Pustaka

Cerita Revolusi Sosial di Tegal, Brebes, dan Pemalang

Sabtu, 20 September 2025 | 15:00 WIB

Cerita Revolusi Sosial di Tegal, Brebes, dan Pemalang

Jilid buku Kutil: Revolusi di Republik Lenggaong

Gelombang perlawanan rakyat akibat kesulitan ekonomi bukanlah hal baru di negeri ini. Beberapa bulan setelah Republik Indonesia lahir, revolusi sosial pun meletus di berbagai daerah. Salah satunya terjadi di Tegal, Brebes, dan Pemalang yang merupakan bagian dari Karesidenan Pekalongan. Kemudian peristiwa ini lebih dikenal dengan nama Peristiwa Tiga Daerah.


Revolusi sosial di Tiga Daerah ternyata tidak hanya menarik perhatian para sejarawan, tapi juga sastrawan. Di dunia sejarah, kisah ini diangkat dalam buku Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi karya Sejarawan Anton E. Lucas. Sementara di dunia sastra, peristiwa yang sama hadir sebagai latar cerita dalam novel Kutil Revolusi di Republik Lenggaong. Novel ini ditulis oleh Yono Daryono dan Ubaidillah.


Antara Oktober hingga Desember 1945, Brebes, Tegal, dan Pemalang diguncang gelombang perubahan. Dalam suasana revolusi yang bergolak, para pejabat lama, mulai dari residen, bupati, hingga kepala desa dilengserkan. Posisinya kemudian diambil alih oleh kekuatan baru yang datang dari berbagai aliran, Islam, Sosialis, dan Komunis.


Revolusi sosial ini dimulai di Desa Cerih. Desa ini terletak di perbukitan Tegal Selatan, berseberangan dengan Kabupaten Pemalang, dibatasi oleh Sungai Rambut. Lurah Cerih yang bernama Raden Mas Harjowiyono oleh rakyat dilucuti, diberi pakaian goni, sementara istrinya diberi kalung padi.


Mereka kemudian diarak, diiringi dengan bunyi gamelan milik lurah. Setelah itu, mereka diperlakukan seperti ayam, dipaksa minum air mentah dalam tempurung, dan makan dedak (Sisa penggilingan butiran padi). Aksi tersebut dikenal dengan nama “dombreng”, di mana kemudian aksi seperti itu menyebar ke desa-desa lainnya di Tegal, bahkan sampai Brebes dan Pemalang.


“Dombreng, kata yang berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul oleh para pengaraknya.” (Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, hal. 143).


“Pengertian dombreng lebih merupakan tindakan membuat malu para pejabat yang korup di depan umum daripada suatu tindakan kekerasan. Dalam pengertian lain, dombreng diartikan sebagai ritual tentang majikan yang diusir oleh para abdinya.” (Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, hal. 193).


Kelompok Lenggaong memainkan peranan penting dalam Peristiwa Tiga Daerah, pemimpinnya bernama Kutil. Ia memiliki nama asli Sakyani, seorang tukang cukur dan tidak ada yang tahu pasti asalnya. Tetapi yang jelas, dia merupakan orang pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman mati melalui proses peradilan formal di Pekalongan pada 21 Oktober 1946.


“Arti lenggaong dipergunakan dalam istilah yang berbeda-beda. Mereka dianggap mempunyai “derajat” tertentu di mata penduduk setempat karena tingkat pengetahuan (ngelmu) yang hanya dikuasai oleh orang-orang terbatas saja atau “kanuragan” dan kekuatan magis (kesakten) oleh ngelmu itu.” (Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, hal. 32).


Saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Kutil berhasil melarikan diri ke Jakarta dan kembali bekerja sebagai tukang cukur di Kebun Kacang Gang II, Tanah Abang, pekerjaan yang pernah digelutinya sebelum Peristiwa Tiga Daerah. Dua tahun kemudian, pada 1949, ia dikenali oleh seseorang asal Slawi dan dilaporkan kepada pihak Belanda.


Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, pada Januari 1950, Kutil diserahkan kepada Republik Indonesia. Pada 13 Februari tahun yang sama, ia pindah ke Pekalongan. Pada tanggal 8 April 1950 ditegaskan kembali hukumannya. Lalu, pada 1 Agustus 1950, dia mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno, tetapi ditolak pada 21 April 1951. Dua minggu kemudian, dia dieksekusi di Pantai Pekalongan. Makamnya tidak diketahui hingga sekarang.


Kutil menjadi tokoh utama dalam novel Kutil Revolusi di Republik Lenggaong. Dalam karyanya, Yono Daryono dan Ubaidillah menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu (omniscient), sehingga alur cerita tidak hanya menyoroti Kutil, tetapi juga mampu mengungkap pikiran, perasaan, dan motivasi berbagai karakter lainnya. Seperti tokoh Makdum, Kiai Suja’i, Wasroh, Amrullah, Hamim, Jahro.


Selain itu Yono Daryono dan Ubaidillah saya kira berhasil membuat perpindahan fokus antar tokoh tidak membingungkan. Dengan kata lain, mereka mampu mengelola cerita itu dengan  baik. Karena, memang resiko penggunaan sudut pandang orang ketiga serba tahu (omniscient) ialah resiko membingungkan. Sebab, perpindahan fokus antar tokoh terlalu sering bisa membuat alur terasa melompat-lompat dan sulit diikuti.


Dalam novel ini diceritakan bahwa Kutil yang tinggal di Desa Pesayangan, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal ini belajar ngaji (Sekolah Arab) kepada Kiai Suja’i di Desa Pacul. Ia juga belajar ilmu sigeg kepada santri Kiai Suja’i yang bernama Makdum. Ilmu sigeg adalah ilmu tenaga dalam untuk mendapatkan kekuatan magis. Kiai Suja’i yang pernah nyantri di berbagai pesantren seperti Ploso, Kendal, Panggung, Cirebon, dan Majalengka ini kemudian didorong oleh Kutil menjadi Bupati Tegal, menggantikan Sunaryo yang dilengserkan massa.


Tidak hanya menceritakan revolusi sosial yang terjadi di Desa Cerih, novel ini juga menceritakan revolusi sosial di daerah Tegal lain seperti Lebaksiu, Talang, Adiwerna, Warureja. Bahkan, sampai Bumirejo, salah satu desa di Kecamatan Ulujami, Pemalang. Bahkan di novel ini juga menceritakan peristiwa kelam yang dialami oleh tokoh berjasa di Tegal yakni R.A. Kardinah (Adik dari R.A. Kartini). Perempuan yang mendirikan rumah sakit yang sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Kardinah ini terkena dombreng.


Tak hanya menceritakan narasi revolusi sosial Oktober 1945, Yono Daryono dan Ubaidillah memperluas cerita dalam novel ini ke masa kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Tokoh yang digunakan mereka dalam cerita reformasi ‘98, bernama Kardi. Ia merupakan cucu dari Makdum, tokoh dalam novel yang menjadi saksi revolusi sosial Oktober ‘45.


Menariknya lagi, novel Kutil Revolusi di Republik Lenggaong banyak menyisipkan dialog khas Tegalan.


Dengeran, Kang? Ana kabar apa?” (hal. 61).


Ora pan ngejak ruwet.” (hal. 66).


“Mat! Bisan benderane diudunna!?.”


Kuwe lincake diperekna mene. Dadi medange kepenak, Nak.” (hal. 88).


Novel Kutil Revolusi di Republik Lenggaong wajib dibaca. Lewat novel bergenre sejarah ini, kita diajak mengenal hidup seorang tokoh yang bahkan oleh orang Tegal sendiri jarang dikenal. Selain itu lewat novel ini kita diajak menyelami sisi lain dari sejarah revolusi yang kerap terabaikan.


Data Buku
Judul                      : Kutil: Revolusi di Republik Lenggaong
Penulis                   : Yono Daryono dan Ubaidillah
Penerbit                  : Marjin Kiri
Tahun Terbit            : Cetakan pertama, Maret 2024
Jumlah Halaman    : viii + 335 hlm
ISBN                       : 9786020788524

Peresensi                : Malik Ibnu Zaman, lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul Pengemis yang Kelima (2024).