Anda pro atau kontra Islam Nusantara, silahkan. Eyel-eyelan soal maksud "Islam Nusantara" yang memubazirkan waktu juga silahkan. Itu urusan anda. Tapi, yang pasti, di tengah terpaan gosip ini, generasi muda NU terus berkarya dengan memperkokoh kajian seputar Islam Nusantara. Ada Mas Amirul Ulum yang banyak menulis biografi ulama Nusantara, ada juga Gus Nanal Ainal Fauz yang turut serta dalam kajian di bidang ini dengan menerbitkan karya-karya ulama kita melalui lembaga yang dirintisnya, Turats Ulama Nusantara.
Setelah Mas Zainul Milal Bizawi menulis "Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri 1830-1945" yang mengupas jaringan para ulama Nusantara, di mana karya ini menjadi salah satu sumbangsih penting bagi kajian Islam Nusantara, Mas Ahmad Ginanjar Sya'ban Sya'ban memperkokoh bidang ini dengan karya terbarunya, "Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespondensi Ulama Nusantara".
Bagi saya, buku setebal lebih dari 600 halaman ini adalah salah satu karya terbaik yang membedah karya-karya ulama Nusantara di abad yang lampau, maupun karya ulama Arab yang mengupas ulama kita. Sebagai seorang filolog-santri, Mas Ginanjar dengan baik mengupas isi, menjelaskan riwayat dan genealogi keilmuan penulisnya, serta membedah konteks zaman saat sebuah karya ditulis.
Demikian pentingnya buku ini, saya menilainya sebagai embrio yang mulai tampak dalam mewujudkan "bibliografi karya ulama-ulama Nusantara", semacam ensiklopedi yang memberikan kita data sekaligus bentangan peta khazanah keilmuan ulama-ulama Nusantara. Penulis, yang merupakan alumni Lirboyo ini, punya kapasitas memadai untuk menjelajahi kekayaan intelektual ulama Nusantara. Dengan ketelatenan dia membaca, memberikan catatan, bahkan melakukan pembacaan secara kritis atas sebuah teks, baik yang masih berupa manuskrip, maupun yang sudah dicetak.
Misalnya, Mas Ginanjar mengupas kitab yang beranak pinak dalam kajian Madzhab Syafii di Nusantara. Diawali dengan kitab fiqh "As-Sirath al-Mustaqim" karya Syekh Nuruddin Arraniri, mufti Kesultanan Aceh. Kitab berbahasa Melayu klasik ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Syekh Abdurrauf Assinkili dengan karyanya, "Mir-at at-Thullab" yang juga berbahasa Melayu klasik.
Dua kitab di atas dikokohkan lagi kajian fiqhnya oleh Syekh Jalaluddin Asyi (Aceh) dengan karyanya, "Umdat al-Ahkam", yang disambut dan dilanjut dengan ulasan lebih luas lagi oleh ulama asal Banjarmasin, Syekh Arsyad al-Banjari melalui "Sabil al-Muhtadin" dan ulama asal Pattani, Thailand, Syekh Dawud Fatthani dengan "Sullam al-Mubtadi'"-nya. Semua kitab di atas ditulis menggunakan bahasa Melayu yang menjadi Lingua Franca kawasan Nusantara saat itu.
Berbagai karya berbahasa Melayu di atas kemudian disempurnakan lagi oleh murid Syekh Dawud Fatthani, Syekh Nawawi al-Bantani, dengan karyanya yang berbahasa Arab, "Nihayat Az-Zain", yang dilanjutkan oleh muridnya lagi, Syekh Mahfudz Attarmasiy dengan "Hasyiah at-Tarmasiy". Kitab berbahasa Arab ini juga disambut dan dilanjutkan dengan baik oleh kawan sejawatnya, yaitu Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Batavia, dengan karyanya, "Irsyad al-Anam" yang berbahasa Melayu dialek Betawi, dan Syekh Soleh Darat dengan "Al-Majmu'ah Asy-Syariah" yang berbahasa Jawa, dan dilanjutkan lagi oleh muridnya, Syekh Raden Mukhtar Natanegara Atharid Al-Bughury (Bogor) melalui kitabnya, "Kifayat al-Mubtadiin" yang berbahasa Sunda, dan seterusnya.
Karena merupakan anotasi atas lebih dari 100 kitab, maka berbagai penjelasan dalam buku ini menjadi semacam struktur rangka yang saling menopang membentuk bangunan Islam Nusantara.
Dengan mendaras berbagai karya ulama di dalam buku ini, kita dapat menemukan titik tumpu koneksi ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah sebagai bagian dari proses transmisi ajaran Islam, dan dinamika yang terjadi dalam proses transmisi ini. Misalnya, seorang murid Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, yaitu Syekh Mahmud al-Masri, menghimpun biografi ulama Nusantara abad 14 Hijri sekaligus guru-guru Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, melalui kitab "Tasynif al-Asma' bi Ijazah as-Syuyukh wa al-Sama'". Di dalam kitab ini terdapat sekira 30 ulama Nusantara yang peenah berkiprah di Masjidil Haram, di mana sebagian dari mereka sangat asing dan tidak populer di Indonesia. Untunglah, dengan karya itu, Syekh Mahmud al-Masri berhasil mendokumentasikan nama-nama ulama kita yang berperan penting dalam transmisi keilmuan di Haramain.
Melalui buku ini, kita semakin paham apabila Nusantara memiliki banyak ulama yang mencerahkan umatnya melalui karya tulis di berbagai bidang: nahwu, sharaf, fiqh, aqidah, tafsir, tasawuf, dan sebagainya. Bahkan, ulama sekaliber Syekh Khatib al-Minangkabawi sempat berpolemik dengan Syekh M Hasyim Asy'ari mengenai Sarekat Islam. Hasil diskusi ini direkam dalam Tanbih al-Anam dan Kaff al-Awam.
Selain mengupas kitab, buku ini juga mengulas korespondensi antara ulama, catatan perjalanan haji seorang bangsawan Sunda, genealogi intelektual, tipikal khas naskah Islam Nusantara, hal ihwal tulisan "Kabikaj" yang dianggap jimat kitab, sampai ulasan mengenai buku kecil pemikiran Bung Karno yang diterbitkan di Kairo era Gamal Abd Nasser.
Dengan buku ini, kita semakin paham bahwa pasca Walisongo sampai era penjajahan tidak terjadi peristiwa fatrah intelektual, sebagaimana yang dicurigai selama ini. Sebab, ternyata dalam rentang waktu 500 tahun sejak Islamisasi Nusantara, ulama-ulama kita hadir mengisi ruang keilmuan dengan berbagai topik yang sangat dinamis.
Identitas Buku
Judul: Mahakarya Ulama Nusantara, Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespondensi Ulama Nusantara
Penulis: A. Ginanjar Sya'ban
Penerbit: Pustaka Compass, 2017.
Tebal: xxxii + 642 hlm.
Harga: 150.000 Kontak 085-645-311-110
Peresensi: Rijal Mumazziq Z (Ketua LTN NU Surabaya)