengembaraan pendididkan KH Abdurrahman Wahid muda terus hingga ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, Universitas Baghdad, Iraq, Universitas Kohln, Heidelberg, Paris dan Leiden. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia Pesantren. (Halaman 44).
Adapun bab III menjelaskan tentang potret pendidikan Islam di Indonesia yang menjadi ruang lingkup pendidikan Islam. Ruang ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, agar manusia mampu memanfaatkannya sebagai tempat untuk beramal yang hasilnya akan diperoleh di akhirat nanti. Pembentukan sikap yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam dalam pribadi manusia, baru bisa efektif apabila disertai dengan proses pendidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah dan norma-norma ajaran Islam.
Praktik kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia dari sudut pandang sejarah kemunculannya dapat disederhanakan dalam dua kelompok yaitu sistem kelembagaan pendidikan Islam tradisional dan modern.
Sistem kelembagaan pendidikan Islam tradisional yang dikelola masyarakat di Indonesia antara lain masjid dan langgar, meunasah di Aceh, rangkang dan dayah, surau dan pesantren. Sementara sistem kelembagaan pendidikan Islam modern di Indonesia antara lain kemunculan pendidikan formal (sekolah/madrasah) hingga munculnya perguruan tinggi di lingkungan pendidikan Islam seperti madrasah al Adabiyyah atau lebih populer Sumatera Thawalib di Padang, madrasah Khizbul Wathan di Surabaya, madrasah Salafiyah Jombang, dan lain-lain. Hingga lembaga pendidikan Islam yang berstatus negeri seperti MIN, MTsN, MAN, hingga IAIN, (Halaman 104).
Bab IV menguraikan secara lebih luas paradigma pendiddikan Islam KH Abdurrahman Wahid. Ahmad Muzakki memaparkan, pemikiran KH Abdurrahman Wahid dalam hal pendidikan Islam lebih banyak tercurah pada pondok pesantren sebagai salah satu institusi tua yang berkembang pertama kali di bangsa ini. Hal ini tentu saja membutuhkan pemikiran yang cukup beragam. Perlu melihat akar masalah dalam dunia pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren sebagai institusi tua yang harus menyelaraskan dengan dunia modern dalam perspektif persaingan global. (Halaman 202).
Menurut pemikiran KH Abdurrahman Wahid, pendidikan Islam di Indonesia dituangkan pada pondok pesantren yang Gus Dur berupaya membumikan tradisi pesantren serta mempopulerkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang multi potensi, yakni keagamaan dan umum. Pemikiran ini populer dengan istilah dinamisasi dan modernisasi pesantren. Pesantren tidak lagi dianggap sebagai lembaga pendidikan yang ketinggalan zaman, namun mampu menjadi ikon pendidikan yang kreatif, mandiri, dan profesional dengan keunggulan karakternya.
Dari sintesis tersebut menghasilkan pemikiran-pemikiran kontemporer tentang pendidikan Islam di Indonesia seperti demokratisasi pendidikan, pendidikan pluralisme, dan pendidikan humanistik. Dalam prespektif KH Abdurrahman Wahid, tiap kelompok masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam membangun Indonesia. Dengan rasa solidaritas, keterbukaan, toleransi dan dialog kita membangun Indonesia yang berbudaya dan beradab, aman, dan damai.
Bagi Syaripudin Basyar, guru besar UIN Raden Intan Lampung dalam prolog buku ini menyampaikan, pendidikan Islam menjadi suatu wadah yang pada satu sisi bergerak secara vertikal dan membebaskan peserta didik untuk menggali kreativitas dan kemampuannya. Peserta didik bukan semata-mata sebagai objek, melainkan subjek pendidikan. Pendidikan Islam harus mampu memayungi rasa toleransi dan berbagai budaya, etnis, ras, dan agama sebagai roda sosial yang pada sisi lain bersifat horizontal.
Bagi Gus Dur, pendidikan Islam merupakan pembelajaran yang membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis yang kemudian ingin didaur ulang dengan melihat pemikiran kritis yang terlahir dari barat modern. Sehingga memunculkan term pembebasan dalam pendidikan Islam dalam koridor ajaran Islam yang harus dipahami secara komprehensif bukan dengan pemahaman yang parsial.
Buku Gus Dur yang bertemakan pendidikan sekaligus hasil tesis ini sangat strategis dijadikan rujukan bagi para santri, aktivis, akademisi, pegiat pendidikan dan pemerhati pendidikan di Indonesia.
Peresensi, Akhmad Syarief Kurniawan, Pendidik/ warga NU tinggal di Lampung Tengah
Identitas Buku:
Judul : Gus Dur Pembaharu Pendidikan Humanis Islam Indonesia Abad 21
Penulis : Ahmad Muzakki
Penerbit : Idea Press, Bantul, Yogyakarta
Terbit : Nopember, 2013
Tebal : xxxii + 236 Halaman
Nomor ISBN : 978-6028-690-492