Habib Luthfi bin Yahya menuliskan prasasti Pesantren Siti Dhumillah, Cijeruk Bogor, Jawa Barat, Rabu (3/3). (Foto: Muhaji Fikriono)
Kendi Setiawan
Penulis
Bogor, NU Online
Rais 'Aam Idarah Aliyah Jami’yah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya menyampaikan betapa pentingnya menghidupkan semangat untuk berpikir jauh ke depan, melampaui zamannya, bila perlu.
Hal itu dikatakan Habib Luthfi saat memberikan pembekalan kepada para pengurus Pesantren Siti Dhumillah, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat, Rabu (3/3).
Muhaji Fikriono, aktivis NU asal Pati yang hadir pada kesempatan tersebut menceritakan, Habib Luthfi mencontohkan bagaimana jawaban KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada istrinya Ny Shinta Nuriyah mengajaknya memasak beras Cianjur yang nasinya sangat pulen saat diolah. "Ayo, besok kita tanam padi yang bisa menghasilkan beras seperti ini kalau kita punya sawah."
Jawaban Gus Dur itu sekilas tidak nyambung dengan ajakan istrinya. Namun, begitulah Gus Dur. "Kalau hanya makan, setiap hari kita makan, tapi bagaimana menanam dan membudidayakan apa-apa yang kita makan? Itu penting agar kita tidak punya ketergantungan, apalagi terhadap komoditi import," kata Habib Luthfi.
Pesantren Siti Dhumillah didirikan oleh Teddy Rusdi dan istrinya. Selain mengkaji kitab-kitab kuning seperti pesantren NU pada umumnya, Pesantren Siti Dhumillah juga membekali para santri dengan pendalaman Bahasa Inggris, IT, dan perkebunan.
Pesantren menempati area perkebunan seluas tiga hektar. Habib Luthfi mengatakan, pesantren sangat potensial untuk dikembangkan. Habib Luthfi berharap, tidak hanya membekali para santri ketika sudah lulus dari pesantren. Tetapi, mestinya juga bisa 'menghidupi' pesantren secara mandiri yang pada awalnya masih disubsidi penuh oleh keluarga Sri Teddy Rusdi.
Habib Luthfi juga menyinggung keinginan Sri Teddy untuk mendirikan museum wayang di lingkungan Pesantren Siti Dhumillah. Menurut Habib Luthfi, mendirikan museum di pesantren ini belum mendesak, karena museum itu membutuhkan banyak uang, tapi tidak bisa menyedot uang.
"Pertama kali, mengeluarkan uang 100 persen untuk membangunnya, lalu harus mengeluarkan biaya perawatan. Bisa menghasilkan 10 persen biaya dari total perawatan yang dibutuhkannya saja sudah bagus," kata Habib Luthfi. Akan tetapi, Habib Luthfi tetap mengapresiasi niat baik pendiri pesantren untuk nguri-uri (menjaga dan melestarikan) salah satu budaya leluhur nusantara itu.
Sebelum mengakhiri kunjungan ke Pesantren Siti Dhumillah, Habib Luthfi menyempatkan mengguratkan tinta di atas batu marmer yang kemudian ditandatanganinya. Rangkaian huruf Arab pegon di atas batu marmer yang akan dijadikan prasasti tersebut berbunyi, 'Sehelai rumput kering, sebutir pasir Indonesia, kehormatan taruhannya.'
Habib Luthfi sendiri adalah, ulama asal Pekalongan, adalah pembimbing di Pesantren Siti Dhumillah. Sebelumnya kedatangan Habib Luthfi pagi itu pada pukul 10.00 WIB. Saat memasuki pelataran pesantren disambut oleh para santri dengan bershalawat dan menyanyikan lagu Yalal Wathan dengan iringan rebana. Para santri juga mengibar-kibarkan bendera kecil Nahdlatul Ulama di tangan masing-masing.
Tepat pukul 13:30 WIB, rombongan Habib Luthfi meninggalkan pesantren yang dikelola Andrew Baskoro dan Brandon Cahyadhuha, kedua putera mendiang Teddy Rusdi dan Sri Teddy.
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Alhafiz Kurniawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua